Syarat Moderasi Beragama

Oleh  :  Imadduddin*

Kementerian Agama Republik Indonesia mendefinisikan moderasi beragama sebagai cara pandang, sikap dan perilaku di tengah-tengah di antara pilihan yang ektrem. Ekstrim yang dimaksud disini dapat dibagi menjadi dua yaitu boleh jadi ektrim kanan yang memiliki kecenderungan fundamentalis radikal dan ekstrim kanan yang memiliki kencerungan liberal dalam beragama

Berada di jalan tengah itu dimaksudkan sebagai sikap dan perilaku yang mengarah kepada jalan kepada Tuhan sekaligus juga pada waktu yang bersamaan berjalan kepada kemanusiaan. Berada di jalan berarti tidak ada dikotomi di antara keduanya. Dengan kata lain adalah moderasi beragama adalah orang yang dapat menyeimbangkan antara pengamalan agama nya sendiri (eksklusif) dan juga penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).

Apabila kita tarik dalam kontek keIndonesiaan maka keberagamaan yang terjadi di Indonesia ini sebetulnya sangatlah berbeda dengan yang terjadi ditempat-tempat lain karena di Indonesia ini sangatlah menonjolkan hal-hal yang bersifat inklusif. Bentuk inklusif itu termasuk juga dalam hal moderasi dalam beragama dan moderasi beragama ini paling terlihat di kalangan umat Islam.  Hal itu terjadi karena umat Islam di Indonesia sekarang ini paling mayoritas. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 jumlahnya umat Islam sebesar 87,18 persen dari 237,641,326 juta penduduk Indonesia. Maka secara otomatis, moderasi beragama itu sangat terlihat nyata dalam kehidupan umat Islam.

Beberapa contoh konkret moderasi beragama yang berbeda dengan yang terjadi di tempat-tempat lain dan sangat membekas di perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah ketika umat Islam Indonesia  yang diwakili oleh para pemimpin, ulama, kyai, ustad dengan lapang dada dapat menerima 3 hal krusial, yaitu pertama, Indonesia ini tidak berdasarkan atas Islam. Kedua, Indonesia ini tidak menjadi negara Islam dan ketiga bersedia menerima Indonesia berdasarkan azaz Pancasila. Rasanya ketiga hal itu tidak mungkin terjadi  kalau tidak ada moderasi beragama dari umat Islam.

Contoh konkret yang lainnya adalah sampai sekarang  ini banyak orang di luar Indonesia yang terheran-herankenapa Indonesia yang mayoritas mutlak penduduknya muslim sebesar 87,18 persentersebut tidak menjadi negara Islam dan tidak menjadi negara berdasarkan Islam. Sementara  di  belahan benua lain banyak sekali ditentukan negara-negara yang mendasarkan diri kepada agama.

Secara historis dalam pembentukan negara Indonesia sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan sekarang terlihat sekali bahwa moderasi beragama sangat mewarnai perjalanan bangsa ini khususnya dalam hal  umat Islam sebagai umat yang terbesar dn mayoritas  menerima empat  prinsip dasar negara bangsa Indonesia tanpa ada perdebatan. Empat prinsip dasar itu yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Itulah moderasi yang diperlihatkan umat Islam sepanjang sejarah.

Tentu saja Moderasi Beragama juga terlihat di dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bertanah air, sekarang ini para pemimpin dari kalangan non muslim dapat menjadi pejabat publik, baik menjadi seorang menteri, dapat menjadi seorang Gubernur, dapat menjadi Bupati dan Walikota. Tidak ada seorang pun yang menghalangi untuk menjadi apa saja. Kalau kita lihat lebih dalam lagi, maka tidak ada dalam konstitusi negara misalnya seorang presiden dan wakil presiden itu harus muslim. Non muslim pun mempunyai hak yang sama untuk dipilih.

Beberapa contoh konkret tersebut menunjukkan beberapa perwujudan sikap moderasi beragama yang sangat penting dari umat Islam sebagai warga negara yang terbesar di Indonesia. Pertanyaan lebih lanjutnya adalah, bagaimana kita sebagai umat Islam yang terbesar di Indonesia ini dapat mewujudkan sikap dan perilaku moderasi beragama dalam kehidupan keseharian kita. Setidaknya ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin mewujudkan moderasi beragama dalam sikap dan perilakunya.

Syarat pertama yang seyogyanya dimiliki oleh setiap orang adalah  harus mempunyai pengetahuan. Contoh sederhananya adalah kalau kita ingin mengetahui siapa yang ditengah dalam satu ruangan.  Maka kita haruslahmengetahui berapa orang  yang ada di ruangan tersebut. Kitaboleh berkata yang ditengah adalah yang kedua kalau kita tahu bahwa ada tiga orang yang ada di ruangan tersebut. Tapi kalau kita mengetahui bahwa jumlah yang ada di ruangan tersebut adalah sebelas orang maka siapa yang ditengah?.  Maka jawaban nya adalah enam. Tanpa adanya pengetahuan kita tidak akan dapat melakukan moderasi. Barangkali pengetahuan tentang moderasi ini yang hilang dari kita. Masing-masing merasa inilah yang paling moderasi.  Tapi tidak tahu apakah benar-benar moderasi asli ataukah moderasi palsu. Kadangkala perbedan-perbedaan itu hanya perbedaan dalam istilah saja, tidak selalu perbedaan itu saling bertentangan. Jadi untuk mengetahui mana yang ditengah perlu pengetahuan. Tanpa pengetahuan, kita tidak dapat melakukan sebuah moderasi beragama. Pengetahuan disini dapat dimaknai salah satunya dengan ilmu agama. Selalu perdalam ilmu agama secara benar dan baik dari sanad atau sumber yang jelas. Ujung dari semakin banyak dan luas pengetahuan yang kita miliki adalah semakin toleran kita dalam menyikapi setiap berbedaan yang ada. Semangat untuk memiliki pengetahuan ini perlu dilaksanakan oleh setiap orang, karena liberalisme beragama maupun fanatisme dan radikalisme akan terhapus apabila kita memiliki pengetahuan tentang ilmu agama yang baik dan benar. Albert Eisnten, pernah mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, dan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta.

Syarat yang kedua adalah mengendalikan emosi, lakukanlah moderasi beragama jangan sampai melampaui batas. Banyak kita temui di sekitar kita orang-orangyang ingin beragama dan beramal  dengan sangat kuat, namun akhirnya justru orang itu melampaui batas bahkan yang lebih parah sampai mengalami mabuk beragama. Contoh yang paling kongkret dan selalu di ingat oleh sejarah adalah ketika Ali Bin Abi Thalib, khalifah yang  keempat, dibunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada tanggal 26 Januari 661 M. Diketahui bahwa pembunuh Ali bin Abi Thalib tersebut adalah seorang yang rajin dan baik shalatnya, sholat malam nya tidak pernah tertinggal, seorang yang ahli dalam fiqh dan hapal alquran. Akan tetapikarena emosi keagamaannya meluap-luap sehingga Abdurrahman bin Muljam mempersalahkan semua orang yang tidak semuai dengan keyakinan politiknya.

Sekarang ini, banyak kita temui diantara kita emosi beragamanya sangat meluap-luap dan cenderung radikal sehingga tidak jarang kita mendengar di pembicaraan sehari-hari maupun pada saat ceramah agama muncul perkataan-perkataan seperti “ini salah”, “itu salah”, “itu kafir”, “itu bidah”, “itu tidak sesuai hukum Islam” dan lain sebagainya. Padahal kalau dilihat atau dikaji lebih dalam bisa jadi hal-hal yang dipersoalkan itu semuanya adalah sesuatu yang benar, hanya perbedaan sudut pandang saja. Fenomena ini sejalan dengan yang disebut oleh William James, seorang tokoh Psikologi sekaligus Filsafat yang hidup tahun 1842-1910, dalam buku nya yang terkenal The Varieties of Religous Exerience sebagai religius fear atau rasa takut beragama atau dengan kata lain mengamalkanan ajaran agama secara berlebih-lebihan, bermodal semangat, fanatik buta,  dan melupakan akal sehat sehingga apapun yang tidak sesuai dengan dirinya maka dianggap salah.

Syarat yang ketiga adalah dengan terus menerus berhati-hati, terus menerus berhati-hati ini seperti ketika dalam memahami, mengamalkan ajaran agama. Jangan merasa paling benar (etnosentrime) sedangkan orang lain paling salah. Mungkin kita perlu mengingat kembali bagaimana Iblis sampai di usir dari Surga, karena kesombongannya, karena merasa paling mulia, merasa paling benar, dan merasa paling pintar. Bukankah perbedaan itu sebuah keniscayaan?. Maka hormati setiap perbedaan yang terjadi diantara kita.

Kehati-hatian disini juga dalam artian ketika mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang diambil seyogyanya memperhatikan berbagai aspek dan pertimbangan dari berbagai pihak sehingga keputusan akhir yang diambil bersifat adil, berimbang  dan dapat mengayomi setiap pihak tanpa ada satu atau dua orang atau kelompok yang terluka.

Pada akhirnya, cara beragama kita tidak hanya menentukan secara pribadi akan tetapi juga sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemahaman keagamaan khususnya moderasi beragama itu menjadi penting. Moderasi beragama menentukan bagaimana kita berbangsa dan bernegara. Kalau pemahaman keagaamaan kita itu sempit, hanya satu sisi saja dan tidak tidak moderat maka pasti akan berkonsekuensi terhadap bagaimana kita ber Indonesia. Ada korelasi yang positif antara moderasi beragama dengan persatuan suatu bangsa tersebut, semakin moderat sebuah bangsa maka semakin kuat persatuannya, demikian juga sebaliknya, contoh sederhananya adalah di Syiria atau Sudan. Di negara tersebut tidak ada moderasi beragama yang berkembang sehingga persatuan bangsa nya pun tidak ada bahkan menuju kepunahan.

*Penulis adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin