Sembilan di Antara Sepuluh
Sembilan di Antara Sepuluh
Oleh Syaugi Mubarak Seff
(Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin)
Dalam beberapa hari ini media disuguhkan dengan berita yang membuat hati miris membacanya, yaitu tentang banyaknya pengangguran anak muda generasi Z yang mencapai angka 9,9 juta dan didominasi oleh usia 18 s.d. 24 tahun. Berita ini berhimpitan dengan munculnya jeritan tentang naiknya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi (PT) negeri. Munculnya 2 berita ini secara beriringan bukan tanpa sebab, karena memang isu keduanya saling beririsan dan kait mengait.
Banyaknya generasi muda yang tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) di Indonesia, tentu menjadi persoalan serius. Sekalipun jumlah tersebut masih didominasi oleh lulusan SMA/SMK, namun di antaranya terdapat mereka yang sudah lulus perguruan tinggi (alumni). Ini menjadi tantangan bagi PT untuk merespons persoalan-persoalan tersebut.
Salah satu persoalan klasik yang sering mengemuka tentang mengapa banyaknya yang menganggur, adalah karena persoalan ketimpangan antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Sekalipun pemerintah entah sudah berapa kali gonta-ganti kurikulum, ternyata belum menjawab ketimpangan tersebut (mismatch antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja).
Banyak orang tua yang berharap pada PT selepas anaknya menyelesaikan pendidikan, pekerjaan formal sudah menjemput di hadapan. Harapan tersebut sampai sekarang mungkin masih banyak dialami oleh orang tua mahasiswa. Sebagai sebuah harapan, tentu tidak salah dan sah-sah saja. Tetapi kalau mindset ini tidak berubah atau diubah, ini menjadi persoalan tersendiri bagi PT. Belum lagi persoalan keterserapan alumni PT pada sektor formal yang menunjukkan trend penurunan selama 15 tahun terakhir.
Perguruan tinggi umum (PTU) dengan prodi umum mungkin masih bisa menyumbang keterserapan alumninya dalam sektor formal, karena formasi keilmuannya tersedia dalam prodi PTU. Bagaimana dengan perguruan tinggi keagamaan (PTK) yang sebagian besar prodi-prodinya berbasis keagamaan.
Disadari atau tidak disadari, semakin sedikit sektor formal yang membuka peluang untuk disiplin ilmu keagamaan. Ini membuat salah satu sebab prodi-prodi tersebut kurang diminati sekalipun sudah menawarkan “diskon UKT”.
Kebijakan pendampingan bagi alumni dalam beberapa tahun di UIN Antasari merupakan terobosan bagus, dalam rangka tanggung jawab PT terhadap alumni dalam mendampingi alumninya untuk mendapatkan pekerjaan. Tinggal ke depannya bagaimana evaluasinya, sejauh mana program ini efektif dalam menghantarkan alumni mendapatkan pekerjaan.
Secara filosofis, pekerjaan tidak semata-mata soal upah, tetapi dalam dunia serba materialistik ini, standar upah masih menjadi indikator kelayakan dalam bekerja. Masih adanya alumni PTK yang terserap kerja di sektor nonformal dengan gaji yang kecil dengan rata-rata per bulan di bawah Rp1 juta, tentu menjadi PR bagi pengelola PT.
Sudah saatnya PT memperkuat arah kebijakan dengan mempersiapkan alumni sebagai entrepreneur (orang yang menciptakan bisnis baru). Bukankah ada hadis nabi yang memberikan keyakinan kepada pengusaha, terkait keutamaan dalam berbisnis, bahkan mengundang keberkahan selama adab-adabnya terpenuhi.
Apalagi para ulama sering memotivasi umat, bahwa ada rezeki yang besar dalam berniaga, “Hendaklah kamu berniaga, karena padanya ada 9 daripada 10 pintu rezeki”. Motivasi ini sudah saatnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang termasuk mahasiswa, khususnya mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang selalu bersentuhan dengan doktrin agama.
Selamat Harkitnas!
