Filosofi dan Spiritualitas Pelayanan Publik
Filosofi dan Spiritualitas Pelayanan Publik1
Mujiburrahman2
“Andai Adam tidak berbuat dosa di surga, maka dia tidak benar-benar menjadi manusia,” kata Muhammad Iqbal, filosof asal Pakistan itu. Berbuat baik atau buruk, benar atau salah, taat atau maksiat, pahala atau dosa, adalah pilihan moral. Manusia diberi Tuhan kebebasan memilih secara moral ini, dan karena itu dia wajib bertanggungjawab atas pilihan yang diambilnya. Melayani dan memperlakukan orang lain dengan baik adalah satu pilihan moral. Manusia bebas melakukan atau tidak melakukannya, dan harus pula menanggung akibat-akibatnya.
Secara alamiah, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia adalah makhluk sosial, hidup bersama dengan yang lain. Dalam bahasa Indonesia, kumpulan manusia yang hidup bersama itu disebut ‘masyarakat’. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, musyârakah, yang artinya bekerjasama, berserikat alias bersekutu. Ada kesalingan dalam hidup bermasyarakat. Saling membantu dan menolong. Saling memberi dan menerima. Saling menghormati dan menyayangi.
Namun, manusia tidak hanya makhluk sosial, melainkan juga pribadi, orang perorang, yang unik dan berdiri sendiri. Sebagai pribadi, dia memiliki identitas yang khas. Rupa tubuh yang khas. Suara yang khas. Cara berjalan yang khas. Nama yang khas. Banyak lagi yang khas, yang tidak sama dengan yang lain. Lebih penting lagi, dia sadar bahwa dirinya memiliki segala kekhasan itu. Dia sadar akan keakuannya. Dia sadar akan egonya. Kesadaran akan dirinya yang unik itu tumbuh seiring dengan interaksi yang dialaminya dengan manusia-manusia lain, mulai dari keluarga hingga masyarakat luas.
Ketika kita membicarakan tentang perilaku manusia melayani manusia lainnya, maka kita tidak akan bisa terlepas dari dua kondisi di atas: manusia sebagai individu sekaligus anggota masyarakat. Bagaimanakah dia meletakkan diri pribadinya, egonya, ketika berhadapan dengan yang lain? Apa yang ada dalam pikirannya ketika dia memberi atau melakukan sesuatu untuk orang lain? Apa yang diharapkannya di balik layanan yang diberikannya? Apa tujuan yang ingin dicapainya?
****
Jika kita beranggapan bahwa individu harus mengutamakan kepentingan publik (dalam retorika politik sering disebut kepentingan bangsa dan negara), maka layanan yang diberikan individu pada yang lain, harus dilihat sebagai upaya menjaga masyarakat secara keseluruhan. “Jangan tanyakan apa yang kau dapat dari negara, tetapi tanyakan apa yang dapat kau berikan pada negara” merupakan sejenis ungkapan heroik demi kebersamaan itu. Dalam sumpah jabatan, kita juga mendengar ungkapan “mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.” Sebuah sabda Nabi Muhammad SAW berbunyi: “Perumpamaan saling kasih, sayang dan cinta di antara sesama kaum beriman adalah seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuh akan merasa sakit, tak bisa tidur dan demam.” Dalam hadis lain disebutkan, “Bukan dari golongan kami orang yang tidak mengasihi yang muda, dan tidak menghormati yang tua.” Ada lagi hadis yang berbunyi, “Demi Allah tidak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.” Di sini ada titik tekan pada solidaritas, kepedulian pada sesama, sebagai bagian dari komunitas secara keseluruhan. Dengan ungkapan lain, individu tidak boleh egois, memikirkan diri sendiri saja, karena bagaimanapun dia hidup bersama yang lain, termasuk mereka yang lemah dan kurang beruntung. Berbuat baiklah kepada sesama, karena kebaikan itu akan kembali kepadamu sebagai anggota masyarakat.
Namun, karena manusia adalah makhluk yang sadar akan keakuannya, maka sulit baginya untuk menenggelamkan diri pribadinya demi yang lain, kecuali demi alasan-alasan yang dapat diterimanya. Sebagai individu, dia akan berpikir transaksional, untung-rugi. Apa yang kudapat, dan apa pula yang kau dapat, dan apakah masing-masing kita merasa untung? Dalam hal ini, kita bisa membuat beberapa pengandaian. Pertama, seseorang memberikan kebaikan berupa layanan yang baik kepada orang lain dengan harapan mendapat imbalan yang setimpal atau lebih baik. Jika saya menjual jasa dan saya melayani dengan baik, saya berharap akan dibayar sesuai dengan kualitas layanan saya, atau lebih tinggi. Pola pikir semacam ini logis belaka. Bagaimana orang berharap mendapatkan imbalan yang baik jika dia sendiri tidak berlaku baik, melayani dengan baik, pada orang lain? Mungkin, di sini berlaku aturan emas, etika timbal balik: “Perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan.” Sebuah hadis menegaskan, “Tidak sempurna iman seseorang sampai dia menyukai untuk saudaranya apa yang disukainya untuk dirinya.”
Kedua, selain mengharapkan balasan yang setimpal, baik berupa materi atau imbalan lainnya, mungkin pula orang takut jika tidak melayani dengan baik, maka dia akan menerima balasan tidak baik pula. Jika yang pertama berpikir positif yang dilandasi oleh harapan akan kebaikan, maka yang kedua ini berpikir negatif yang dilandasi ketakutan. Sebagaimana harapan akan kebaikan, ketakutan akan keburukan juga dapat mencegah manusia dari berbuat jahat dan berusaha berbuat baik. Jika kita menggunakan doktrin agama, kepercayaan akan surga dan neraka sama-sama dapat mendorong orang untuk berbuat baik dan menghindari yang jahat. Alqur’an misalnya menegaskan, “Jika kamu berbuat baik, maka kebaikan itu untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu akan kau tanggung sendiri” (QS 17:7). Dalam tradisi Hindu dan Buddha, ada ajaran tentang hukum karma, hukum yang berlaku atas perbuatan manusia, yang baik akan berbuah baik, dan yang buruk akan berbuah buruk, dalam kehidupan sekarang atau akan datang. Hukum karma ini nyaris mekanistik. Siapapun akan kena, tak bisa menghindarinya.
Ketiga, orang berbuat baik karena alasan yang lebih tinggi, yaitu cinta. Cinta melampaui harapan akan balasan kebaikan atau ketakutan akan keburukan. Perbuatan baik yang didasari cinta sejati dapat mewujud dalam bentuk altruistik, yakni rela mengalahkan kepentingan diri sendiri demi membahagiakan yang dicintai. Dalam lagu anak-anak, kita diajarkan bait tentang cinta ibu kepada anaknya: “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak pernah kembali, bagai sang surya menyinari dunia.” Dalam contoh ini, ego si pencinta luluh menjadi sosok yang dicinta sehingga kebahagiaan yang dicinta adalah kebahagiaan si pencinta, begitu pula penderitaannya. Seorang pelayan yang penuh cinta, rela mengorbankan dirinya demi memuaskan tuan yang dilayaninya. Dalam terminologi Islam, sikap ini disebut al-ītsâr. “Mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka, meskipun mereka sendiri dalam kesusahan,” kata Alqur’an (QS 59:9).
****
Di sisi lain, dalam diskusi filosofis mengenai harapan, ketakutan hingga cinta, ada pandangan yang mencoba melihat ketiganya saling terkait dan tidak bertentangan. Ketika manusia berharap akan kebaikan dan takut akan keburukan untuk dirinya sendiri, atau rela mengorbarkan diri untuk kebaikan orang lain yang dicintainya, sesungguhnya dia tak lepas dari cinta akan dirinya sendiri juga. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan?
Pertama, manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan alamiah, menyukai kebaikan, kebenaran dan keindahan, dan membenci keburukan, kepalsuan dan kejelekan. Ketika orang menonton film laga yang menghadirkan tokoh baik (protagonis) dan tokoh jahat (antagonis), secara alamiah dia akan mendukung di dalam batinnya tokoh baik. Kebaikan adalah fitrah manusia, asal mula kejadian dirinya yang hakiki. Karena itu, melakukan kebaikan kepada orang lain sama artinya dengan menuruti watak asli diri. Sebaliknya, melakukan kejahatan sama artinya dengan menyangkal diri sendiri. Atas dasar ini, maka orang melakukan kebaikan bukan karena imbalan apapun, melainkan semata-mata karena yakin bahwa perbuatan itu memang baik sehingga harus dilakukan. Mungkin ini sebabnya mengapa Alqur’an mengatakan, satu kejahatan akan dibalas satu kejahatan pula, tetapi satu kebaikan akan dibalas sepuluh, seratus hingga tujuh ratus kali lipat. Kebaikan berlipat-lipat karena diri kita aslinya memang baik sehingga ketika kebaikan dilakukan, kebaikan itu akan bertambah-tambah. Dalam pengertian ini, berbuat baik dan meninggalkan yang jahat pada hakikatnya adalah mencintai diri sendiri.
Kedua, secara psikologis, ada tingkatan kebutuhan manusia, antara lain seperti digariskan oleh teori Abraham Maslow. Pada tingkat yang rendah, manusia masih ingin memenuhi kebutuhan dasarnya yang sifatnya fisik seperti sandang, papan dan pangan. Namun, ketika berbagai kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka manusia ingin melakukan aktualisasi diri. Dia ingin dirinya hadir dan diakui keberadaannya. Dalam pengertian yang positif, dia ingin dirinya bermanfaat, mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi orang lain. Karena itu, seseorang yang memberikan layanan terbaik kepada orang lain sesungguhnya tengah melakukan aktualisasi diri. Jika kita menggunakan terminologi filsafat klasik Aristoteles tentang potensi dan aktus, maka setiap diri memiliki potensi untuk berbuat baik, dan ketika hal itu tersalurkan kepada orang lain, maka dia menjadi aktus, menjadi nyata. Aktualisasi itu bagi Aristoteles disebut gerak, mata rantai yang menghubungkan sebab-akibat, yang berujung pada Tuhan sebagai penggerak pertama yang tak digerakkan.
Ketiga, jika kita bawa nalar di atas kepada ajaran kaum Sufi, maka aktualisasi kebaikan di dalam diri manusia sesungguhnya adalah wujud dari aktualisasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dalam makna yang sesuai dengan keterbatasan diri manusia sebagai makhluk. Dalam tradisi agama Ibrahim, ada kepercayaan bahwa manusia diciptakan dalam citra Tuhan. Manusia akan dekat kepada Tuhan, jika dia meniru sifat-sifat Tuhan seperti pengasih, penyayang, suka memberi dan memaafkan. Dia marah kepada yang jahat, dan cinta kepada yang baik. Semakin banyak manusia meniru sifat-sifat Tuhan itu di dalam perilakunya sehari-hari, maka semakin dekat pula dia kepada Tuhan. Dan semakin dekat dia kepada Tuhan, semakin damai-bahagia pula hidupnya. Kebahagiaan itu adalah kesempurnaan atau mendekati kesempurnaan, dan Tuhan adalah zat Maha Sempurna.
Dalam kerangka berpikir Sufi yang spiritualistik ini, perbuatan baik seperti melayani orang lain tidak lagi diharapkan sebagai perbuatan yang akan mendapatkan imbalan dari manusia. Kebaikan yang dilakukan semata-mata karena diperintahkan oleh Tuhan, dan balasan akan datang dari-Nya. Karena itu, ketika dia berbuat baik kepada seseorang, dia tidak pernah mengharap balasan langsung dari orang yang menerima kebaikannya. Dia yakin bahwa kebaikannya itu akan dibalas oleh Tuhan, mungkin melalui orang lain yang tak pernah menerima kebaikannya, atau nikmat yang langsung diberikan Tuhan kepadanya berupa kesehatan dan kedamaian hati. Dalam konteks ini, sebuah hadis mengatakan: “Allah akan menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.”
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, keyakinan bahwa semua perintah Tuhan jika dijalankan akan membawa kepada kebahagiaan hidup bukanlah suatu keyakinan buta tanpa nalar sama sekali. Para ulama justru menegaskan bahwa agama sebagai petunjuk hidup yang diberikan Tuhan bertujuan untuk membimbing manusia kepada kebahagiaan. Agama hadir untuk manusia, bukan sebaliknya. Karena itulah, sebagian ulama mencoba merumuskan tujuan-tujuan dasar syariat, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Menurut al-Ghazali, lima tujuan dasar ini tidak hanya bisa diterima agama Islam, tetapi juga agama-agama lain. Di masa modern ini, ditambah lagi oleh K.H. Ali Yafie satu tujuan dasar, yaitu menjaga keselamatan lingkungan. Semua tujuan dasar ini disebut kemaslahatan, yakni kebaikan manusia, baik sebagai pribadi ataupun masyarakat. Dalam konteks ini, pelayanan yang baik kepada publik adalah usaha mewujudkan berbagai kemaslahatan itu sehingga sama dengan melaksanakan tujuan-tujuan syariat.
****
Dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan publik dengan sebaik-baiknya sebagaimana secara normatif telah digambarkan di atas, paling kurang ada dua jebakan yang berbahaya. Jika kita terperangkap di dalamnya, maka pelayanan publik yang baik bisa berbalik menjadi sumber kerusakan. Dua perangkap itu adalah merasa berjasa dan tidak berlaku adil.
Ketika kita memberikan pelayanan terbaik yang bisa kita lakukan untuk orang lain sehingga orang itu merasa puas karena keinginannya tercapai, kita akan tergoda untuk merasa berjasa. Merasa berjasa artinya merasa telah memberi sesuatu dan berharap balasan dari orang yang menerimanya. Sepintas hal ini logis belaka. Bukankah dengan memberi layanan terbaik kita berhak mendapat imbalan setimpal? Namun, masalahnya bukan di situ. Kita memberikan layanan terbaik karena itu memang tugas kita, dan jasa layanan kita itu telah dibayar oleh lembaga di mana kita bekerja. Melayani adalah kewajiban yang harus kita lakukan, untuk memenuhi hak orang yang kita layani. Dengan demikian, seorang pelayan yang baik tidak boleh mengharap tips, meskipun diberikan oleh orang yang dilayani secara sukarela, karena dalam jangka panjang akan bermasalah. Jika sudah terbiasa menerima tips, maka lama-kelamaan ia akan menjadi keharusan. “Berapa biayanya?” kata pelanggan. “Terserah berapa suka, sukarela saja,” katanya. Kemudian, orang lain yang menunggu giliran layanan, sukarela atau terpaksa, akhirnya juga memberikan tips. Lambat laun, terbentuklah budaya uang pelicin yang merusak pelayanan. Ada uang urusan lancar. Tak ada uang, urusan macet.
Jebakan kedua adalah tidak berlaku adil. Sebagai pelayan publik, kita wajib memperlakukan orang-orang yang kita layani secara setara, tanpa pandang bulu. Inilah layanan yang adil. Tentu layanan bisa berbeda caranya untuk kasus yang berbeda, jika hal itu merupakan tuntutan alamiah, bukan karena alasan-alasan lain seperti hubungan keluarga, pertemanan hingga kelompok. Misalnya, pelayanan kepada manula dan anak-anak, bisa didahulukan dibanding orang-orang muda dan dewasa yang sehat dan bugar. Pembedaan ini justru adil. Pelayanan menjadi zalim manakala keluarga, teman atau kelompok sendiri diutamakan sehingga merugikan orang lain. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil juga adalah memberikan hak kepada seseorang sesuai haknya.
Jebakan lain terletak pada kecenderungan sebagian kita yang ingin selalu jadi pahlawan. Seolah kita bisa menolong siapa pun yang datang kepada kita untuk memenuhi keinginannya. Padahal, tidak jarang orang yang datang kepada kita itu hanya mengutamakan kepentingan pribadinya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Akibatnya, jika kita berusaha mewujudkan keinginan orang tersebut, maka orang banyak akan dirugikan. Di sinilah diperlukan kewaspadaan dalam memberikan pelayanan. Kita wajib mencermati peraturan dan hukum yang berlaku. Langkah sederhana ini akan menjaga kita dari ketidakadilan. Langkah kedua adalah memikirkan akibatnya bagi orang banyak. Misalnya, ada mahasiswa yang memalsukan transkrip nilai sehingga bisa lulus dan yudisium, padahal masih ada mata kuliah yang belum diambilnya. Pelayan yang ingin jadi pahlawan mungkin akan memaafkan mahasiswa ini dengan berbagai keringanan. Namun, pelayan yang sadar akan bahayanya akan menjatuhkan sanksi kepada mahasiswa tersebut.
Dalam budaya masyarakat kita, memang ada kecenderungan orang untuk menghindari konflik dan tidak mau disalahkan. Akibatnya, orang seperti ini tidak akan berani tegas. Dia tidak berani berkata ‘tidak’ kepada sesuatu yang seharusnya ditolak. Agar tetap selamat, dia mengambil langkah-langkah yang berbahaya seperti menggantungkan keputusan tanpa kejelasan, atau melemparkan keputusan kepada atasannya. Orang seperti ini sangat berbahaya jika menjadi pemimpin lembaga publik. Dia akan plin-plan dan mudah dipermainkan berbagai kepentingan di bawahnya. Dia akan permissif atas berbagai pelanggaran dan dikelilingi orang-orang yang pandai menjilat. Ketika terjadi pertentangan sengit akibat sikap-sikapnya yang tidak jelas dan kontradiktif, dia akan menghindar dan melarikan diri, tidak mampu menyelesaikan masalah.
Selain merasa sungkan dan tidak enak untuk bertindak tegas, jebakan lain yang dapat menjerumuskan pelayanan publik ke jurang ketidakadilan adalah ego kita sendiri. Berlaku adil itu berat ketika menyangkut kepentingan diri sendiri. Ketika ada keluarga kita ikut tes CPNS, apakah kita turut campur membantu atau sebaiknya tidak ikut serta menyeleksi karena ada potensi konflik kepentingan? Jika mau berlaku adil, maka lebih aman jika kita tidak ikut dalam tim seleksi. “Jadilah kamu benar-benar para penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri, kedua orangtuamu atau keluarga dekat,” kata Alqur’an (QS 4:135). Yang tak kalah beratnya adalah berusaha berlaku adil kepada orang-orang yang kita benci, yang selama ini menyakiti dan memusuhi kita. “Janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa,” kata Alqur’an (QS 5:8).
****
Apa yang telah dikemukakan di atas mengenai pelayanan publik merupakan acuan tentang yang seharusnya dan yang ideal. Tugas kita adalah bagaimana berjuang mewujudkan yang seharusnya dan ideal itu dalam kenyataan sehari-hari. Semakin dekat kita kepada yang ideal itu, maka semakin baik pula pelayanan publik yang kita berikan. Sebaliknya, jika semakin jauh kita dari yang ideal itu, maka semakin buruk pula pelayanan publik yang kita laksanakan. Pilihan ada di tangan kita. Seperti telah ditegaskan di awal essai ini, manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan moral, dan karena itu dia harus siap bertanggungjawab dan menerima akibat dari pilihan-pilihan yang diambilnya.
8 Mei 2024
