Haji adalah salah satu dari rukun Islam. Berbeda dengan rukun-rukun Islam yang lain, haji merupakan puncak dari ajaran dalam Islam. Mengapa disebut demikian? Hal itu karena, tidak hanya dilihat dari urutannya sebagai rukun ke-5, yaitu rukun terakhir dalam Islam, melainkan juga karena haji memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang rangkaian ibadah ini, pelaksanaan yang ekstra menguras tenaga dan pikiran, kesungguhan yang melibatkan curahan tenaga fisik dan penghayatan batin maksimal, dilaksanakan dalam waktu cukup lama, memerlukan persiapan, baik dari kesehatan fisik dan mental, serta kemampuan finansial untuk keberangkatan dan akomodasi di Tanah Suci. Bahkan, tidak hanya itu, untuk melaksanakan haji, calon jemaah perlu menunggu waktu giliran keberangkatannya beberapa tahun lamanya.
Segenap impian, harapan, usaha dan doa yang terus menyertai sepanjang perjalanan penulis sebagai Rektor UIN Antasari membuat pembaca terkesima dan semakin memahami betapa besar kesungguhan dan kontribusi beliau dalam memajukan UIN Antasari tercinta. Termasuk, tulisan dalam buku ini mengisahkan setiap proses berharga yang diwarnai berbagai pergumulan ragam pemikiran dan perasaan, dan bahkan terkadang suara-suara sumbang penolakan yang terkadang menguji ketangguhan.
Dalam beberapa hari ini media disuguhkan dengan berita yang membuat hati miris membacanya, yaitu tentang banyaknya pengangguran anak muda generasi Z yang mencapai angka 9,9 juta dan didominasi oleh usia 18 s.d. 24 tahun. Berita ini berhimpitan dengan munculnya jeritan tentang naiknya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi (PT) negeri . Munculnya 2 berita ini secara beriringan bukan tanpa sebab, karena memang isu keduanya saling beririsan dan kait mengait.
Tercengang adalah reaksi yang tidak saya lebih-lebihkan saat membaca buku penuh kejujuran yang ditulis oleh Prof. Mujib. Pasalnya, saya berekspektasi membaca tentang bagaimana pendidikan di era digital, secara harfiah. Tetapi lebih dari itu, buku ini bukan hanya teori, melainkan berisi pengalaman nyata penulis selama memimpin UIN Antasari.
Dihitung dari 27 Ramadhan, tidak lama lagi Idul Fitri akan tiba. Hatiku tercabik-cabik, khawatir dan gundah bahwa hari itu akan tiba. Aku berharap agar hari ini bukan hari ke-27 Ramadhan atau paling tidak ada waktu yang diperpanjang hingga 10 hari lagi untuk bulan Ramadhan atau kalau boleh diperpanjang lebih lama lagi. Aku tidak ingin kehilangan suasana Ramadhan ini. Ini begitu indah dan spesial bagiku. Namun, mengingat angka di kalender, memperhatikan anak-anak yang asyik memainkan gadget sambil memilih pakaian baru untuk Idul Fitri, dan kebahagiaan orang tua yang berkumpul dengan keluarganya serta persiapan berbagai acara menjelang Idul Fitri, air mataku jadi berkaca-kaca, membasahi kelopak dan bulu mataku. Hari itu mesti akan tiba. Setiap pertemuan mesti ada perpisahan. Aku juga tidak layak memutus kebahagiaan orang lain. Bukankah orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan yakni kebahagiaan ketika berbuka puasa/Idul Fitri dan kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya (HR. Muslim). Aku harus mencari cara lain agar Ramadhan ini tidak terpisah dariku tapi juga tidak mengganggu kebahagiaan Idul Fitri.
Ramadhan 1445 H tahun ini ditandai dengan perbedaan dalam penentuan Hilal antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah sebagai representasi kalangan modernis Islam mengawali puasa pada 11 Maret 2024 dengan alasan bahwa hilal sudah tampak (wujûd), sehingga ibadah puasa harus segera dimulai. Sementara pemerintah dan NU serta yang lainnya menyatakan bahwa hilal tidak dapat dilihat, sehingga hari di bulan Sya’ban harus digenapkan 30, maka awal puasa adalah 12 Maret 2024.
Ramadhan tiba. Suka-cita masyarakat menyambut bulan ini diekspresikan di mana-mana; lewat ucapan “Selamat berpuasa”, “Ramadhān mubārak”, “Ramadhān karīm”, dan sebagainya. Kita kini berpuasa; dari anak kecil sekelas SD hingga orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Alhasil, puasa sudah biasa kita lakukan, layaknya seperti siklus tahunan saja, berulang dan berulang lagi, seakan jadi rutinitas saja. Namun, dalam pelaksanaannya, tak jarang kita temukan, orang yang sedang berpuasa melakukan hal-hal di luar tindakan bermoral, seperti kebut-kebutan habis berbuka, atau menjelang buka puasa. Ada juga orang yang berpuasa, ketika berbuka puasa, terlalu banyak hidangan yang terkesan berlebihan, serta makan secara berlebihan; tidak hanya jenis makanannya, melainkan juga makannya overload alias terlalu kenyang. Banyak orang yang berpuasa, namun tidak banyak mengetahui hakikatnya. Lalu apa hakikat berpuasa itu?