Hijrah Palsu

Oleh  :  Noor Hasanah*

Istilah hijrah tidaklah asing bagi masyarakat Muslim. Dalam Alquran kata hijrah disebutkan beberapa kali. Diantaranya QS. Al Baqarah [2] : 218, QS. An-Nisa [4] : 100, QS. Al Anfal [8] : 74, dan QS. At-Taubah [9] : 20. Ini menunjukkan bahwa hijrah adalah anjuran bahkan menjadi solusi alternatif bagi permasalahan kehidupan sosial Muslim. Misalnya ketika dalam kondisi terdesak, membahayakan, tercekam, serta ketiadaan rasa aman dan nyaman.Hijrah sendiri memiliki ragam arti. Diantara literatur yang mengupas makna hijrah dengan ragam arti dan maknanya adalah Hijrah dalam Pandangan Al-Quran karya Ahzami Samiun Jazuli dan Islamic Law and The Crisis of The Reconquista: The Debate on The Status of Muslim Communities in Christendom tulisan Alan Verskin.

Hijrah dapat berarti perpindahan (migrasi) dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw dan Nabi Musa AS. Hijrah yang dilakukan oleh keduanya beserta para pengikut dilatari oleh ketiadaan rasa aman dan nyaman baik secara fisik maupun mental di tempat yang mereka diami. Desakan dan ancaman dari musuh kian meresahkan keselamatan para pengikut yang beriman. Maka dalam hal ini, hijrah ke tempat yang aman menjadi lebih baik.

Makna lain dari hijrah adalah menghentikan perilaku syirik dan menjauhi sesuatu yang negatif. Sesuatu yang negatif dapat berupa maksiat dan kondisi yang tidak kondusif untuk menuju jalan Allah Swt. Makna kedua inilah yang diamini milenial dan sesuai dengan konteks masa kini. Hijrah dalam konteks kekinian yaitu perubahan menjadi lebih baik.

Beberapa tahun terakhir ini, kata hijrah menjadi trend tersendiri di masyarakat. Sunnah menjadi populer, semangat nilai-nilai Islam ditegakan, juga akhlak islami dikampanyekan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu! Akan tetapi menjadi berlebihan (baca: bablas) tatkala teks dalil dimaknai dan dipahami hanya secara tekstual, sehingga melahirkan pemikiran dan pemahaman yang sempit. Bahkan tidak jarang suatu teks dipahami tanpa melihat konteksnya. Padahal keberadaan teks selalu berkaitan dengan konteks. Walhasil paham Islam yang dipopulerkan menjadi sempit, luput dari makna, intoleran, eksklusif bahkan cenderung radikal. Contoh isu-isu yang seringkali dipahami secara tekstual adalah jihad, hijab, poligami, khilafah, dan juga hijrah itu sendiri.

Sebenarnya istilah hijrah mulai mengemuka di tahun 1990-an. Saat itu komunitas kajian di Perguruan Tinggi ramai membuka forum-forum kajian keislaman yang disebut dengan liqo atau halaqah. Para senior yang dianggap berpenampilan islami (umumnya perempuan berjilbab besar, dan jika lelaki berjenggot dan bercelana cingkrang), memiliki retorika yang bagus, familiar dengan ide-ide pembaharuan dari para tokoh luar seperti Jamaluddin Al Afgani, Sayyid Quthb, Hasan Al Banna dan lain-lain dikukuhkan sebagai Murabbi/Murabiyah oleh komunitas mereka yang mempunyai semangat memurnikan Islam dan semangat pembaharuan

Murabbi/Murabiyah berperan selayaknya mentor bagi mad’u (sebutan bagi anggota kajian dalam liqo atau halaqah). Hal tersebut menyebar dan berlangsung hingga kini. Pengkaderan terus terjadi.

Kalangan yang pernah merasakan titik terendah dalam hidup mereka atau yang pernah merasakan terpuruk akibat beban hidup yang tidak kuasa dihadapi, memiliki minat yang tinggi untuk bergabung dengan liqo atau halaqah ini. Mereka membutuhkan jawaban yang instan, tidak rumit, tidak bertele-tele dan tidak memunculkan kebingungan. Sesuatu yang singkat dan padat. Padahal mempelajari dan memahami Islam tidak dapat seperti itu. Ada banyak konteks dan sudut pandang ilmu yang terkait dengan Islam.

Dikarenakan tampilan, gaya, cara pandang mereka yang keras dan kaku terhadap Islam, maka tidak jarang mereka bersikap tidak terbuka, menutup diri, intoleran, anti sosial dengan kalangan di luar mereka. Maka sepertinya ini bukan hijrah yang benar!

Islam ditampilkan dengan eksklusif, padahal selayaknya Islam bersifat inklusif, moderat, ramah, terbuka dan solutif bagi permasalahan kehidupan. Kondisi ini menjadi lepas dari nilai-nilai Islam yang sebenarnya rahmatan lil ‘alamîn. Membuat aman dan nyaman bagi siapa saja dan berkasih sayang kepada makhluk Allah Swt.

Perubahan Menjadi Lebih Baik

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa hijrah secara maknawi adalah perubahan diri menjadi lebih baik. Maka secara sederhana ini dapat dipahami: yang dulunya tidak sholat kemudian menjadi rajin sholat, dulunya gemar memfitnah dan mengadu domba menjadi tidak bicara kecuali yang mengandung kebaikan, dahulunya berada dalam pergaulan bebas sekarang tidak, sebelumnya malas belajar maka sekarang giat belajar dan sebagainya. Beberapa tawaran alternatif agar tidak keliru memahami hijrah dan berhijrah:

Pertama, menghindari perkumpulan, komunitas atau forum yang menawarkan hijrah secara instan. Misalnya kajian-kajian yang fokusnya adalah perubahan diri secara fisik (tampilan) tanpa diikuti pengondisian batin (hati) yang lebih khusyu, berpikiran positif, memahami keragaman dan tenang dalam menghadapi persoalan.

Kedua, tidak mengkaji Islam dari tayangan-tayangan dan pesan singkat yang tersebar di media sosial terlebih yang tidak diketahui sumbernya. Terlebih yang kontennya berisi hate speech atau memburukan kalangan yang lain. Ketahuilah, kajian agama bukan ajang sumpah-menyumpahi!

Ketiga, berguru kepada yang benar. Seperti para tokoh atau alim ulama yang merujuk pada sumber atau referensi yang otoritatif. Terlebih kepada tokoh alim ulama yang dikenal dengan baik riwayat hidup, kebaikan akhlak dan pemikirannya yang moderat.

Jika hijrah yang dipahami dan dipraktikan adalah mengeksklusifkan diri sehingga merasa diri lebih baik dari yang lain, maka waspadalah itu hijrah palsu! Allahu a’lam.

*Penulis adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin.