![Prof Dr. H. Wardani, M.Ag., (Desain oleh Ananda Shafira Triadi)](https://www.uin-antasari.ac.id/wp-content/uploads/2024/03/Prof-Wardani-DESAIN-Toonapps-oleh-ananda-shafira-triadi.jpg)
Pesan Isra Mikraj yang Tak Lekang Sepanjang Zaman
Prof. Dr. H. Wardani, M.Ag.[*]
BULAN Rajab memang telah berlalu. Namun, pesan Isrā`-Mi’rāj sebagai peristiwa sejarah bukanlah tidak penting untuk dipahami, terutama dari pesan-pesan sentralnya. Peristiwa sejarah memang telah berlalu. Akan tetapi, dimensi petunjuk Al-Qur`an yang dipetik darinya tidaklah terkubur.
Menurut Kuntowijoyo, ada dua jenis kandungan Al-Qur`an. Pertama, kandungan yang bersifat ajaran normatif berupa perintah yang harus diindahkan dan larangan yang harus dihindari. Kandungan al-Qur`an ini berisi tipe ideal (ideal type).
Kedua, kandungan Al-Qur`an yang berisi “kisah-kisah” (qaṣaṣ al-Qur`ān) yang sebenarnya faktual dan nyata terjadi dalam sejarah, sehingga sebenarnya layak disebut sebagai sejarah, seperti kisah para Nabi, kisah kaum-kaum terdahulu yang telah dimusnahkan, dan kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad.
Kandungan ini tidak berisi perintah atau larangan secara eksplisit, melainkan ditarik pelajaran darinya melalui nalar yang disebut ‘ibrah (secara literal bermakna: menyeberang, yaitu melampaui fenomena atau fakta yang tampak menuju makna terdalam yang terselip di dalamnya). Kandungan ini disebut archetype.
Sebagai kitab suci yang mendiktumkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” (hudan li al-nās), Al-Qur`an meski memaparkan peristiwa-peristiwa sejarah yang terkesan tampak hanya merupakan paparan tentang masa lalu, pasti menyisipkan pesan-pesan petunjuk, apalagi kitab suci ini memiliki sisi universalitas yang mengandaikan petunjuknya berlaku lintas ruang dan waktu. Dengan menyingkirkan bias ruang dan waktu, kandungan ini memiliki “struktur transendental”, yaitu aspek ajaran yang melampui batas ruang dan waktu yang tersusun secara rapi.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, sejarah penyebarannya, dan khususnya sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. adalah peristiwa Isrā` dan Mi’rāj. Kata Isrā` bermakna “perjalanan malam” (night journey), sedangkan mi’rāj bermakna “naik ke langit”.
Sebagai peristiwa sejarah, kebanyakan perhatian tertuju pada peristiwa atau kejadiannya; seperti apa, kapan, dan di mana. Setiap tahun, peristiwa ini diperingati sebagai seremoni keagamaan. Sebenarnya, peristiwa yang terjadi setahun menjelang hijrahnya Nabi dan para Sahabat ke Yatsrib (Madinah) ini, menyiratkan banyak makna penting secara simbolik terhadap dakwah Nabi dan terhadap ajaran-ajaran penting dalam Islam.
Diskusi klasik tentang hal ini umumnya berkutat pada apakah Nabi Muhammad di-isra-mi’rāj-kan dengan fisik, roh (melalui mimpi), atau sebagai pengalaman mistik. Namun, persoalan penting terkait pesan sentral ayat yang berbicara tentang hal itu kurang ditekankan. Tulisan ini khusus membahas Isrā` dan peran sentralnya bagi kehidupan beragama.
Pesan-pesan Sentral
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَى الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya), agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.s. al-Isrā`: 1).
Dari ayat di atas, setidaknya ada 3 pesan sentral yang bisa kita tarik. Pertama, Kemahakuasaan Tuhan Tanpa Batas (relasi Tuhan-hamba). Kata “subḥāna” umumnya diartikan dengan “Maha Suci”. Terjemahnya ini muncul secara relasional karena dihubungkan dengan pernyataan yang mengirinya, sebagaimana disebutkan di beberapa ayat Al-Qur`an, bahwa Allah Swt. tidak memiliki sekutu dan yang seperti digambarkan oleh orang-orang kafir Makkah, sebagai memiliki tandingan atau sekutu.
Dalam Al-Qur`an, subḥānā disebutkan sebanyak 18 kali dikaitkan dengan berbagai konteks, seperti dari kesyirikan, kekuasaannya memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada sedikit waktu di malam hari dalam jarak yang jauh (1.461,7 km), Pemilik Arsy, Pemilik alam semesta, Pemilik waktu (pagi dan sore), Pencipta segala sesuatu secara berpasangan, Pemilik kerajaan segala sesuatu dan tempat kembali semuanya, Pemilik kemuliaan, Pemilik langit dan bumi, dan Pemilik yang “menundukkan” (sakhkhara) laut untuk bisa diarungi.
Di samping itu, kata ini disandarkan menjadi subḥānaka (Mahasuci Engkau) sebanyak 9 kali dan subḥānahu (Mahasuci Dia) sebanyak 14 kali. Dari berbagai penggunaannya ini, kata tersebut identik dengan “Kemahakuasaan/Kemahaagungan yang tak terhingga”, bukan hanya “Kemahasucian” yang dikaitkan dengan tidak bersekutu dengan yang lainnya, yang sebenarnya juga menunjukkan kemahakuasaan-Nya dalam menciptakan dan mengatur alam semesta.
Apalagi, menurut al-Biqā`ī, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab (al-Mishbah 7: 9), kata subḥāna dalam Q.s. al-Isrā`: 1 berkorelasi dengan ayat-ayat di sūrah sebelumnya yang menekankan kesucian Allah Swt. dari segala macam kekurangan dan ketergesaan. Makna ini yang dipilih oleh Muhammad Asad dalam karya tafsir, The Message of the Qur`an, ketika menerjemahkan kata ini dengan “tidak terbatas dalam kekuasaan/keagungan-Nya” (limitless in His glory).
Kekuasaan yang tak terbatas itu dibuktikan dalam peristiwa isrā` ini dalam bentuk memperjalankan Nabi Muhammad yang disebut sebagai “hamba-Nya” (bi ‘abdihi) dalam perjalanan malam dari Masjidil Harām di Mekkah (menurut suatu riwayat, fakta sejarahnya Nabi bertolak dari rumah Ummu Hāni` bin Abu Thālib, istri beliau) ke Masjidil Aqsa di Yerusalem dan terjadi dalam beberapa saat saja di waktu malam (lailan).
Kekuasaan-Nya memungkinkan bisa terjadi suatu peristiwa keluar dari batas ruang (jarak) dan waktu (tempuh) yang rasional menurut ukuran logika manusia. Penggunaan hurup bā` pada ungkapan “asrā bi ‘abdihi” menunjukkan bahwa perjalanan malam itu sepenuhnya karena kehendak Allah Swt. dan dalam bimbingan-Nya (Shibab 7: 12).
Pembuka sūrah ini dengan menggunakan ungkapan subḥāna (Mahakuasa yang tak terbatas, Mahasuci) tersebut menyentuh aspek rasa ketimbang menyentuh akal. Iman tidak hanya berisi “pembuktian” secara rasional, sebagaimana dicontohkan oleh Al-Qur`an dalam beberapa ayat semisal dengan penggunaan logika, melainkan juga kesadaran batin akan kemahakuasaan-Nya sebagai rabb al-‘ālamīn (Tuhan/Pemilik semesta alam), rabb al-‘izzah (pemilik kemuliaan, ketangguhan), dan rabb al-‘arsy (Pemilik ‘Arsy).
Tuhan di sini dikonsepsikan sebagai sosok Adikodrati yang “menggentarkan dan mengagumkan”, mysterium tremendum et fascinosum, mysterious tremendous and fascinant, dalam istilah Rudolf Otto. Perasaan ini muncul ketika orang yang beriman tidak hanya mengkalkulasikan keberadaan Tuhan melalui nalar, melainkan melibatkan perasaan ketika menatap alam semesta ciptaan-Nya yang kemudian menimbulkan ada sesuatu yang misterius dan dirasakan menakutkan sekaligus mengagumkan.
Dalam konteks dunia modern, pesan ini sangat relevan untuk diaplikasikan. Iman berisi sandaran batin. Di tengah hantaman berbagai perubahan di dunia modern, seperti materialisme dan kemajuan pesat teknologi informasi digital, faktor iman menjadi penting, karena menjadi sandaran yang kokoh bagi berbagai godaan, baik terhadap keimanan, moralitas, maupun ibadah yang seharunya dipertahankan.
Di sisi lain, era sekarang dihimpit oleh perubahan iklim (climate change). Problematika inimenyisir tidak hanya persoalan struktural, yaitu sentuhan kebijakan pemerintah dalam mengatasinya, melainkan persoalan kultural, yaitu budaya kita dalam berinterakasi dengan alam. Maka aspek “tuhan” seharusnya dilibatkan dalam manusia berinteraksi dengan alam, seperti pengelolaan alam yang berbasis kepentingan mashlahah terbesar, tidak boros (tabdzīr), dan merugikan banyak orang.
Kedua, ikatan primordialisme Nabi Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya (relasi agama). Potongan ayat dalam sūrah di atas “dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa”. Potongan ayat ini tidak sekadar menginformasikan tentang jarak perjalanan Nabi Muhammad dalam Isrā`nya, melainkan secara simbolik, menurut Asad, menujukkan hubungan primordialisme dengan agama-agama sebelumnya.
Masjidil Haram yang terletak di Mekkah adalah kawasan Masjid yang titik sentralnya adalah Ka’bah, yaitu prototipe yang berasal dari Nabi Ibrahim (Asad, 26 fn. 102) dan disebut sebagai al-bayt al-‘atīq (rumah ibadah kuno) yang didedikasikan untuk (berfungsi sebagai tempat beribadah kepada) Tuhan (Q. 3: 96, juga Q. 2: 125).
Sedangkan, Masjidil Aqsa yang terletak di Yerusalem merupakan tempat beribadah lama yang menurut Asad meliputi Haykal Sulaymān (Solomon Temple) dan situsnya, menjadi simbol bagi perjalanan panjang Nabi-nabi dari Bani Isrā`īl yang mendahului kedatangan Nabi Muhammad. Tempat ini disebut dalam ayat di atas dengan “yang Kami berkahi sekelilingnya”.
Dengan demikian, Al-Qur`an tidak merayakan agama “baru”, melainkan menegaskan kesinambungan dan menjadi puncak perkembangan misi kenabian yang pernah disebarkan oleh para nabi sebelumnya (Asad: 417, fn. 1). Apa arti kesinambungan antara Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan agama-agama sebelumnya? Agama Islam melanjutkan misi agama ḥanīf yang dibawa oleh Nabi Ibrāhīm yang tetap berpondasikan pada mengesakan Allah Swt. sebagai Tuhan (tawḥīd), melanjutkan sebagian syariat, melengkapi, menentukan syariat baru, dan merevisi/’mengontrol’ (muhaymin) sebagian syariat terdahulu.
Sebagai sama-sama agama Ibrahimi (Abrahamic religion), kesimbungan itu menitipkan pesan akan saling keterhubungan, saling melengkapi karena pada prinsipnya semua agama memiliki banyak kesamaan, dan tentu saja menghindari klaim kebenaran yang berlebihan.
Dalam konteks era modern, pesan sentral ini relevan diterapkan. Dunia digital, di mana akses terhadap informasi begitu mudah dan memiliki jangkauan luas, maka generasi muda mudah mendapatkan pengetahuan melalui media digital. Pengajaran agama tersebarkan secara online, bahkan ritual yang dilakukan juga dibagikan secara online (online religion dan religion online).
Pertama, konsekuensi dari agama yang disebarkan melalui dakwah berupa opini, audio, dan video di berbagai platform tidak hanya menyuarakan ajaran Islam yang autentik, bersumber dari Al-Qur`an dan Sunah Nabi, dan bervisi moderat, melainkan juga terkadang yang menyimpang dan bervisi radikal.
Berbagai ujaran kebencian, propaganda, dan provokasi radikalisme yang menyulut konflik antara pemeluk agama sangat mudah diakses dan diterima tanpa filter. Girah agama di kalangan generasi muda di satu sisi, dan basis agama yang kurang di sisi lain, akan mudah menyebabkan mereka jatuh kepada konflik yang merugikan pemeluk agama lain. Dengan spirit ikatan primordialisme antara agama Islam dan agama Ibrahimi yang lain, diharapkan potensi ini bisa ditekan.
Kedua, konsekuensi dari praktik ritual yang sering dibagikan di media sosial, di samping bisa jadi menjadi media dakwah, di mana “kesalehan” ditularkan secara sosial antar netizen, juga berefek negatif berupa ekspose yang berlebihan (dalam bahasa agama, riyā` atau pamer).
Ketiga, pelajaran (ibrah; relasi ayat dan makna). Potongan ayat “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami” menunjukkan tujuan Isrā` tersebut. Al-Thabarī (Jāmi’ al-Bayān 8: 17) menafsirkan bahwa “ayat” dimaksud adalah pelajaran (‘ibrah), bukti (dalīl), dan argumen (ḥujjah). Semuanya diperlihatkan oleh Allah swt selama perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Secara kebahasaan, āyah (jamaknya: āyāt) bermakna “tanda”.
Dilihat dari konteks dalam ayat, tanda dimaksud adalah tanda kekuasaan Allah Swt. Dalam penggunaan umumnya Al-Qur`an, tanda itu bermakna “pesan (ketuhanan)” (divine message). Namun, tanda sendiri pada dasarnya bermakna “tanda yang dengannya sesuatu bisa diketahui”. Al-Rāghib, sebagaimana dikutip oleh Asad, memaknainya sebagai fenomena yang bisa dipersepsikan, baik yang bisa dicerap dengan indera maupun dipahami dengan akal. Tanda di sini bisa layaknya disebut “simbol” (Asad 417, fn. 2).
Di antara simbol yang ditunjukkan kepada Nabi adalah penampakan orang yang sudah tua renta, yang menjadi simbol usia dunia yang sudah tua dan mendekati kehancuran. Begitu juga, Nabi disuguhi dengan 3 minuman, yaitu air, susu, dan khamr. Nabi kemudian memilih susu yang melambangkan kebaikan. Berbeda dengan air yang bisa menenggelamkan dan khamr yang bisa menyesatkan (al-Thabarī 8: 7).
Dalam konteks era modern seperti sekarang ini, pesan sentral ini penting untuk dikontekstualisasikan. Beberapa simbol itu mengingatkan akan beberapa ajaran Islam yang perlu untuk diindahkan. Hidup islami merupakan tuntutan Muslim di dunia modern. Sayyid Quthb pernah memberikan simbolisasi tentang “nikmatnya” berada dalam “naungan Al-Qur`an”, yaitu hidup sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an. Salah satunya adalah perintah salat yang wajib dilaksanakan lima kali sehari dan mengimplementasikan pesan-pesan moralnya dalam kehidupan.
[*]Guru Besar Bidang Ilmu Tafsir