Mana Ulama Perempuannya?

Laporan dari Kegiatan LP2M Goes to Pesantren

Oleh: Ahmad Muhajir, Ph.D.*

Absennya ulama perempuan dalam daftar tokoh di Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024 menjadi topik hangat dalam diskusi buku yang berlangsung di Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri.

Saat itu hampir pukul 11 pagi. Ruangan diskusi itu, Aula Ghazali Muhtar, dipenuhi oleh ustaz dan ustazah dari Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri. Meskipun panitia awalnya memperkirakan peserta sekitar 100 orang, kehadiran pada hari H menunjukkan jumlah yang lebih besar. Yang menarik perhatian saya adalah komposisi gender audiens: sekitar 75% peserta adalah pengajar perempuan, sementara sisanya adalah laki-laki. Proporsi ini mungkin tidak mengejutkan, mengingat acara berlangsung di pondok putri. Tetapi menurut Wakil Direktur Pondok Putri, Kiai Haji Abdullah Husin, dominasi ustazah merupakan hasil proses panjang. Pada awal dekade 2000-an, ketika beliau baru bergabung, jumlah ustaz lebih banyak dibandingkan ustazah.

Pengalaman saya melihat banyak ustazah berkumpul di satu tempat, terutama di pesantren yang mendidik santriwati untuk menjadi Muslimah cerdas dan bertakwa, adalah pengalaman baru. Semua ini penting sebagai latar belakang cerita utama mengenai kritik terhadap absennya perempuan dalam Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024.

LP2M Goes to Pesantren

Ketua LP2M, Dr. Zainal Abidin, pernah mengingatkan dalam sebuah rapat agar Koordinator Pusat tidak hanya “bermain di kandang terus.” Tahun lalu, LP2M dan pengelola pondok sepakat mengadakan acara di Pesantren Darul Hijrah, namun terpaksa dibatalkan karena dinamika internal kampus. Sebagai gantinya, seminar dengan tema penyusunan Ensiklopedi Ulama Banjar dan Al-Qur’an dengan Terjemah Bahasa Banjar diadakan pada Kamis, 12 September 2024, di pondok pesantren tersebut.

Dr. Zainal Abidin hadir dan memberikan sambutan, memperkenalkan LP2M kepada hadirin serta menginformasikan bahwa Pusat Kajian Banjar dan Melayu bertugas melaksanakan program kolaborasi kali ini. Beliau mengucapkan terima kasih kepada pimpinan pondok atas kesempatan membagikan hasil penelitian LP2M dan membangun jejaring antara kampus dan pesantren.

Topik-topik Diskusi

Cerita tentang penyusunan Ensiklopedi Ulama Banjar disampaikan oleh Muhammad Bulkini, seorang jurnalis, anggota tim editor, dan kontributor buku. Saya membahas Al-Qur’an dengan terjemah Bahasa Banjar, sementara Dr. Muhammad Rusydi membagikan hasil investigasinya tentang kesalahan penisbahan kitab berbahasa Arab Melayu kepada Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Nuansa budaya Banjar dan Melayu sangat terasa dalam topik-topik yang didiskusikan.

Meskipun terdapat tiga topik, Ensiklopedi Ulama Banjar menerima tanggapan paling banyak. Dr. Rusydi, Dr. Zainal Abidin, dan saya juga memberikan respons, selain Bulkini sebagai pembicara utama.

Mana Ulama Perempuannya?

Setelah presentasi, audiens diberikan kesempatan berdialog. Saya ingin fokus pada pertanyaan berdimensi gender dari seorang ustazah, yang menurut pimpinan pondok, merupakan lulusan S1 Al-Azhar, Kairo, dengan gelar Lc. Ustazah muda bernama Miftahurrahmah ini bertanya, “Mengapa dalam Ensiklopedi Ulama Banjar ini tidak ada ulama perempuannya?”

Meskipun duduk di barisan belakang, pertanyaan ustazah muda itu terdengar jelas dan menyentuh kesadaran para pembicara serta audiens. Beberapa peserta tampak mengangguk setuju, menunjukkan betapa tajamnya observasi tersebut dan ketidak sabaran mereka untuk mendapatkan jawaban.

Bukan Pertanyaan Baru

Pertanyaan ini bukan kali pertama tim editor dengar, menunjukkan betapa pentingnya isu ini. Hanya pertanyaan mengenai kriteria ulama yang lebih sering muncul dibandingkan pertanyaan tentang gender (lihat juga tulisan saya tentang Penelitian Ilmiah, Keulamaan, dan Izin Rasulullah).

Saya mengakui bahwa saya telah “digugat” oleh seorang kolega di Kampus UIN Antasari mengenai ketiadaan ulama perempuan dalam buku tersebut. Sebenarnya banyak perempuan Banjar yang telah berkontribusi signifikan dalam pendidikan dan dakwah Islam, dan mereka layak dimasukkan dalam buku Ulama Banjar dari Masa ke Masa.

Saya juga ingin menambahkan bahwa Professor Bakri Muhammad Bakhiet dari Sudan, yang membantu memeriksa terjemahan Bahasa Arab untuk beberapa riwayat ulama Banjar, turut mengangkat isu yang sama. Dalam workshop dan diseminasi terjemahan Bahasa Arab Ensiklopedi Ulama Banjar pada akhir Juli 2024, beliau menyarankan agar ulama perempuan juga dimasukkan ke dalam naskah final sebelum dicetak.

Jawaban Tim Editor

Sebagai ketua tim editor Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024, saya menjelaskan bahwa ulama perempuan Banjar telah dibahas dalam buku tersendiri yang diterbitkan oleh Antasari Press pada 2021. Kami khawatir bahwa jika ulama perempuan yang jumlahnya sedikit digabungkan dalam Ensiklopedi Edisi 2024 yang berisi 276 tokoh laki-laki, mereka akan kurang terlihat. Menurut kami, penerbitan buku khusus tentang ulama perempuan akan memberikan mereka perhatian yang lebih layak.

Masalah yang Lebih Dalam

Walaupun audiens tampak lega setelah jawaban ini, penelitian mengenai Ulama Perempuan Banjar masih sangat terbatas. Saat ini, hanya ada buku oleh Fatrawati dan Mukarramah serta disertasi oleh Ria Susanti. Sepuluh tokoh dari dua sumber ini telah dimasukkan dalam program penerjemahan riwayat hidup ulama Banjar ke Bahasa Arab dan Inggris oleh Unit Pelayanan Bahasa UIN Antasari. Penelitian lanjutan tentang Ulama Perempuan Banjar mungkin sudah dilakukan, tetapi saya belum melihat naskah akhirnya.

Masalah yang lebih mendalam adalah ketiadaan ulama perempuan Banjar kontemporer yang setara dengan tokoh-tokoh ulama Banjar terkemuka seperti Guru Sekumpul, Guru Zuhdi, atau Guru Kapuh. Banyak pengisi pengajian untuk jamaah perempuan adalah guru agama laki-laki. Penelitian saya mengenai YouTuber Banjar menunjukkan bahwa dari lebih dari 100 channel yang saya periksa, tidak ada content creator perempuan yang teridentifikasi sebagai ulama atau pendakwah. Perempuan Banjar lebih banyak membuat konten tentang makanan, pakaian, dan game, sementara yang membahas wacana keagamaan di YouTube masih belum saya temukan. Meskipun banyak guru agama dan dosen perempuan di sekolah dan kampus Islam, ulama laki-laki masih mendominasi dakwah dan produksi wacana keagamaan di tanah Banjar.

Kesadaran akan ketiadaan tokoh perempuan dalam Ensiklopedi Ulama Banjar sejak edisi-edisi sebelumnya seharusnya memicu upaya penelitian yang lebih intensif, terutama oleh perempuan itu sendiri. Meskipun peneliti laki-laki mungkin juga tertarik, mereka sering kali masih fokus pada ulama laki-laki yang riwayat hidupnya belum terdokumentasi. Ini bukan sikap anti-perempuan, melainkan lebih pada kecenderungan personal serta keterbatasan waktu dan tenaga.

Harapan kita adalah munculnya ulama perempuan Banjar yang lebih dikenal di dunia maya maupun nyata. Akademisi memiliki tugas kultural untuk memfasilitasi hal ini.

(*Penulis adalah Koordinator Pusat Kajian Banjar dan Melayu pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat)