Perguruan Tinggi, Pandemi dan Transformasi Digital
Perguruan Tinggi, Pandemi dan Transformasi Digital[1]
Oleh : Mujiburrahman[2]
Pada saat saya kuliah S-1 di awal 1990-an, topik diskusi yang sering diangkat oleh kalangan akademisi antara lain adalah globalisasi. Banyak seminar, kuliah umum, konferensi dan pertemuan ilmiah lainnya, yang mengangkat masalah globalisasi. Saking seringnya orang berbicara globalisasi, sampai-sampai ada yang memplesetkannya menjadi ‘gombalisasi’. Waktu itu, globalisasi dalam arti hubungan antar manusia di muka bumi menjadi mudah dan ‘dekat’ berkat teknologi transportasi dan komunikasi, sebenarnya masih belum benar-benar terasa. Yang paling bisa dirasakan adalah siaran televisi, terutama siaran ‘dunia dalam berita’ di TVRI. Juga film-film Amerika (Hollywood), India dan Hongkong yang diputar di bioskop ataupun televisi. Selain film, yang cukup mengglobal saat itu adalah musik, terutama musik pop dan rock Barat. Pakaian Barat alias tata busananya juga mengglobal, terutama celana jeans dan T-shirt. Termasuk pula makanan seperti Kentucky Fried Chicken dan Pizza Hut. Alvin Toffler menyebut semua ini dengan tiga ‘F’, yakni Food, Fun dan Fashion. Di sini, ada kecenderungan globalisasi menjadi westernisasi bahkan Amerikanisasi.
Pada 1990-an, dunia juga mulai mengenal internet. Saya sendiri baru mengenal dan menggunakan internet pada 1998, ketika kuliah di McGill University. Saat itu, di Indonesia penggunaan internet masih jarang. Sejumlah media cetak nasional memang sudah membuka situs online, namun penggunaan internet di perkantoran dan dunia pendidikan baru dalam tahap mula-mula. Sebagai orang kampung yang belum pernah mempunyai komputer, saat itu saya terkagum-kagum dengan teknologi internet yang membuat kita bisa menjelajahi samudera informasi dan terhubung dengan banyak orang di dunia. Salah seorang dosen saya di McGill bahkan membuat grup ‘mailing list’ untuk diskusi di luar kelas. Saya juga terkesan dengan fasilitas kampus yang serba elektronik, mulai katalog perpustakaan, pendaftaran kuliah hingga akses kepada nilai akhir bagi setiap mahasiswa. Pada 1998 itulah saya pertama kali menggunakan e-mail, yang akunnya sampai sekarang masih aktif saya pakai. Dengan e-mail itulah, saya antara lain menghubungi para ilmuwan di Amerika dan Eropa, juga mengirimkan artikel-artikel saya ke jurnal-jurnal internasional.
Ketika saya pulang ke Indonesia pada 2000, internet sudah menjamur di tanah air. Kalau pada 1990-an banyak wartel (warung telekomunikasi) untuk layanan menelpon berbayar, pada awal abad ke-21 itu banyak pula warnet (warung internet) yang menyediakan komputer untuk masuk ke jaringan internet. Telepon genggam juga sudah mulai dikenal, meskipun harganya masih tinggi. Pada saat itu, hanya orang-orang tertentu yang memiliki telepon genggam. Kadangkala, orang yang punya telepon genggam itu sengaja bergaya, menerima telepon di tengah kerumunan orang yang menghadiri walimah perkawinan, sehingga semua mata tertuju kepadanya. Bahkan ada yang pura-pura saja menerima telepon biar kelihatan keren, memegang benda ajaib itu, meletakkan ujung atasnya ke telinga dan ujung bawahnya ke mulut sambil berbicara sesukanya. Namun, telepon genggam atau telepon seluler (ponsel) lama-lama menjadi barang biasa, yang dimiliki hampir oleh semua orang, dari kelas atas, tengah hingga bawah. Ia tidak lagi menjadi barang mewah yang dibanggakan.
Selain bisa berkomunikasi secara lisan, melalui telepon genggam kita bisa mengirim pesan secara tertulis yang disebut SMS (short message system). Layanan SMS ini sangat populer di awal abad ke-21 itu, terutama karena sederhana dan murah. Jemari kita makin terlatih menekan tombol telepon genggam, menuliskan pesan-pesan kepada orang lain. Bahkan, kita pun dapat mengirim pesan ke luar negeri, meskipun dengan biaya yang lebih mahal. Telepon genggam mulai membawa kita ke dalam globalisasi. Kemudian dengan munculnya ponsel pintar android, yang mulai diperkenalkan pada 2007 dan berkembang pesat hingga sekarang, kita tidak saja bisa berbicara dan menulis pesan dua arah, tetapi ke berbagai arah. Apalagi setelah kita mengenal media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Line dan lain-lain. Bukan hanya cara kita berkomunikasi yang berubah, melainkan juga gaya hidup kita. Dengan teknologi layar sentuh, ponsel pintar saat ini semakin memanjakan kita dengan berbagai kemudahan untuk berkomunikasi, bertransaksi, mencari informasi dan belajar. Globalisasi kini benar-benar terasa hanya melalui sentuhan jari-jemari kita. Bahkan gaya hidup kita, cara kita menghabiskan waktu, bekerja, istirahat dan rekreasi sangat dipengaruhi oleh ponsel pintar ini. Pada taraf tertentu, ponsel pintar sudah menyerupai berhala.
Pada 2015, Klaus Schwab, Presiden World Economic Forum, menyebut keadaan dunia yang serba elektronik, serba internet, dengan data raksasa dan kecerdasan buatan saat ini sebagai revolusi industri yang keempat. Pada 2017, Rhenald Kasali menulis tentang Disruption atau disrupsi, yaitu sesuatu yang mengganggu kita berupa perubahan yang sangat cepat dan dahsyat, yang kita sendiri tidak bisa lagi memprediksi. Jika pada 1990-an globalisasi adalah topik diskusi yang sering diangkat, maka pada dasawarsa kedua abad ke-21, orang banyak membahas soal revolusi industri keempat dan disrupsi. Tak disangka pula, memasuki dasawarsa ketiga abad ke-21, dunia digegerkan lagi dengan suatu disrupsi luar biasa, yaitu Covid-19. Semua terkena dampak virus ini. Inilah globalisasi dalam bentuk konkret, yaitu penularan virus kepada manusia tanpa memandang negara, bangsa, agama dan asal usul. Krisis kesehatan ini membawa kepada krisis ekonomi, sosial, budaya hingga politik. Meskipun vaksinasi sudah digalakkan, sampai awal 2022, orang masih belum bisa memastikan kapan krisis Covid-19 akan berakhir.
Dengan demikian, boleh dikata kita mengalami disrupsi ganda, mulai perubahan dunia berkat ponsel pintar hingga serangan Covid-19 yang dahsyat. Pengaruhnya mencakup seluruh lini kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Perguruan Tinggi (PT) sebagai lembaga pendidikan tertinggi tidak hanya terganggu oleh perubahan sosial ini, melainkan juga ditantang untuk menyesuaikan diri dan mencari jalan keluar. Tridharma Perguruan Tinggi, yang mencakup pendidikan-pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, mau tidak mau harus dikelola secara lebih kreatif sesuai dengan tuntutan keadaan. Di sisi lain, nilai-nilai akhlak mulia, budi pekerti yang luhur, yang bersumber dari agama dan budaya, yang dinilai bersifat perenial, yakni relevan untuk setiap masa, harus tetap dipertahankan dan dilestarikan.
****
Ketika pada akhir Maret 2020 lalu pembelajaran di semua tingkat pendidikan tidak lagi dilaksanakan secara tatap muka dan beralih ke daring, hampir semua perguruan tinggi mengalami kesulitan untuk beradaptasi. Dalam keadaan serba darurat itu, perguruan tinggi berusaha melayani mahasiswa secara daring dengan segala keterbatasan. Protes bermunculan di sana-sini, antara lain mahasiswa meminta bantuan kuota internet. Bagi perguruan tinggi negeri, mengubah anggaran tidaklah semudah membalik tangan. Apalagi pemerintah kala itu melakukan refocusing anggaran yang berarti pengalihan anggaran ke sektor kesehatan sehingga terjadi pemotongan yang sangat besar. Namun, pembelajaran daring itu tetap harus jalan, meskipun penuh dengan keterbatasan dan kekurangan. Secara perlahan kita semua mulai menyesuaikan diri hingga akhirnya terbiasa. Begitu pula kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, sedapat mungkin disesuaikan dengan keadaan. Untuk kegiatan praktikum dan laboratorium, beberapa bulan kemudian kita diizinkan melaksanakannya secara luring namun dengan protokol kesehatan yang ketat. Singkat kalimat, kita mencoba menemukan peluang di balik tantangan Covid-19 yang kita hadapi.
Covid-19 rupanya telah memaksa kita untuk menggunakan teknologi secara aktif dan kreatif. Selama ini kebanyakan kita hanya berteori tentang e-learning, dan hanya segelintir dosen dan mahasiswa yang melaksanakannya. Namun karena adanya wabah Corona, semua kita suka atau terpaksa harus melaksanakannya. Kita pun semakin sadar bahwa urusan internet sangatlah vital. Jaringan harus lancar dan akses harus mudah. Baik dosen ataupun mahasiswa harus mau belajar menggunakan berbagai aplikasi, baik yang sudah tersedia dalam e-learning system di PT ataupun fasilitas lain seperti Google Meet, Zoom Meeting dan lain-lain. Kita juga dipaksa untuk semakin banyak menggunakan sumber-sumber referensi yang bersifat elektronik, baik jurnal ataupun buku. Kita beruntung bahwa di Indonesia kebanyakan jurnal sudah open access melalui online journal system (OJS) yang gratis, sementara jurnal-jurnal internasional berbayar dapat diakses secara daring melalui layanan Perpusnas. Semua layanan ini sebenarnya sudah ada sebelumnya, namun kebanyakan dosen dan mahasiswa lebih suka kepada layanan luring, yakni meminjam buku dan jurnal versi cetak. Covid-19 telah membalik kebiasaan ini. Kalau dulu layanan perpustakaan didominasi layanan luring, maka sekarang justru didominasi layanan daring.
Namun, ada banyak bahaya dan jebakan pula dibalik akses kita yang makin intensif kepada sumber-sumber belajar daring. Dunia internet adalah laksana samudera tak bertepi, atau seperti tumpahan tsunami yang campur aduk antara sampah dan air. Jika seseorang tidak memiliki kemampuan menyaring dan menentukan arah dalam pencarian informasi, maka dia akan mudah tersesat bahkan tenggelam di samudera informasi itu. Karena itu, dosen sebaiknya mengarahkan mahasiswa tentang apa saja kriteria referensi yang dapat diandalkan. Jurnal ilmiah, misalnya, harus yang terdaftar di Sinta atau minimal memiliki tatakelola yang jelas dan ber-ISSN. Lebih baik lagi jika jurnalnya bertaraf internasional bereputasi, seperti yang terindeks Scopus. Kamus dan Ensiklopedia daring juga harus diperhatikan kualitasnya, apakah terpercaya ataukah kredibilitasnya masih dipertanyakan. Begitu pula sumber-sumber yang berasal dari media daring, apakah termasuk terbitan arus utama atau yang tidak jelas asal usulnya. Semua ini menunjukkan bahwa pembelajaran daring menuntut kecermatan tentang how to learn (bagaimana cara mempelajari), bukan what to learn (apa yang dipelajari) semata. Seorang pembelajar harus mengembangkan kemampuan belajarnya melalui penguasaan terhadap cara-cara belajar yang benar sehingga dia akhirnya menjadi pembelajar yang mandiri.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap hari kita menghabiskan banyak waktu dalam menggunakan media daring, khususnya media sosial. Pembatasan sosial yang dilaksanakan selama pandemi ini telah mendorong kita untuk semakin tenggelam di lautan media daring. Karena itu, baik dosen ataupun mahasiswa, perlu diberikan literasi media, terutama media sosial, dalam arti memahami manfaat dan bahayanya. Barangkali manfaat media sosial sudah banyak diketahui, sementara berbagai dampak negatif dan ranjau-ranjaunya masih kurang diperhatikan. Di antara bahaya media sosial, yang sering kita dengar tetapi masih banyak orang yang terkena adalah berita hoax alias palsu. Dalam menghadapi ini, orang-orang kampus yang dilatih berpikir ilmiah sudah selayaknya menggunakan standar-standar ilmiah untuk menguji sebuah informasi. Biasakanlah bertanya, apakah informasi ini rasional, masuk akal? Apakah informasi ini sesuai dengan fakta lapangan? Apakah sumber informasi ini dapat dipercaya? Jika semua pertanyaan ini kita ajukan kepada diri kita, maka kita akan cenderung selamat dari jebakan hoax.
Yang membuat kita terjebak justru adalah subjektivitas kita, yakni rasa suka dan tidak suka, yang memang telah dieksploitasi sedemikian rupa oleh fitur-fitur media sosial. Akibatnya, sesuatu kita anggap benar semata-mata karena sesuai dengan selera kita. Inilah yang disebut post-truth, pasca-kebenaran. Pada era media sosial ini, kebenaran, termasuk kebenaran ilmiah, memang semakin dipertaruhkan. Dalam kaca mata subjektivitas media sosial, yang baik dan benar adalah yang viral. Semakin banyak yang suka, berkomentar dan membagi, maka semakin ‘baik’ dan ‘benar’ karena nilainya secara ekonomi akan tinggi. Kuantitas menentukan kualitas, atau yang disebut René Guénon dengan the reign of quantity. Tidak ada kriteria yang jelas mengapa sesuatu itu dianggap baik bahkan benar kecuali selera warganet, yakni warga pasar dunia maya antah berantah!
Mungkin selintas kita beranggapan bahwa bahaya post-truth itu hanya menimpa informasi umum, bukan informasi ilmiah. Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Kasus berbagai video penolakan terhadap vaksinasi atau bahkan tidak percaya pada keberadaan Covid-19 menunjukkan bahwa temuan-temuan ilmiah di bidang virologi dan epidemologi ternyata bagi sebagian orang dengan gampang ditolak. Anehnya lagi, penolakan itu konon berbasis data ilmiah pula! Inilah yang disebut oleh Tom Nichols dengan matinya kepakaran (the death of expertise). Keahlian atau kepakaran dalam bidang ilmu tertentu, yang dibentuk selama bertahun-tahun melalui pendidikan, pelatihan dan penelitian, ternyata ‘mati’ di dunia maya. Yang sebenarnya terjadi bukan kepakaran yang mati, melainkan kepercayaan orang kepadanyalah yang mati. Ini sungguh berbahaya karena lambat laun kita akan menyepelekan pendidikan, termasuk pendidikan di PT, tempat penyemaian kepakaran. Jangan sampai suatu hari nanti, orang merasa sudah cukup bertanya kepada Google untuk menjadi ‘ahli’ tanpa pendidikan dan pelatihan lagi.
Bahaya lain yang amat terasa saat ini secara akademik adalah plagiarisme alias penjiplakan. Bukan hanya mahasiswa, dosen pun cukup banyak yang terjebak ke jurang penjiplakan ini. Menulis dalam arti mengarang memang bukan pekerjaan mudah. Merangkai kata dan kalimat untuk menyampaikan gagasan bukanlah pekerjaan remeh. Dalam keterampilan berbahasa, menulis memang menempati posisi tersulit dan tertinggi. Keterampilan berbahasa biasanya dimulai dengan mendengar, lalu berbicara, kemudian membaca dan terakhir mengarang. Ketika dunia maya dipenuhi dengan banyak tulisan, dan teknologi dapat dengan mudah menyulap tulisan-tulisan itu menjadi tulisan kita, maka wajar saja banyak orang yang tergoda. Kadangkala, karena sudah tersedia secara elektronik, skripsi mahasiswa pun dijiplak oleh dosen dan diakui sebagai hasil penelitiannya. Soalnya, tinggal di-copy-paste, selesai. Padahal, perilaku ini adalah kecurangan dan pencederaan terhadap etika akademik yang wajib dijunjung tinggi di PT.
Selain itu, informasi yang melimpah dan saling bertentangan satu sama lain di media daring juga menimbulkan berbagai akibat yang bisa berbahaya. Dalam keadaan bingung, orang bisa menjadi relativis atau absolutis. Yang relativis menganggap bahwa semuanya benar, atau masing-masing pendapat adalah satu versi tentang kebenaran, sementara yang kedua meyakini hanya ada satu kebenaran yang mutlak, sementara yang lain adalah palsu. Kedua posisi ini cenderung ekstrem, terutama jika menyangkut pendapat tentang fenomena sosial, termasuk di dalamnya perdebatan soal ajaran agama. Dalam dunia informasi yang amat banyak dan dapat saling bertentangan itu, mau tidak mau akan terjadi kontestasi, pertarungan antar otoritas atau yang selama ini dianggap otoritas. Keadaan seperti ini tentu dapat membuat seorang yang masih belum matang secara keilmuan menjadi bingung dan ragu sehingga mengalami kegalauan pikiran (cognitive dissonance).
Baik fenomena pasca-kebenaran, matinya kepakaran hingga kegalauan pikiran menunjukkan bahwa pembelajaran, betapapun canggihnya yang kita lakukan melalui media daring, masih sangat memerlukan otoritas seorang guru/dosen, yang benar-benar memiliki kepakaran di bidangnya. Dosenlah yang berkewajiban membimbing mahasiswa agar tidak tersesat di jalan. Karena itu, teori tentang pembelajaran yang terpusat pada diri mahasiswa (student centered-learning) harus dilihat secara lebih komprehensif. Jangan sampai karena ingin memberikan keleluasaan, mahasiswa dilepas begitu saja tanpa arahan dan bimbingan. Tugas dosen di sini adalah memberikan fondasi agar mahasiswa tidak goyah ketika menghadapi berbagai pendapat yang bertentangan. Dia diberitahu, mana yang prinsip, mana yang cabang. Dia diajari apa saja sumber-sumber otoritatif di bidang ilmu yang tengah dipelajarinya.
Pembelajaran daring juga semakin membuka mata kita akan peluang-peluang penelitian dan kerjasama yang semakin mudah dan murah. Rapat-rapat bahkan seminar dan konferensi yang sifatnya nasional dan internasional menjadi lebih efisien berkat teknologi komunikasi yang kini makin akrab kita gunakan seperti Zoom. Begitu pula dengan mahasiswa yang ingin mengikuti perkuliahan credit transfer atau joint course di universitas lain, di dalam ataupun luar negeri, tidak harus pergi ke universitas tempat kuliah itu dilaksanakan. Begitu pula dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Meskipun dampak secara langsung sulit diukur, penggunaan media elektronik dalam menyampaikan pesan-pesan keilmuan kepada masyarakat, khususnya melalui media sosial, sangat mudah dilakukan dan disebarkan. Singkat kalimat, berkat teknologi, keterbatasan fisik relatif dapat diatasi. Dunia terasa makin kecil dan dekat.
Tentu saja, bagaimanapun canggihnya pembelajaran daring, kiranya efek psikologisnya tidak akan sama dengan tatap muka. Media tidaklah bisa menghadirkan kedirian kita selengkap ketika kita berhadapan langsung. Di media, kita hadir sekaligus absen. Hadir karena kita bisa berkomunikasi melalui citra-citra diri kita yang ditampilkan oleh media. Absen karena yang hadir itu hanyalah citra, bukan kenyataan konkret. Bertemu langsung dengan dosen dan teman-teman sekelas tentu tidak sama dengan bertemu lewat zoom meeting. Ada sesuatu dari kemanusiaan kita yang tereduksi, terkurangi, ketika kita hanya mengandalkan media. Belum lagi pengalaman berada di negeri orang, bergaul dan belajar di universitas lain nun jauh dari kampung halaman, tentulah tidak sama dengan belajar hanya melalui media daring. Secara keilmuan mungkin sama, tetapi secara pengalaman kemanusiaan tentulah sangat berbeda. Karena itu, ketika Covid-19 sudah terkendali, pembelajaran daring tidak boleh dianggap sebagai pengganti, tetapi lebih sebagai pilihan yang melengkapi pembelajaran luring.
Selain itu, sesuai dengan watak media kita yang semakin interaktif, maka orientasi pembelajaran kita di PT tidak boleh tenggelam dalam lautan globalisasi sehingga lupa akan identitas diri kita yang lokal dan unik. Para ahli ilmu sosial sekarang ini semakin menekankan bahwa globalisasi sesungguhnya adalah glokalisasi, yakni perjumpaan intensif dan dialektis antara yang global dan yang lokal. Bagaimanapun, setiap daerah memiliki karakteristik yang khas dari segi budaya, demografi dan geografi. Karakteristik yang khas ini jangan sampai hilang dan terlupakan. Sebaliknya, ia harus diusahakan untuk dibangkitkan agar PT memiliki pijakan lokal yang kuat, dan dapat merespon kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya. Yang lokal di sini bisa berarti kedaerahan atau kebangsaan (nasional). Bangsa kita yang berasaskan nilai-nilai Pancasila, dan masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai relijius serta kearifan lokal harus tetap menjadi pijakan kita, tak peduli zaman ini terus berubah dan mengalami disrupsi demi disrupsi.
****
Tak dapat disangkal bahwa dunia saat ini mengalami perubahan dahsyat. Mungkin kita saat ini berada pada masa transisi peradaban baru. Boleh jadi, apa yang dikatakan Slavoj Ẑiẑek benar, yakni bahwa kita tidak akan lagi kembali kepada normal yang lama, karena kita harus menyusun normal yang baru dari reruntuhan yang lama. Ada yang bilang, di dunia ini tak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. Anggapan ini sepintas benar. Namun jika dicermati lebih dalam, sebenarnya manusia sebagai manusia, yakni manusia sebagai hakikat, sejak zaman Adam hingga sekarang, tetaplah sama. Karena itu, kaum terpelajar tidak boleh melupakan kajian tentang hakikat manusia ini, dari mana ia berasal, apa yang harus dilakukannya di dunia ini dan kemana kelak dia akan pergi setelah mati. Sains dan teknologi tidak akan bisa menjawab pertanyaan ini kecuali sekadar di permukaan yang dangkal. Bagi kita kaum beriman, agamalah yang mampu menjawab pertanyaan penting ini melalui sinaran wahyu kenabian. Wallâhua’lam.
[1] Versi awal essai ini pernah disampaikan sebagai orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis ke-12 Politeknik Tanah Laut, 29 September 2021 dan Orasi Ilmiah dalam Wisuda STIS Syarif Abdurrahman Pontianak, 16 Desember 2021.
[2] Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Agama dan Rektor UIN Antasari Banjarmasin.
