“Tradisi“ Mudik Bagi Perekonomian

Oleh: Elida Mahriani, SEI., MM.* 

Sudah menjadi kebiasaan dan “tradisi” bagi masyarakat di negara kita setelah menjalani satu bulan ibadah puasa di bulan ramadhan, terasa tidaklah afdhol apabila berlebaran tidak di kampung halamanan bersama sanak keluarga dan handai taulan.

Bahkan sebelum memasuki bulan ramadhan tiket-tiket kereta api pun sudah habis terjual untuk pulang mudik ke kampung halaman masing-masing. Dan ini berulang setiap tahunnya, kenapa jadi tradisi di Indonesia? Biasanya satu pekan sebelum lebaran akan ada cuti bersama disinilah akan banyak masyarakat yang secara masif akan memenuhi stasiun kereta api, bandara, terminal, pelabuhan dan banyak juga yang memakai kendaraan pribadi seperti mobil dan motor. Selain itu yang menarik adalah dibukanya penukaran uang pecehan oleh masing-masing bank dan juga bermunculannya jasa-jasa penukaran uang yang biasanya bisa didapati dipinggir-pinggir jalan. Adapun manfaat yang dirasakan dengan adanya pulang mudik yang menjadi “tradisi” di negara kita antara lain:

1. Menjalin Silaturahmi; Dimana pada saat lebaran para pemudik akan berkumpul dengan para sanak keluarga dan handai taulannya, dengan saling mengunjungi dan berbagai cerita serta makan bersama, hal ini terkadang jarang dapat dilakukan karena kesibukan masing-masing.
2. Eksistensi Kesuksesan Bagi Perantau; Tidak jarang para perantau di daerah atau di negara lain akan kembali ke daerah atau negaranya masing-masing (khususnya Warga Negara Indonesia). Salah satu tujuannya selain bersilaturahmi juga menjadi ajang eksistensi bahwa mereka sudah sukses di perantauan.
3. Terapi Psikologis; Keadaan ini dimana setiap orang dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan saat berkumpul dengan keluarga dan orang-orangnya terdekatnya, dan tidak memikirkan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi rutinitas kesehariannya sebelum memasuki lebaran.
4. Sarana rekreasi Keluarga; Tidak jarang setelah berkumpul dan untuk menambah keakraban keluarga lalu dilanjutkan pergi rekreasi ke tempat-tempat hiburan bersama keluarga, apakah itu ke pantai, ke gunung atau tempat-tempat rekreasi lainnya.

Selain yang penulis paparkan diatas tadi, ternyata tradisi mudik ini juga menimbulkan dampak positif pada aspek ekonomi.

Menurut Musni Umar dampak positif pada aspek ekonomi . (www.Kompasiana.com)  dampak tersebut antara lain:

1. Ekonomi tumbuh di kampung, desa, kelurahan, kecamatan dan kota yang dibanjiri pemudik.
2. Terjadi pemerataan ekonomi. Melalui mudik lebaran, ekonomi tersebar di desa, kampung, kelurahan, kecamatan dan kota tempat pemudik pulang. Jadi pada saat mudik lebaran terjadi pemerataan karena para pemudik membawa uang zakat, infak, dan sadaqah. Selain itu, untuk berbelanja keperluan makan, minum dan sebagainya.
3. Hotel atau penginapan di kampung halaman pemudik terisi karena tidak sedikit yang memilih hotel atau penginapan untuk tempat tidur, sehingga memberi efek ekonomi yang positif bagi desa, kampung, kelurahan, kecamatan dan kota.
4. Pariwisata (pelancongan) menggeliat saat mudik lebaran karena pemudik juga akan mencari hiburan selama mudik lebaran. Mereka akan mengeluarkan uang untuk menikmati pemandangann dan tempat hiburan di kampung halaman mereka.
5. Restoran atau tempat makanan akan semarak karena pemudik di kampung halaman, pasti mereka memerlukan makan. Maka pilihan paling aman ialah makan bersama di restoran.

Selain itu menurut penelurusan Penulis, tradisi “ mudik” ini juga berpengaruh terhadap ekonomi nasional di negara Indonesia,

Seperti sebuah artikel yang dituliskan oleh Badan Kebijakan Fiskal (http://fiskal.kemenkue.go.id), bahwa peran pemerintah mengelola tradisi mudik secara baik akan memberi manfaat besar bagi ekonomi nasional. Tiga esensi tersebut, yaitu:

Pertama, aktivitas mudik (termasuk arus balik) akan menciptakan perputaran uang yang begitu besar dan cepat (velocity money). Puluhan triliun rupiah berpindah tangan dai kota ke kota, dari kota ke desa-desa dan perkampungan kecil. Tentu secara agregat nilai uang disini bukan hanya berbentuk cash, namun juga bisa berupa perkakas elektronik, pakaian, bahan makanan, minuman dan berbagai barang kebutuhan lainnya.

Redistribusi ekonomi dalam mudik lebaran bisa dibedakan dari dua tipe pemudik. Yaitu tipe pemudik sektor informal berpenghasilan rendah dan tipe pemudik dari pekerja formal berpenghasilan lebih tinggi. Yang termasuk tipe pertama antara lain  penjual bakso, penjual jamu, pedagang kaki lima, kaum buruh, dan pembantu rumah tangga (PRT). Biasanya bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan oleh kelompok ini adalah membelanjakan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang elekrtonik, pakaian baru, makanan, minuman atau malah untuk memulai suatu usahan baru di kampung.

Sementara, untuk tipe pemudik kelompok kedua didominasi oleh profesi formal, seperti dokter, pengacara, bankir, pegawai negeri, karyawan swasta, dan sebagainya. Adapun bentuk redistribusi ekonomi yang dilakukan kelompok ini pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari pemudik tipe pertama. Hanya saja, ada bentuk-bentuk redistribusi lain yang juga dijalankan seperti membagi-bagikan uang kepada sanak saudara di kampung, menyewa tukang cuci, sopir pribadi dan lain sebagainya.

Fakta diatas menunjukkan bahwa tradisi mudik memeang menciptakan redistribusi ekonomi dari kota besar, khususnya ibu kota jakarta ke daerah-daerah yang pada gilirannya bisa menstimulasi aktivitas produktif masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam titik tertentu kondisi ini juga bisa meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan daerah kepada pusat.

Kedua, tradisi mudik juga berpengaruh positif kepada keberadaan infrastruktur.Tak jarang datangna aktivitas mudik mengharuskan pemerintah memperbaiki dan menambah kondisi infrastruktur yang ada, mulai dari membangun jalan darat, rel kereta api, jembatan, bandar udara, hingga pelabuhan laut. Hal ini tentu positif untuk sektir infrastruktur itu sendiri maupun sisis ketepatan penerapan anggaran.

Ketiga, aktivitas mudik lebaran juga menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, yakni melalui peningkatan konsumsi. Ini terjadi karena begitu besarna volume pemudik yang mencapai puluhan juta orang. Sehingga nilai konsumsi agregat yang dihasilkan pun akan sangat besar, mencapai ratusan triliun rupiah. Jenis konsumsi yang cukup besar menjelang mudik biasanya berupa pembelian motor, mobil, bahan makanan, pakaian, dan biaya komunikasi.

*Profil Penulis

Elida Mahriani merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan H. Sukardi dan Hj. Rahimah Darias, menyelesaika Pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu, kemudian melanjutkan Studi pada jenjang S1 Jurusan Ekonomi Islam/Syariah (2010) di IAIN Antasari Banjarmasin (sekarang UIN Antasari), dilanjutkan ke jenjang S2 Magister Manajemen (2014) di STIE Indonesia Banjarmasin.

Sebelum menjadi akademisi, penulis pernah menjadi praktisi Perbankan dengan bekerja disalah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Umum yang ada di Kota Banjarmasin. Karir dibidang akademisi dimulai pada saat penulis mendapat kesempatan menjadi Asisten Guru Besar dengan mata kuliah Studi Kelayakan Bisnis (untuk jurusan Ekonomi Syariah). Saat ini penulis tercatat sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.

Adapun aktivitas keseharian penulis antara lain memberikan perkuliahan pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari, juga menjadi Sekretaris Jurnal At-Taradhi & Pengelola Laboratorium Bank Mini Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Divisi Kewirausahaan pada Unit Pengembangan Kewirausahaan dan Karier, dan Sekretaris Kios Bakat dan Minat Mahasiswa UIN Antasari Banjarmasin.Selain itu, penulis juga aktif sebagai Pembina Kegiatan Kemahasiswaan di UIN Antasari Banjarmasin, Tutor Penulisan Karya Tulis Ilmiah dan aktif sebagai peneliti, serta penulis juga aktif mengikuti kegiatan Seminar Nasional dan Internasional.