Pluralisme Liberal Dibalik Al-Qur’an Dan Sila Pertama

Oleh: M. Noor Aspihan*

Kalau kita perhatikan asal kata pluralisme ialah istilah yang berhubungan dengan sebuah aliran filsafat, yang merupakan sistem berfikir guna diadu dengan filsafat lain yaitu monisme ( hakikat sesuatu adalah tunggal). Gagasan tersebut dihembuskan oleh Leibniz dan Russel, mengapa demikian?, karena aliran pluralisme adalah suatu reaksi dan penolakan sebagian masyarakat terhadap konsepsi tentang alam dan doktrin logis yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar jika memenuhi kriteria kebenaran yang masuk akal.

Dalam buku karangan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, pandangan definisi pluralisme terbagi 2 kacamata yang berbeda yakni pertama, pluralisme politik yang menekankan dan menentang negara kebablasan dalam menjalankan kebijakannya kepada rakyat yang ditindas serta doktrin-doktrin hukum kekuasaan negara, perbincangan diatas dihiasi oleh keadaan suatu pemerintahan yang dikuasai oleh seorang pemimpin yang bengis dan kekuasaan mutlak berupa hukum yang diciptakan dirinya dan elit politiknya, maka rakyat yang tertindas akan rasa muak kezhalimannya memunculkan pemikir cendekiawan bahwa didalam kehidupan kebenaran tidak terpusat kepada satu orang, melainkan bersifat banyak (plural) sebagai senjata untuk menghabisi elit politisi yang berkuasa. Sedangkan pandangan kedua, pluralisme sosial yang menekankan kesadaran problem masyarakat sosial beragam, baik berupa kesukuan, etnis, ras, dan agama. Respon pendapat kedua ini memang menghasilkan suatu keunikan, disatu sisi kehidupan memang memiliki fitrah perbedaan, dilain hal terdapat kesamaan juga kalau dilihat lebih seksama. Salah satu bagian pluralisme sosial ialah tertuang didalam unsur agama.

Agama merupakan perbedaan paling mendasar disetiap kehidupan, didalam sejarah peradaban manusia tentunya dipenuhi oleh pengkelompokan antar agama maupun didalam agama itu sendiri. Dibalik itu semua, agama datang membawa suatu ajaran yang tidak hanya mengajarkan manusia tentang bagaimana menyembah dan berbakti kepada penciptanya, melainkan agama juga mengajarkan kedalam identitas etnis dan budaya sampai identitas yang lebih luas ruang lingkupnya (politik dan nasional). Sehingga disatu pihak agama dapat menjadi faktor mempererat dalam suatu hubungan masyarakat, dan dilain pihak dapat juga sebagai faktor pemecah di antara lingkungan sosial.

Persoalan pluralisme lebih populer dikalangan masyarakat yang menjemuk termasuk di Indonesia, Gambaran tentang struktur dan kemajemukan penduduk Indonesia hingga saat ini yang paling dapat dipercaya dan menjadi rujukan adalah data yang berasal dari Sensus Penduduk tahun 2010. Menurut sensus BPS suku bangsa Indonesia berjumlah 1.340 ribu, dan terdapat 34 provinsi beserta 6 agama yang diakui secara nasional. Jika melihat data terakhir Berdasarkan data Worldometers (29 Mei 2019 ), Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 269 juta jiwa atau 3,49% dari total populasi dunia. Sehingga isu-isu pluralisme sangat welcome oleh masyarakat kita sendiri akhir-akhir ini, soal etnis, budaya dan suku dalam perbedaan sudah dapat diterima dan diyakini bahwa itu merupakan kultur bangsa kita sendiri yang tidak boleh dipaksakan sama semua, yang mana asas itu sudah tertanam dalam sila ketiga pancasila yakni persatuan Indonesia. Kita sepakat permasalah diatas tidak akan membenturkan keimanan seseorang terhadap pembenaran dalam aspek muamalah (sosial) selama tidak terikat dalam keyakinan keimanan seseorang.  Yang jadi masalah ketika isu pluralisme dibawa dalam ranah keimanan seseorang terhadap agama yang diluar keyakinanya, padahal setiap agama telah menyampaikan bahwa ajarannyalah yang paling benar dan diluar padanya dianggap menyimpang dari keimanan yang dianutnya. Maka menyebabkan masyarakat bingung dan bimbang terhadap konsep pluralisme dalam agama, karena mareka dituntut bersikap mengakui, menghargai, menghormati, memelihara dan mengembangkan toleransi yang tertinggi dalam sebuah kemenjemukan bermasyarakat, dengan tetap memegang teguh bahwa Agama yang lain tetap salah meskipun keyakinan tersebut tidak dibicarakan didepan publik, akhirnya membuat seseorang yang taat beragama melakukan suatu kemunafikan dengan tujuan tetap menghargai Agam orang lain berupa pengakuan bahwa seluruh Agama benar walaupun bertentangan dengan ajaran Agamanya tersebut

Kalau melihat sejarah munculnya pluralisme diatas, tentu prinsip dasar nilai yang terkandung didalamnya berasal dari barat dengan metode filsafat, dengan asas multikulturalisme yakni adalah penegasan bahwa keragaman merupakan fakta yang riil di kehidupan duniawi yang berakar kepada faham relativisme (semua bersifat benar). Kaum liberal menginginkan sendi-sendi pluralisme agama menjadi urat nadi setiap masyarkat Indonesia terkhusus agama Islam dengan tujuan untuk menghancurkan keimanan seseorang terhadap Tuhannya secara perlahan-lahan. Tentunya agenda mareka bukan candaan semata, dengan dalil Al-Qur’an melalui tafsiran-tafsiran mareka serta berpegang pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dengan dalih toleransi dan Hak Asasi Manusia, menyebabkan robohnya ketauhidan umat Islam secara berangsur-angsur.

Argumentasi kaum pluralisme terhadap agama :

1. Dalil Al-Qur’an

            Didalam buku Qosim Nursheha Dzulhadi tentang membongkar kedok liberalisme di Indonesia, tertera bahwa dasar hukum yang mareka gunakan terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 62 yang artinya :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani dan orang-orang shabiin (golongan yang lain), siapa saja diantara mareka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir dan melakukan kebajikan, mareka mendapat pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut kepada mareka dan mareka tidak bersedih hati”.

Dengan berpacu ayat diatas maka kaum liberal berusaha menterjemahkan, salah satunya gagasan Nurcholis Madjid, “bahwa semua agama adalah jalan kebenaran menuju Tuhan”. Maksudnya ialah seluruh agama mempunyai satu tujuan yakni Tuhan, maka yang berbeda hanyalah cara atau metode untuk sampai kepada yang dituju.

            Melihat sudut pandang liberal dapat diterima, jikalau menggali tafsir ayat tersebut secara menyeluruh tidak setengah-setengah. Ayat Tuhan diatas sudah jelas tertera bahwa agama Islam, Yahudi serta Kristen benar jika beriman kepada Allah, tetapi apakah sekarang kedua agama tersebut (selain Islam) benar-benar dalam koridor iman ? jika iya jawabannya, hal itu akan terbantahkan bahwa Islam datang untuk menghapus dan melengkapi ajaran terdahulu. Belum lagi kita mengkritisi apakah agama hindu, budha dan kongchucu masuk dalam ayat tersebut ? sedangkan ayat diatas jelas menyatakan agama samawi. Hal inilah sebenarnya pegangan kaum pluralis terhadap agama pada ayat Al-Qur’an mudah sekali dipatahkan, karena didalam surah Ali-Imran ayat 19 sudah jelas bahwa agama yang diridhoi (benar mutlak) disisi Tuhan ialah Islam. 

2. Ketuhanan Yang Maha Esa

            Kaum pluralis meyakini bahwa dengan adanya sila pertama akan menjamin kebebasan beragama serta secara tidak langsung semua agama sama dimata Tuhan (benar). Sekilas argumen mareka masuk akal dan mudah diterima, namun hakikat sila pertama menurut Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya Syarah UUD 1945 Perspektif Islam, menyebutkan akidah Tauhid merupakan arti bahwa dasar keyakinan dari semua agama-agama didunia. Prinsip awal sama yakni tujuannya ialah Tuhan, yang menjadi pembeda adalah penerapan ajaran tersebut dari sebelum adanya Islam maupun telah timbulnya Islam, konsep Tuhan Kristen dengan trinitasnya sedangkan Yahudi dengan Tuhan Yahweh nya sangat berbeda dengan konsep Ketuhanan Islam yang Esa, sehingga hembusan relativisme kebenaran terhadap agama tertolak dengan bedanya unsur dasar beragama. Maka peran sila ini hanya sebagai sikap toleransi antar beragama dalam batasan-batasan tertentu, tanpa menyamakan keyakinan agama lain (Mukti Ali).

*Profil Penulis

Noor Aspihan lahir di Kuala Kapuas pada tanggal 22 Mei tahun 1999, dibesarkan dari keluarga yang sederhana, yakni dari pasangan Nabhan (ayah) dan Haslah (ibu). Dalam perjalanan hidupnya pada dunia pendidikan, ia memulai menjajaki pra pendidikan dasar di TK Aisyah Bustanul Athfal I (lulus tahun 2004/2005), lalu melanjutkan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 (lulus tahun 2010/2011), setelah menempuh pendidikan dasar bagi seorang anak yang tinggal bersama orang tua, ia memulai pertualangan hidupnya dengan merantau diluar kota tepatnya mengenyam pendidikan dipondok pesantren Al-Falah Putera Banjarbaru, jangka waktu lulus dipondok tersebut seharusnya 7 tahun lamanya, tetapi dengan kerja keras dan tekun dalam memothola’ah kitab-kitab klasik, maka pada ujian tes naik tingkat (bahasa pondok Jamping) ia dapat setahun lebih cepat dari teman-teman biasanya (lulus tahun 2016), setelah menjadi alumni ponpes, ia menjadi mahasiswa di Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin yakni jurusan Hukum Keluarga Islam, yang sekarang baru menginjak di semester 5.

Kegiatan sekarang dalam mengisi waktu senggangnya kuliah, ia berorganisasi di HMI – Komisariat Syariah (sebagai anggota), Antasari Cendekia (sebagai kabid pengkaderan), Forum Kajian Hukum dan Ilmiah (sebagai kabid literasi) serta menjabat di Senat Mahasiswa Fakultas Syariah ( sebagai waketum periode 2019/2020).