Jangan Bertakwa Setahun Sekali

Oleh: Miftah Faridh^*

Salah satu momen tahunan yang selalu menyedot perhatian umat Islam adalah tibanya bulan suci Ramadhan. setiap memasuki bulan puasa ini, ada nuansa yang dirasakan berbeda dari bulan-bulan lainnya. Suasana itu tidak lain karena adanya kebahagiaan yang bersifat ‘maknawi’ tatkala menyambutnya. Tidak hanya itu, bagi mereka yang memang ‘memiliki kesadaran beragama’, sudah menjadi tamu agung yang senantiasa dirindukan kedatangannya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan ada sebagian lainnya yang tidak merasakan sesuatu yang istimewa.

Kita semua mengetahui, betapa banyak fadhilat (keutamaan) yang terkandung di bulan tersebut. Misalnya, sebuah ungkapan yang sudah sangat familiar di tengah masyarakat, tercantum di dalam kitab Durratun Nāshihīn disebutkan bahwa bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan membuat seseorang diharamkan jasad dari tersentuh api neraka. Sebagian besar da’i dan ustadz biasa menyampaikan ibrah tersebut, terutama di awal-awal Ramadhan. Terlepas dari kesahihan hadisnya yang dipermasalahan banyak ulama, bergembiranya saja sudah berbuah keutamaan yang besar, apalagi jika dibarengi dengan amal-amal shaleh lainnya.

Demikian pula dengan kelebihan-kelebihan lain. Setiap amal kebaikan yang dikerjakan akan mendapat ganjaran pahala yang berlipat ganda. Setiap bentuk taqarrub dari ibadah sunnah setara dengan pahala ibadah wajib di bulan lain. Sedangkan ibadah fardhu sendiri akan mendapat ganjaran pahala sampai tujuh puluh kali lipat, dalam riwayat lain sampai tujuh ratus kali lipat bahkan sampai jumlah yang tak terhingga.

Oleh karena itu tidak mengherankan jika semua umat Islam termotivasi untuk berlomba-lomba dalam melakukan amal kebaikan. Mesjid dan musholla yang sebelumnya terkesan kosong pun akan membludak kebanjiran jamaah. Orang-orang ramai untuk shalat berjamaah di berbagai tempat. Di malam hari, masyarakat berduyun-duyun untuk pergi ke mesjid atau tempat-tempat lain yang digunakan untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dijanjikan Rasulullah SAW dalam hadis shahih muttafaq ‘alaih, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan mendirikan shalat di malam harinya (tarawih), karena iman dan mengharap ridha-Nya semata, niscaya akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.”

Di bulan Ramadhan itu pula kita sangat di anjurkan untuk memperbanyak membaca al-Qur’an apalagi jika dapat mengkhatamkannya di bulan itu. Banyak di antara kita yang jauh-jauh hari sudah pasang target untuk dapat mengkhatamkannya berkali-kali. Konon, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sekali mengkhatam al-Qur’an di bulan Ramadhan sama dengan seribu kali mengkhatam di bulan lain. Targhib (motivasi) ini tampaknya berhasil menggenjot semangat umat yang terkesan banyak yang acuh tak acuh terhadap kitab sucinya sendiri. Al-Qur’an yang selama ini penuh debu—karena disimpan dalam lemari dan berada di tengah-tengah tumpukan barang lain—akhirnya kembali dibuka. Lantunan ayat suci pun sayup-sayup dapat ditemukan di setiap rumah. Di mana ada mesjid dan musholla, selepas shalat tarawih, selalu diadakan tadarusan al-Qur’an.

Tidak hanya itu, pengajian-pengajian agama aktif dilaksanakan di mana-mana. Para ustadz laris manis di bulan penuh berkah tersebut. Tidak sedikit ustadz yang terpaksa menolak permintaan ceramah di suatu tempat karena sudah terlebih dahulu dipesan di tempat lain. Demi mendorong semangat, tak apalah sebagian hadis-hadis dha’if pun ramai disampaikan. masyarakat sepertinya sangat antusias untuk menimba ilmu agama dan mendengarkan taushiyah-taushiyah penyejuk qalbu. Kembali salah satu targhib yang disebutkan dalam Durratun Nāshihīn mulai diperhatikan orang. Bahwa menghadiri majelis ilmu di bulan Ramadhan, mendapatkan pahala pada setiap langkahnya laksana ibadah satu tahun.

Nuansa Ramadhan ternyata juga merambah ke dunia hiburan. Tak pelak lagi hampir semua stasiun televisi menyiarkan tontonan berbau ‘Islami’. Mulai dari taushiyah agama, tabligh akbar, lagu-lagu religi, sampai kepada sinetron-sinetron ala Ramadhan. Bahkan tayangan-tayangan dengan predikat ‘season’ ramadhan justru sudah jauh-jauh hari disiapkan oleh dapur produksi masing-masing. Tak kalah ketinggalan, para artis juga berlomba-lomba mengenakan busana muslim/muslimahnya. Rambut wanita yang selama ini dibiarkan terurai dan menjadi konsumsi setiap mata sekarang sudah ditutupi dengan kerudung berbagai mode. Tren busana muslim pun laris di pasaran. Iklan sarung dan sirup untuk menemani berbuka pun seakan menjadi sajian wajib di setiap tahunnya.

Akan tetapi di sisi lain, sungguh sangat ironis jika semangat beragama semacam ini hanya muncul di bulan puasa. Ada anggapan sebagian orang—dengan berdalih bulan penuh ampunan—semua dosa dan aktivitas bejatnya setahun penuh akan diampuni begitu saja. Sebab itu tidak jarang kita menyaksikan usai Ramadhan mesjid dan tempat-tempat ibadah kembali ‘kosong’. Al-Qur’an kembali tak dihiraukan. Apalagi ibadah-ibadah sunnah lainnya yang memang sudah menjadi kebiasaannya untuk ditinggalkan. Jangankan sampai ke sana, pada paruh kedua Ramadhan pun indikasi itu sudah mulai tampak. Lihat saja jamaah shalat tarawih yang semakin mengalami ‘kemajuan’. Bukannya peningkatan kualitas, melainkan shafnya yang semakin maju ke depan karena jamaah yang mengalami degradasi alias penurunan.

Akselerasi amal yang dilakukan di bulan Ramadhan seyogyanya berimplikasi pada bulan-bulan selanjutnya. Karena Ramadhan adalah bulan training (latihan) untuk mendidik jiwa menjadi pribadi muttaqīn. Ibarat aji mumpung, kita pun terjebak pada sikap bertakwa setahun sekali. Atau dengan kata lain kita hanya menjadi hamba Allah musiman. Di luar itu, maksiyat jalan lagi, dunia gemerlap malam pun siap kembali bergoyang, dan jilbab ditanggalkan. Ini artinya kita semua tetap saja bermental munafik. Na’udzubillah. Jika paradigma ini yang dianut oleh masyarakat, sudah barang tentu hal ini merupakan “musibah” besar dalam agama. Bagaimana mungkin umat Islam bisa maju jika ghīrah beragamanya masih sangat minim. Dan pantas jika kita terus-menerus dijajah oleh konspirasi pihak-pihak yang menginginkan umat Islam senantiasa terkebelakang dan selalu dipenuhi citra negatif. ²

*Profil Penulis

Miftah Faridh. Pria kelahiran kota apam Barabai-Hulu Sungai Tengah ini menyelesaikan pendidikan strata 1 pada Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin. Kemudian melanjutkan Program Magister Hukum Islam dengan mengambil konsentrasi Filsafat Hukum Islam dan menyelesaikannya tahun 2010 di almamater yang sama. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif Program Doktoral (S3) Ilmu Syariah Program Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin. Sejak berstatus sebagai mahasiswa rajin menulis essay yang diterbitkan di harian lokal. Sekarang aktif mengajar sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Syariah dengan mengampu sejumlah mata kuliah seperti Pengantar Perbandingan Mazhab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, dan Ilmu Hadis. Selain itu, dia juga menjadi Dewan Pembina UKM Antasari Cendekia—organisasi kemahasiswaan yang bergerak dibidang intelektual dan kepenulisan.