Menjaga Asa Kaum Muda dari Ageisme

Oleh: Waluyo Satrio Adji* 

Berikan saya 1000 orang tua niscaya akan saya cabut gunung semeru dari tempatnya, berikan saya 10 pemuda niscaya akan saya guncang dunia. Kutipan jargon dari bung Karno seakan tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Jika ditelisik tentang dinamika kehidupan pemuda tidak jauh dari kenekatan, keberanian, perlawanan, perdebatan, tidak berpikir panjang, pergerakan, dsb Contoh nyata pemuda ada di film Dilan 1990 semasa Sekolah Menengah sudah berulang kali berkelahi, bolos, melawan. Deskripsi lebih jauh lagu bang Rhoma Irama dalam lirik lagunya berjudul darah muda mendendangkan, “darah muda darah yang berapi-api, yang maunya menang sendiri walau kalah tak peduli, oooh darah muda”.

Diakui kiprah pemuda di sejarah bangsa Indonesia begitu vital, dalam buku berjudul Java in a time of revolution, Occupation and resistensi, 1944-1946 yang ditulis sejarawan bernama Benedict O. Anderson, jika ditarik benang merahnya menyatakan bahwa arah bangsa Indonesia secara signifikan ditentukan oleh generasi muda. Mulai dari Sumpah Pemuda tahun 1928, Kongres pemuda, sampai peristiwa penculikan golongan tua ke Rengasdengklok sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, siapa lagi yang melakukan kalau bukan para pemuda Indonesia. Golongan muda diantaranya Wikana, Sukarni, Darwis, Chaerul Saleh, Djohan Noer, Adam Malik, BM Diah, dsb.

Jauh sebelum peristiwa di Indonesia, Pada zaman Rasulullah hidup, Rasul memberikan teladan semasa mudanya dengan memberikan peran penting dalam setiap langkahnya. Ketika diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Sama-sama mengetahui karakter pekerja keras, jujur, adil, positif ada dalam diri beliau. Gelar Al-Amin didapatkan bukan tanpa sebab, tetapi karena karakter jujur dan amanah dalam berdagang yang saat itu beliau semasa remaja berumur 17 tahun. Pada usia ke 25 Rasul dikenal sebagai pedagang yang sudah Go International saat itu yang membuat Siti Khadijah menaruh hati ke beliau.

Setali tiga uang, para sahabat juga penuh dengan peran penting di masa mudanya. Zaid ibn Tsabit misal, sudah menjadi ketua dalam kodifikasi Qur’an zaman Khalifah Abu Bakar As Sidiq padahal usia masih 13 tahun. Khulafa Rasyidin Ali ibn Abi Thalib Karamallahu Wajhah di usia ke 25 tahun sudah mendapat julukan bintang lapangan karena paling banyak membunuh pasukan Quraisy dalam peristiwa perang Badar, padahal usia tersebut masih relatif muda. Bergeser ke sejarah Turki, Pahlawan bernama Muhammad Al Fatih juga tidak kalah menarik jika membahas masa muda, sudah menjadi rahasia umum dalam penaklukan konstantinopel usia beliau masih 21 tahun.

Beberapa peristiwa tersebut menjadi contoh bagaimana nahkoda dari kaum muda dalam memobilsasi arah revolusi akan suatu perahu besar bernama bangsa guna memberikan manfaat sebesar dan sedini mungkin kepada agama, bangsa, dan negara.

Diskriminasi Umur atau Ageisme

Kajian menarik sebuah buku terbitan The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) berjudul “Buku Saku untuk Kebebasan Beragama Memahami Diskriminasi”, yang ditulis oleh Fulthoni, Renata Arianingtyas, Siti Aminah, Uli Parulian Sihombing. Pada buku ringkas memaparkan Prinsip Non Diskriminasi dalam HAM dengan bentuk Tanya jawab, ada bagian penting yaitu tentang aturan hak-hak non diskriminasi yang dijamin secara Internasional pada butir pertama menyatakan “Hak asasi manusia untuk bebas dari pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pengutamaan berbasis gender (peran sosial karena perbedaan jenis kelamin), ras, warna kulit, asal bangsa atau etnis, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berbeda, umur, atau status lainnya, yang bertujuan atau berdampak merusak atau melemahkan seseorang dari menikmati hak asasi dan kebebasan fundamental”. Perlu digaris bawahi kata “umur” bahwa pembedaan berdasarkan “umur” untuk tujuan melemahkan hak asasi seperti hak pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, pengembagan bakat dan minat, dsb sudah termasuk dalam diskriminasi. Hal tersebut bukan berarti untuk golongan muda yang mengalami diskriminasi tetapi juga golongan tua.

Diskriminasi umur atau ageisme ini terkadang dialami kaum muda di tempat kerja baru, contoh sederhananya saat seseorang fresh graduate bekerja di tempat atau kantor baru. Sudah dapat dipastikan ada dikotomi junior dan senior dalam hal pekerjaan dengan ukuran umur sebagai acuan. Kalau sebagai rekan kerja untuk melatih yang baru justru bagus, akan tetapi jika suatu pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi kapasitas keilmuan atau kompetensi masih tetap mengukur dengan umur atau tidak memberikan kesempatan untuk kaum muda dengan alasan kurang matang dengan pengalaman, hal semacam ini itu sudah masuk dalam diskriminasi, dapat dipastikan kemajuan suatu lembaga akan jalan di tempat. Akibat buruk dari Ageisme kepada anak muda adalah membuat abu-abu akan jati dirinya, yang seharusnya menghadirkan spirit perjuangan golongan muda berbentuk agen perubahan tetapi kenyataannya terpenjara oleh konstruksi sosial akan aturan yang berlaku di tempat, kemungkinan besar kalau tidak ada gebrakan pengulangan akan spirit perjuangan pergerakan pemuda hanya sebatas halusinasi semata, lebih ekstrimnya menjadi komoditas yang dapat dimanfaatkan para penguasa.

Pada tahun 2018-2019 ini sudah banyak spirit muda yang diperjuangkan kaum muda. Pada peta perpolitikan Indonesia tahun 2019, ada partai alternatif untuk kaum muda, sebut saja PSI, PKPI, partai Garuda, Partai Berkarya yang rata-rata partisannya adalah kaum muda, meskipun hasil pemilu dibawah 4% menjadikan calon legislatif tidak lolos ke Senayan tetapi spirit mereka perlu diapresiasi untuk berkompetisi melawan tembok besar partai pendahulu dengan tokoh yang sudah ternama. Tokoh-tokoh politik muda juga sudah bermunculan semisal Emil Dardak, Sandiaga Uno, Tsamara Amany, Giring, Gamal Albinsaid, dsb.

Sosok pemuda lain dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan semisal Prof. Azhar Zam dengan diagnosis kesehatan menggunakan laser, yang juga merupakan guru besar di Universitas Basel, Swiss. Ada profesor muda bidang Electrical Engineering di Lehigh University asal Indonesia bernama Nelson Tansu, dengan menjadi guru besar di usia 25 tahun. Masih banyak lagi ilmuwan muda yang menjadi inpirasi, beberapa sosok muda tersebut hanya sebagian tetapi perlu direnungkan agar mengetahui posisi perjuaganan kita berada di mana?

Akhir kata, setiap manusia diberi kesempatan untuk memanfaatkan masa muda sebelum datang masa tua. Tidak ada salahnya berusaha mencoba, mencoba, dan mencoba untuk memberikan manfaat sebesar dan sedini mungkin kepada agama, bangsa, dan negara seperti para pendahulu dalam mengukir sejarah emas dalam setiap pergerakan. Salah arah itu wajar, dalam sejarah pergerakan kaum muda tidak 100% benar, tetapi mereka selalu mencoba memperjuangkan keidealan.

*Profil Penulis

Waluyo Satrio Adji, Lahir di Kota Batu tanggal 14 Desember 2017, Menempuh Pendidikan Formal di SDN Sisir 05 Batu, SMPN 01 Batu, SMA Katholik Yos Sudarso Batu, Sarjana dan Magister di tempuh di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Diangkat menjadi Dosen PNS tahun 2016 di Fakultas Tarbiyah UIN Antasari Banjarmasin, bekerja di Unit Penjamin Mutu FTK. Beberapa tulisan Opini yang diterbitkan di media daring berjudul :

1. Indonesia tersingkir dari Piala AFF 2018?,
2. CLBK dengan Kosmik,
3. Mengenang nasihat dalam Guyonan KH Hasyim Muzadi,
4. Gema dari Kota Marawi dan Jakarta,
5. Menyoal Paslon Nurhadi dan Aldo,
6. Menyadari Pentingnya Informasi Mitigasi Bencana
7. Akrab dengan Gempa.

Di media Cetak Banajrmasin Post:

1. Membangun Harmonisasi Antara Wali Murid dan Guru,
2. Mengahdirkan Akhlak Rasul dalam Kerinduan.

Kesibukan di luar kampus menjadi pemimpin redaksi dinamikata.com, pengurus di Basundara Outdoor Camp, distributor Yogurt Flamboyan, produsen minuman Cao Func Batu. Memiliki hobi bermain bulutangkis dan futsal.