
In Memoriam Habib Abdullah Al-Habsyi (1938–2025)
Mujiburrahman
HABIB Abdullah bin Muhsin al-Habsyi yang akrab kami panggil “ustadz Habib” atau “Habib Abdullah” telah meninggal dunia pada malam Jumat, 13 Maret 2025 M bertepatan dengan 13 Ramadan 1446 H dalam usia 87 tahun. Saya baru mengetahui kabar duka ini menjelang makan sahur, melalui isteri saya yang mendapatkan informasi tersebut di grup WA keluarga. Usai bersahur, saya membuka ponsel yang sejak Magrib saya matikan, untuk menelusuri informasi lebih jauh di grup-grup WA alumni Pesantren Al-Falah Banjarbaru. Dari situ saya mendapatkan kabar bahwa beliau wafat di RSI Sultan Agung, kemudian sebentar disemayamkan di kediamannya, lalu dibawa ke Pesantren Al-Falah putera untuk dimandikan dan disembahyangkan.
Pagi harinya, setelah mampir sebentar di kampus, saya segera meluncur ke Al-Falah putera. Ketika memasuki pintu gerbang pesantren, saya nyaris tak bisa mengenali lagi. Pagar dan papan nama yang dulu sudah diganti dengan yang baru, yang lebih elegan dan kekinian. Rumah-rumah para ustadz, termasuk bekas rumah Habib Abdullah, sudah rata dengan tanah. Satpam menginzinkan mobil kami masuk sampai ke dalam dan parkir di samping kiri depan musalla. Saya menyalami para ustadz yang berdiri berjejer menerima tamu. Saya diberi tahu bahwa jenazah almarhum berada di musalla, dan disembahyangkan di sana. Sejurus kemudian, saya berpapasan dengan ustadz Ilham Humaidi. Kami bersalaman dan saling menanyakan kesehatan. “Bapak bisa lewat samping ini,” katanya, menunjukkan arah untuk masuk ke musalla.
Saya masuk melangkah ke dalam musalla. Di dalam terlihat banyak orang, lelaki dan perempuan, yang dipisah oleh dinding kain. Para santri yang tidak pulang kampung, duduk berjejer membaca doa dan Alqur’an. Saya melihat jenazah almarhum di atas keranda. Pada saat yang sama, saya melihat ustadz Alfian Noor, duduk di sebelah kanan depan Musalla menghadap jenazah. Saya segera menemuinya, bersalaman mencium tangannya dan berbincang. Ustadz Alfian mengatakan bahwa belakangan suaranya tidak bisa lagi lantang seperti dulu. Ada semacam gangguan di tenggorokan. Karena itu, beberapa pengajian majelis taklim terpaksa ia hentikan. Saat asyik berbincang, tiba-tiba datang kakak kelas saya, ustadz Saifurrahman, bersama beberapa orang. Saya segera bangkit berdiri, untuk ikut salat jenazah berjemaah. Kanda Saifurrahman memimpin salat dengan khusyu. Usai salat, salah seorang anak ustadz Habib membuka penutup wajah almarhum. Kami diizinkan untuk terakhir kali melihat dan mencium dahinya. Suasana duka dan haru amat terasa.
Kami kemudian beriringan melangkah menuju pintu keluar musalla. Belum sampai di pintu, kami berpapasan dengan ustadz Syamsuddin, salah seorang ustadz yang juga sudah sepuh. Dia berjalan perlahan, sambil didampingi dan ditopang oleh seseorang. Kami menyalaminya, mencium tangannya. “Saya Saifurrahman,” dia menyebut nama. “Saya Mujib,” mengikuti Saifurrahman. Ustadz Syamsuddin hanya tersenyum lembut. Tak ada satu katapun diucapkannya, kemudian langsung melaksanakan salat jenazah, sementara kami sudah melangkah ke luar musalla. Saya lalu berbincang dengan beberapa orang ustadz muda. “Dulu kami tinggal di asrama musalla ini, yang diberi nama Tariq bin Ziyad,” kataku. “Berarti di lantai atas ya?” tanya salah seorang. “Tidak. Justru di bawah,” kataku. Ternyata perubahan musalla dari lantai atas ke bawah sudah terjadi lama sekali, sehingga banyak orang yang tidak tahu sejarahnya. Saya mengamati gedung-gedung lama yang tampak rapuh dan kusam. “Nanti semua gedung kelas yang lama ini akan diganti dengan yang baru. STAI Al-Falah akan pindah ke bagian depannya,” katanya. Saya mengamati lagi gedung-gedung baru yang indah. Ternyata, Asrama Malik yang dulu pernah saya tempati juga sudah diganti oleh gedung-gedung baru.
Dalam perjalanan pulang, saya merenung dan membatin tentang orang-orang yang baru saja saya temui dan gedung-gedung lama yang satu persatu diganti. Hidup memanglah demikian adanya. Datang dan pergi silih berganti. Tak ada yang abadi. Yang tua akan digeser oleh yang muda. Tak ada yang bisa melawan hukum alam. Secanggih apapun ilmu kedokteran, setiap orang akan makin tua, tubuh melemah hingga ajal tiba. Dalam kajian ilmu tauhid, inilah yang disebut “baharu alam”. Ciri baharu atau baru itu adalah memiliki awal dan akhir, dan selalu berubah. Dulu saya boleh merasa muda, tapi sekarang sudah tergolong generasi tua.
Saya kembali teringat dengan Habib Abdullah. Alangkah indahnya. Beliau wafat malam Jumat, di bulan suci Ramadan pula. Sepanjang hidupnya, dia telah mendidik generasi muda, angkatan demi angkatan, entah berapa ribu jumlahnya. Karena itu, di sini saya jadi tergugah untuk menulis sebagian kecil jejak-jejak mulia almarhum berdasarkan ingatan dan pengalaman saya.
****
Setamat Sekolah Dasar, saya masuk Pesantren Al-Falah pada 1984. Salah satu yang paling menonjol dalam kurikulum pesantren ini adalah penguasaan bahasa Arab. Mula-mula saya ditempatkan di Kelas 4 Ibtidaiyah. Hanya satu atau dua minggu, atas izin pengasuh, saya pindah ke Kelas 5 Ibtidaiyah. Waktu itu Al-Falah menerapkan sistem lompat, sesuai kemampuan santri. Dari Kelas 5, saya tiap tahun melompat hingga tiga kali, sehingga tamat di Al-Falah dalam waktu lima tahun, tepatnya pada 1989. Dalam masa yang panjang itu, saya belajar dengan tiga orang ustadz yang mengajarkan kosa kata (mufradât), dikte (imlâ’), mengarang (insyâ’), dan percakapan (muhâdatsah). Tiga orang itu adalah Ustadz Ali Syirwan, Ustadz Bushiri dan Ustadz Habib Abdullah. Di tingkat bawah, saya mula-mula belajar dengan Ustadz Ali Syirwan, lalu ustadz Bushiri. Keduanya adalah murid kesayangan Habib Abdullah. Baru setelah Kelas 3 Tsanawi hingga Kelas 3 Aliyah, saya belajar dengan ustadz Habib. Selain itu, Habib Abdullah juga mengajari kami sastra Arab dan kaligrafi.
Habib Abdullah adalah putera Habib Muhsin, seorang ulama di Banjarmasin. Habib Muhsin berteman baik dengan pendiri Al-Falah, Muallim H. Muhammad Sani. Menurut cerita, saat Habib Muhsin di tokonya, dia dijumpai oleh H. Muhammad Sani, yang meminta agar anak beliau, Habib Abdullah, bersedia membantu mengajar di pesantren yang baru didirikannya. Singkat cerita, mereka bersetuju, dan jadilah Habib Abdullah sebagai pengajar sekaligus pengasuh generasi awal Al-Falah yang mulai beroperasi pada 19 Januari 1976. Tidak lama kemudian, posisi pengasuh (murabbi) diserahkan kepada H. Ahmad Kusasi, yang telah berpengalaman di Perguruan Syafi’iyyah Jakarta. Setelah itu Habib Abdullah aktif sebagai pengajar senior. Habib Abdullah pernah menjadi Ketua Yayasan, dan kemudian sebagai Anggota Dewan Pembina Yayasan hingga akhir hayatnya. Namun, perannya yang utama bukanlah di bidang administrasi dan manajemen, tetapi sebagai pengajar dan pendidik.
Apa yang dikenang dan khas dari Habib Abdullah? Salah satunya adalah pakaian beliau yang agak lain dari yang umum di pesantren waktu itu. Para santri Al-Falah, sejak generasi awal hingga sekarang, memakai sarung, baju koko putih dan kopiah putih. Namun Habib Abdullah kala itu seringkali memakai celana panjang dan kemeja, serta memakai peci hitam. Penampilannya ini seolah menunjukkan sisi modern dan progresif dari dirinya. Dia memang sosok yang cerdas dan berwawasan luas. Kadang-kadang di sela-sela pembelajaran, dia bercerita tentang perkembangan politik internasional dengan fasih. Dia mengaku rutin mendengarkan radio luar negeri, seperti siaran Australia dan BBC. Dia juga menguasai bahasa Inggris. Ketika ada tamu dari luar negeri yang berbahasa Inggris, dialah yang mendampingi. Menurut alumni yang lebih muda, dia juga pernah menjadi penerjemah tamu asing saat si tamu berpidato di depan para santri.
Kemodernan Habib Abdullah juga tampak dari bahan-bahan ajar yang digunakannya. Dia menggunakan al-Nahw al-Wâdhih, buku tata bahasa Arab modern, yang dijadikan pegangan dalam latihan mengarang. Dia juga menggunakan teks modern untuk mengajarkan balâghah dan sastra Arab. Untuk balâghah, dia menggunakan satu bagian dari buku Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, sedangkan untuk sastra dia menggunakan buku berjudul Târîkh al-Adab al-‘Arabi. Buku yang terakhir ini sulit didapatkan di toko buku/kitab sehingga kami menggunakan versi fotokopinya saja. Selain itu, Habib Abdullah mengarang sendiri bahan ajarnya. Mula-mula dia mengarang kumpulan kosa kata (mufradât) yang dibagi dua jenis, yakni kata kerja (fi’il) dan kata benda (isim). Kemudian dia mengarang lagi buku kumpulan sinonim (mutarâdifât) dengan sisipan tata bahasa dan sintaksis yang rumit. Buku ini menunjukkan betapa luas pengetahuannya tentang bahasa Arab.
Dalam mengajar kosakata, dia meminta setiap santri untuk menghafal 15 kosa kata setiap kali pertemuan. Biasanya kami maju bergiliran, satu per satu, dan beliau menyimak. Kosa kata yang dihafal itu kemudian diterapkan dalam mengarang dan percakapan. Banyak di antara kosa kata itu adalah istilah-istilah modern, yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab kuning. Dalam pembelajaran mengarang, dia mula-mula membacakan dan menjelaskan satu topik bahasan dari al-Nahw al-Wâdhih, kemudian setelah itu kami latihan mengarang. Caranya, dia membuat kalimat dalam bahasa Indonesia, lalu kami ditugaskan menerjemahkannya ke bahasa Arab. Dia memberi tempo sekian menit, lalu kami mengumpulkan pekerjaan kami yang ditulis di buku tulis. Kemudian dia menuliskan jawabannya di papan tulis. Bagi yang merasa benar semuanya atau salah sedikit, boleh menahan buku tulisnya di meja ustadz. Bagi yang merasa salah fatal, segera mengambil buku tulisnya. Dia kemudian memberi nilai dengan pulpen tinta basah berwarna merah. Yang benar semuanya dikasih nilai jayyid. Yang salah satu diberi nilai 8, dan salah dua diberi nilai 6. Bagi yang benar sepenuhnya (jayyid) tiga kali berturut-turut, akan mendapatkan nilai jayyid jiddan. Kemudian jika dia bisa jayyid jiddan tiga kali, maka akan mendapatkan mumtâz. Artinya, untuk meraih nilai mumtâz, santri harus benar enam kali berturut-turut. Selama saya belajar dengannya, hanya satu kali saya pernah mendapatkan nilai mumtâz itu.
Habib Abdullah sangat jarang mengajarkan percakapan secara khusus. Dia mengajarkannya dengan berbahasa Arab saja kepada kami. Bahkan setelah nanti kami sudah menjadi alumni, setiap kali bertemu, dia menggunakan bahasa Arab. Untuk dikte (imlâ’), dia membacakan naskah berbahasa Arab, dan kami menuliskannya sesuai kemampuan kami menangkapnya. Ini merupakan latihan mendengar (istimâ’) sekaligus menulis. Setelah itu, beliau menuliskan teks yang dibaca tadi di papan tulis. Proses koreksinya sama dengan koreksi latihan mengarang (insyâ’) di atas. Judul buku yang sering beliau gunakan dalam dikte ini adalah Mufrad al-‘Ālam. Adapun pembelajaran sastra Arab, dia biasanya membacakan teks dan menerangkan saja. Begitu pula dengan sejarah sastra Arab, yang lebih banyak melihat masa Jahilliyah. Kelak, ustadz Ahmad Zaini yang baru pulang dari belajar sastra Arab di Universitas Islam Madinah mengajarkan seluk-beluk sastra ini kepada kami. Dari ustadz Zaini saya sempat membaca novel-novel Arab modern seperti karya al-Manfaluthi dan Najib al-Kailani. Ustadz Zaini adalah murid pertama kebanggaan Habib Abdullah yang berhasil mengembangkan keterampilan bahasa dan sastra Arab secara luar biasa dan kelak bekerja di LIPIA Jakarta. Selain itu, kadangkala Habib Abdullah mengajarkan kaligrafi. Dia menulis kalimat di papan tulis dengan indah, dan kami menirukannya, menggunakan pensil yang dipotong miring. Seingat saya, dia tidak memberikan penilaian terhadap hasil kaligrafi kami dengan angka.
Namun, Habib Abdullah bukanlah sekadar seorang pengajar yang mahir, tetapi terutama seorang pendidik yang tulus. Hampir setiap kali mengajar dia menyisipkan nasihat-nasihat. Kadangkala dia bercerita tentang pengalaman hidupnya dalam menuntut ilmu. Suatu hari dia bercerita bagaimana setelah tamat dari Pesantren Darun Nasyi’in, Lawang, Jawa Timur, membenamkan diri dengan membaca kitab dan buku. Dia begitu asyik, tenggelam dalam lautan ilmu. Kacamatanya yang tebal tampaknya akibat kegemarannya membaca itu. Sampai-sampai dia lupa mau kawin. Orangtuanyalah yang kelak mendorongnya untuk menikah. Dia sangat menghormati orangtuanya. Berbakti kepada kedua orangtua adalah suatu kewajiban yang benar-benar dijalankannya. Karena itu, dia hampir tiap minggu pulang ke Banjarmasin, menemui orangtuanya. Kadangkala rumahnya yang kosong, dititip kepada santri senior kesayangannya. Salah satunya adalah (alm.) H. Bahruddin.
Selain mengajar di kelas, Habib Abdullah juga rutin tiap malam Selasa, memimpin Salat Magrib dan Isya berjemaah. Usai Salat Magrib, membaca wirid dan membaca Yasin, Waqi’ah dan al-Mulk, beliau memanggil salah seorang qari dari kalangan santri. Yang sering dipanggil beliau adalah ustadz Saifurrahman, yang suaranya indah dan mampu meniru irama qari nasional, Muammar ZA. Yang lain lagi adalah ustadz Rahmansyah yang kelak berubah nama menjadi ustadz Abdurrahman. Setelah itu, Habib Abdullah memberikan nasihat-nasihat. Beliau adalah sosok yang lembut dan kebapakan. Jarang sekali marah, dan kalau marah tidak akan bertindak secara fisik. Dalam hal ini, beliau menghadirkan sisi feminin dalam pendidikan. Untuk mengimbanginya, di Al-Falah juga ada ustadz H. Ahmad Kusasi, yang menjadi murabbi (pengasuh) yang cenderung tegas dan kadangkala keras, yang mewakili sisi maskulin. Keduanya ini memberikan keseimbangan. Habib Abdullah dengan lembut melontarkan nasihat-nasihatnya. Kadangkala diambil dari ayat Alquran yang baru dibaca. Kadangkala sebagai respon atas perilaku santri. Kadangkala pula dia memotivasi semua santri agar rajin menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu. “Malaikat membentangkan sayapnya untuk penuntut ilmu karena senang padanya,” merupakan salah satu hadis yang disitirnya . Kewajiban berbakti pada orangtua juga sering diingatkannya. Ketika bercerita tentang Nabi Muhammad SAW, kadangkala dia mencucurkan air mata penuh haru. Mungkin karena nasihat-nasihat itu lahir dari hati yang tulus, kata-katanya seolah menembus dada dan mengena di hati kami.
Sebagai pendidik, Habib Abdullah juga menunjukkan teladan dalam kehidupannya, yang disaksikan langsung oleh para santrinya. Hidupnya yang sederhana memberikan kesan yang kuat bagaimana sikap asketis (zuhud) dijalankannya. Suatu hari dia mengajari kami kaligrafi. Teks yang ditulis adalah hadis yang berbunyi “nahnu qawmun lâ na’kulu hatta najû’a” (kami adalah kaum yang tidak akan makan kecuali setelah lapar). Ia menceritakan, baginya pribadi, sudah biasa dan bahagia saja, kala makan hanya dengan nasi dan garam. Dia sangat mengagumi Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali. Saya kira dia tamat membaca empat jilid tebal Ihyâ’ itu. Suatu hari dia mengatakan, jika ingin menikmati prosa yang sastrawi, bacalah Ihyâ’. Karena itu tak heran, laku hidupnya sehari-hari, lebih-lebih setelah dia semakin tua, merupakan laku hidup para Sufi. Setahu saya, dia tidak pernah terlibat dalam pertarungan politik yang penuh kepentingan itu.
Setelah lama tinggal di lingkungan Pesantren Al-Falah putera, dia akhirnya pindah ke luar, ke rumah sendiri di kawasan Guntung Manggis, Banjarbaru, tak jauh dari Pesantren Yasin. Sejak 1990-an hingga tinggal di luar pesantren, dia lebih fokus mengajar di Al-Falah puteri. Ini sebabnya, banyak santri puteri yang juga merasa kehilangan atas wafatnya beliau. Selama di Guntung Manggis, dia sering dikunjungi murid-muridnya, terutama para alumni Al-Falah. Mereka datang untuk bersilaturrahmi, meminta doa dan nasihat. Mungkin sebagai respon atas permintaan murid-muridnya, dia mengarang kumpulan doa dan kaifiyat ibadah berjudul al-Jawâhir al-Muntakhabah al-Nafîsah. Setahu saya, beliau jarang sekali memberi ceramah di luar. Sosoknya nyaris tak dikenal publik. Dia lebih dikenal oleh para santrinya ketimbang masyarakat luas. Mungkin ia sengaja memilih jalan sunyi seperti itu. Menjadi pendidik para santri sampai akhir hayat.
Saya pribadi dan keluarga juga kadangkala bersilaturrahmi kepadanya, meminta nasihat dan doa. Ketika saya mendapatkan beasiswa S-2 ke Kanada, saya mengunjunginya. Dia bertanya, “Apakah isterimu ridha kamu tinggalkan untuk menuntut ilmu?” “Ya,” jawabku. “Kalau begitu, teruskan saja. Nanti kamu di sana akan bertemu dengan umat Islam dari berbagai bangsa. Kamu bisa bergabung dengan mereka,” katanya. Dia tidak pernah ke Kanada, tetapi dia tahu keadaan di sana berkat bacaannya yang luas. Pernyataannya itu juga seolah mengingatkan saya bahwa kuliah di negara mayoritas non-Muslim tidak berarti bahwa kita akan tidak punya teman sesama Muslim. Kelak setelah saya di Kanada, saya membuktikan apa yang dikatakannya.
Dua tahun kemudian, sepulang dari Kanada, saya menemuinya lagi. Seperti biasa, dia membuka pembicaraan dengan bahasa Arab, baru bahasa Banjar. Dia senang bahwa saya sudah selesai studi. Dia meminta saya untuk mau membantu mengajar di STAI Al-Falah. Saya turuti pesannya itu beberapa tahun, bahkan kelak setelah saya pulang dari S-3 di Belanda. Dari berangkat naik sepeda motor hingga naik mobil, saya bolak-balik Banjarmasin-Banjarbaru untuk mengajar. Lama-lama tugas saya di IAIN/UIN Antasari makin banyak, sehingga saya hanya bisa membantu membimbing skripsi mahasiswa saja lagi. Setelah saya menjadi rektor sejak 2017 lalu, saya hanya bisa membantu secara administratif dan datang di acara wisuda. Ketika saya menjadi rektor ini, salah satu nasihatnya ke saya adalah “Hati-hati dengan orang-orang yang dengki!”
Hari ke hari hidup terus mengalir. Satu persatu kawan dan ustadz meninggalkan kami, tetapi Habib Abdullah diberi Allah usia panjang. Semakin tua, dia tampak semakin bijaksana. Mata batinnya semakin tajam, meski mata lahirnya semakin kabur hingga tak melihat sama sekali. Yang membuat saya gembira, ketika matanya sudah tak melihat, dia dapat mengingat suara saya. Ketika saya bicara, dia langsung tahu bahwa tamunya adalah saya. Tampaknya santri yang lain juga demikian. Dalam usianya yang makin senja, dia akhirnya juga sulit mendengar. Seolah dunia ini sudah tak layak lagi dilihat dan didengarnya. Kami para santrinya tidak berani berbicara nyaring agar didengarnya, karena takut kualat. Karena itu, banyak santri yang datang hanya untuk bersalaman dan meminta doa, tidak berbincang seperti biasa. Sesuai zamannya, banyak beredar foto para santri bersamanya saat berkunjung ke rumahnya. Itulah cara mereka menghibur hati dan mengenang ustadz yang mendidiknya.
Kemarin, saya mencari-cari foto saya bersamanya, yang masih saya simpan rapi. Alhamdulillah foto itu saya dapatkan. Foto itu kira-kira diambil pada 1989, di rumah yang ditempatinya di lingkungan Pesantren Al-Falah putera. Tampak saya memakai kopiah hitam, sebagaimana beliau. Yang mengambil foto ini kalau tak salah adalah Bahruddin, yang waktu itu memiliki kamera dan bersiap-siap berangkat ke Bangil untuk melanjutkan studi. Kami waktu itu bergantian memoto. Dari foto itu tampak kesederhanaan seorang Habib Abdullah, yang menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Selamat jalan habib, guru kami yang kami cintai. Semoga pahala amal baikmu di dunia ini terus mengalir, menemanimu ke surga. Amin.
