UIN Antasari Menjawab Tantangan Global di Era Digital

UIN Antasari Menjawab Tantangan Global di Era Digital

Oleh Dr. Ihda Ihromi, Lc., M.Pd.

Judul Buku       : Pendidikan Era Digital: Ikhtiar dan Harapan di UIN Antasari

Penulis             : Mujiburrahman

Penerbit            : Maghza Pustaka

Tahun Terbit     : Cetakan 1, April 2024

Ketebalan Buku : 221 hlm

Buku ini terdiri dari dua bagian, yang setiap bagiannya merupakan kumpulan dari artikel-artikel ilmiah, namun menggunakan gaya bahasa yang “fresh”. Membaca bagian pertama buku ini secara harfiah, kita diperkenalkan kepada dunia akademik dan tata kelola di Perguruan Tinggi UIN Antasari dengan berbagai polemik, program kerja dan capaiannya. Segenap impian, harapan, usaha dan doa yang terus menyertai sepanjang perjalanan penulis sebagai Rektor UIN Antasari membuat pembaca terkesima dan semakin memahami betapa besar kesungguhan dan kontribusi beliau dalam memajukan UIN Antasari tercinta. Termasuk, tulisan dalam buku ini mengisahkan setiap proses berharga yang diwarnai berbagai pergumulan ragam pemikiran dan perasaan, dan bahkan terkadang suara-suara sumbang penolakan yang terkadang menguji ketangguhan. Namun, semuanya dapat disikapi dengan berbagai pendekatan, sikap keterbukaan, lapang dada mendengarkan, dan menyiasati perbedaan. Rasa kecewa atau marah yang kerap menggoda berganti menjadi senyum syukur pada akhirnya, ketika satu demi satu pencapaian dari mimpi dapat terwujud.

Buku ini tampaknya juga merupakan bagian dari ittikad baik dan optimisme penulis, bahwa segala niat dan pencapaian yang baik bagi UIN Antasari harus turut dipahami seluruh civitas akademis kampus. Bukankah mimpi untuk UIN Antasari adalah mimpi kita bersama? Karena itu, kita juga turut andil untuk mewujudkannya. Kebaikan, mesti disiarkan dalam kerangka dakwah, agar mengetuk kesadaran jiwa, lalu termotivasi untuk meneladani. Apalagi dengan kapasitas sebagai seorang “pemimpin” dan “akademisi”. Ibarat misi dakwah kenabian yang diwariskan kepada para ulama, bukankah seorang pemimpin tidak boleh berlaku kitman (menyembunyikan amanah ilmu)?

Penulis juga mengajak kita mawas diri terhadap berbagai ancaman di balik apa yang disebut “disrupsi digital”, di mana gempuran tsunami informasi dari segala penjuru tak terelakkan, dan semakin mengesankan relativitas suatu kebenaran. Post truth (pasca kebenaran) mendominasi gaya hidup, dengan menjadikan apa yang viral atau selera masyarakat sebagai tolak ukur kebenaran. Ini lantas mengarah kepada berkurangnya kepercayaan orang terhadap kepakaran, digantikan dengan robot pintar seperti Google, Chat GPT dan sejenisnya. Menyikapi itu, penguatan literasi begitu digalakkan di UIN Antasari, dengan menyajikan berbagai sumber pengetahuan dan informasi terpercaya, membuka banyak peluang untuk meningkatkan inovasi dalam berbagai penelitian dan penggunaan teknologi, dan semaksimal mungkin menghadirkan para pakar di bidangnya untuk menjamin otoritas dan kualitas “ilmiah”. Kegiatan akademik tahunan khusus mahasiswa S1 “Borneo Undergraduate Academic Forum” (BUAF) adalah contoh program penguatan literasi-akademik kerjasama empat PTKIN di Kalimantan yang berhasil mendorong gairah penelitian dan publikasi mahasiswa.

Di sisi lain, kuasa kuantitas kerap memaksa kita masuk ke dalam pusaran serba formalitas dan kuantitatif yang sifatnya tidak essensial, sehingga penulis menekankan pentingnya etika akademik dan kejujuran ilmiah. Budaya “plagiasi”, “copy paste”, apalagi “penjokian” demi memuluskan karir sangat tidak dapat ditolerir. Penulis memandang, memiliki otoritas ilmiah saja tidak cukup, tetapi wajib ditopang dengan kekuatan spiritual yang tinggi, dan keluhuran akhlak mulia. Bagaimana tidak, seorang akademisi tidak hanya punya tanggung jawab ilmiah, tetapi idealnya juga harus mampu menjadi sosok role model yang berdakwah di masyarakat. Harapan  Rektor UIN Antasari, civitas akademi UIN Antasari memiliki wawasan global, mendunia dan berpikir ilmiah, tetapi tetap mampu mempertahankan identitas keislaman yang disesuaikan dengan nilai-nilai kearifan lokal dan keindonesiaan.

Membaca bab demi bab buku ini lebih reflektif, pembaca digiring untuk memahami kesempurnaan ajaran Islam secara “kāffah”.  Pandangan moderat penulis mengenai Islam yang rahmatan lil alamien tercermin dalam setiap gagasan dan pendirian beliau yang tegas, konsisten, dan sangat konsern mekasimalkan peluang “integrasi ilmu” di UIN Antasari. Islam bukanlah agama sekuler yang mengabaikan aspek kehidupan manusia, melainkan justru menjadi sumber nilai dan solusi bagi berbagai problem kehidupan. Islam adalah way of life, yang memadukakan kekuatan fisik dan ruhani, kebijaksanaan hati dan kecemerlangan pikiran,  kepasrahan terhadap takdir dan gigihnya ikhtiyar, ketegasan dan kelembutan, imbalan dan sanksi, kepentingan individu dan kebermanfaatan sosial, visi abdullah dan misi khalifatullah. Kematangan dalam memahami ajaran agama yang hanif ini akan sangat menentukan pola pikir dan sikap kita terhadap realitas hidup, bagaimana memaknai sebuah jabatan, ilmu pengetahuan, kesuksesan, dan bahkan kegagalan.

Sikap visioner dan tangguh penulis dalam menahkodai UIN Antasari jelas menjadi salah satu bukti nyata pemahaman agama beliau yang mendalam. Sikap pantang menyerah dan berprasangka baik kepada Tuhan, mendorong upaya sungguh-sungguh dan konsisten. Sikap zuhud dan wara’ dalam berkerja, juga beliau contohkan dengan apik pada buku ini. Mestinya, keikhlasan bekerja membuat seseorang menjadi pribadi tegar yang tidak mudah merasa sombong dengan keberhasilan, juga tidak mudah kecewa dengan orang-orang yang bersikap acuh atau hasil yang tidak sesuai ekspektasi. Seorang pemimpin akan memutuskan segala kebijakan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian, dan berusaha menetralkan diri dari berbagai kepentingan pribadi. Keteladanan semacam ini dapat kita rasakan langsung ketika membaca berbagai kebijakan dan program kerja beliau selama memimpin, termasuk di antaranya sikap beliau perihal aliah status IAIN menjadi UIN. Ada berbagai pertimbangan mendalam dan rasional di baliknya, dengan memperhatikan arah perkembangan budaya pendidikan Islam, realitas sosial, juga tuntutan dan kebutuhan masyarakat Islam Banjar yang sangat perlu kepada lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya menguasai ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga memiliki kemampuan atau skill yang diperlukan dalam persaingan global.

Sebagai bagian dari ikhtiar, penulis juga berusaha berlaku adil dan tegas, tetapi keadilan juga harus diimbangi kebijaksanaan, untuk menghindarkan diri dari kepongkahan dan egoisme buta. Maka pada bab 14 dari buku ini “Agar Kita Semakin Dewasa”, mengenai upaya beliau mengapus perpeloncoan dalam kegiatan orientasi mahasiswa, kiranya sangat menggambarkan ketegasan dan kebijaksanaan beliau di satu waktu, karena di balik kerasnya pendirian beliau, ada jiwa tulus yang ingin melindungi mahasiswanya dari segala hal yang sia-sia, ibarat perlindungan seorang bapak kepada anak-anaknya. Tulisan itu sukses membuat pembaca larut terbawa suasana haru yang emosional.

Menariknya, pada bagian kedua dari buku ini, penulis sangat piawai meyakinkan bahwa wawasan keislaman, kemampuan akademik, dan life skill sangat diperlukan seluruh civitas akademika. Terutama pada era digital ini, banyak sarjana pengangguran dan lapangan kerja semakin sulit. Berkali-kali beliau menekankan perintah “iqra’” (membaca dan menulis), sebagai pintu pembuka gudang kesuksesan. Beliau tidak ingin ada dosen yang berhenti belajar dengan dalih kesibukan. Lebih miris lagi jika ada dosen yang lebih tergiur mengejar pangkat dan kuantitas publikasi, tetapi menghalalkan segala cara dan melupakan tugas utamanya sebagai pendidik. Bukankah idealnyaseorang akademisi “dosen” itu juga harus berperan sebagai dai yang menjadi teladan umat?

Tidak kalah menarik, bagian kedua buku ini menyajikan kisah inspiratif berbasis otobiografi beliau sendiri. Bagaimana kegemaran membaca dan menulis beliau mulai berkembang, dan semakin bertumbuh seiring bertambahnya manfaat dan kebahagiaan yang beliau rasakan dalam prosesnya. Bagaimana mengasah bakat dan skill dengan latihan terus menerus, dan juga bagaimana keteladanan, motivasi dan circle atau lingkungan yang kondusif itu sangat mempengaruhi budaya prilaku seseorang, sehingga penting mencari wadah dan teman yang merangsang minat membaca dan menulis. Beliau menceritakan beberapa contoh pengalaman beliau selama mengikuti “kegiatan akademik” di luar negeri. Konon, orang-orang Jepang ketika berada di transportasi umum seperti kereta cepat, mereka lebih memilih istirahat atau membaca buku ketimbang mengobrol. Di Prancis, orang-orang bahkan rela antri panjang di pagi buta demi untuk membaca buku di perpustakaan. Ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap budaya literasi. Mirisnya, budaya literasi masyarakat Indonesia sendiri masih sangat tertinggal dibandingkan negara-negara Asia lainnya seperti Thailand, Singapura dan Malaysia.

Sebagai akademisi, mestinya perubahan konstruktif itu dimulai dari diri kita sendiri, karena jelas pendidikan di era digital ini sangat menuntut “kepandaian membaca”, bukan sekadar pandai membaca. Sebagaimana yang digaungkan Tuhan dengan “iqra” di atas tadi, maka yang dimaksud bukan sekadar membaca pesan singkat atau menulis WhatsApp, tetapi maksudnya adalah dapat membaca dengan cerdas, kritis, analitis dan pragmatis untuk tujuan kebaikan dan kebermanfaatan. “Iqra” bukan saja membaca tulisan tetapi bisa juga berarti memperoleh pengetahuan melalui tradisi lisan. “Iqra” bukan sekedar membaca teks-teks yang tersurat, tetapi juga mampu memahami makna-makna yang tersirat di balik suatu ungkapan, tulisan, tindakan, maupun peristiwa kehidupan yang disebut dengan “Ayatullah” atau tanda-tanda kekuasaan Allah, karena hanya dengan memahami “Ayatullah” maka kebenaran dan kebahagiaan hakiki akan terungkap.

Untuk itu, beliau sangat mengutamakan progress “keilmuan” dan “keislaman” mahasiswa, sehingga berbagai kebijakan dan program kampus pun tidak luput dari tujuan tersebut. Pengasramaan mahasiswa baru misalnya, dengan pembekalan tahsin al-Quran, pokok-pokok ilmu keislaman, motivasi studi dan wawasan kebangsaan sebagai basis pembentukan karakter. Program Khusus Ulama dalam rangka menyiapkan kader-kader Islam yang siap berkiprah di masyarakat. Penggiatan bahasa Inggris dan bahasa Arab, sebagai basis penghubung berbagai pedekatan interdisipliner ilmu dan wacana keislaman global. Pembekalan khusus bagi pengguna beasiswa KIP kuliah, untuk mengasah prestasi akademik mereka. Perbaikan infrastuktur pendidikan, untuk memudahkan akses pendidikan dan kegiatan akademik. Hingga persoalan kewirausahaan dan karier pun tidak luput dari perhatian, salah satunya melalui Unit Pengembangan Kewirausahaan dan Karir (UPKK). Tinggal bagaimana kemudian mahasiwa memanfaatkan berbagai layanan tersebut dengan sebaik-baiknya.

Tulisan-tulisan dalam buku ini, tak ayal, akan menjadi motivasi dan petunjuk arah bagi mereka yang ingin meningkatkan kepribadian dan memperkuat “identitas keilmuan”nya sebagai akademisi. Buku ini juga menyajikan tuntunan praktis bagaimana melakukan berbagai jenis penelitian, yang dikemas dengan bahasa yang ringan disertai contoh yang yang mudah dipahami dan dipraktekkan, termasuk di antaranya memuat langkah-langkah penelitian literatur maupun penelitian tokoh. Perlu diingat, mahasiswa bukanlah semata objek dari perubahan, tetapi tonggak dan penentu dari perubahan itu sendiri. Maka, buku ini adalah pilihan tepat untuk membuka lebih jauh cakrawala berpikir, memberikan pandangan yang utuh tentang pentingnya mendisiplinkan diri dan berdedikasi tinggi. Untuk itu, segeralah keluar dari zona nyaman anda, segera bangun dari tempat tidur untuk membaca dan menulis, kemudian nikmatilah setiap prosesnya sampai kesuksesan itu menjadi milik anda.

Selamat membaca!