Penuhi Undangan WCIT 2024, Rektor Dengarkan Paparan Perdana Menteri Malaysia hingga Wapres ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla tentang Perdamaian

IPOH – Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A. menghadiri pembukaan World Conference on Islamic Thought and Civilization (WCIT) 2024, Senin (29/07), gelaran Universiti Sultan Azlan Shah (USAS) di Hotel Casuarina, Ipoh, Negeri Bagian Perak, Malaysia. Konferensi besar kali ini juga diikuti tokoh-tokoh, pejabat tinggi, dan cendekiawan Malaysia maupun luar negeri. Hadir memberikan pidato adalah Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Sultan Perak Sultan Nazrin Muizzuddin Shah, dan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, serta para pejabat Malaysia lainnya.

Tampil pertama kali menyampaikan laporan panitia, Vice Chancelor USAS Prof. Wan Sabri bin Wan Yusof. Dia antara lain menyatakan, bahwa WCIT kali ini sengaja memilih topik yang sangat sesuai dengan kondisi kekinian, yaitu “Together We Stand: Muslims and Global Humanity” (Kita Tegak Bersama: Kaum Muslim dan Kemanusiaan Global).

“Peperangan di Ukraina, Yaman, hingga genosida di Palestina, tengah menggugat rasa kemanusaan kita. Inilah sebabnya kita ingin bertukar pikiran, gagasan, dan sikap menghadapi masalah besar dunia ini,” ungkapnya.

Anwar Ibrahim dalam sambutannya yang cukup singkat tetapi bernas menyatakan, bahwa hal terpenting dalam membangun hubungan antarmanusia adalah saling mengenal, bukan toleransi, karena menurutnya, toleransi baru muncul jika sudah saling mengenal.

“Inilah yang ditegaskan oleh Al-Qur’an tentang ‘lita’arafu’. Untuk itu, kita harus benar-benar mempelajari kenyataan sosial sebagaimana adanya, agar kita betul-betul memahami, sehingga bisa bertindak dengan tepat,” ajaknya.

Perdana Menteri Malaysia juga mengajak semuanya untuk menumbuhkan dan menggairahkan kecintaan pada ilmu, yang disampaikannya dalam ungkapan Arab “ladzdzatul ma’rifah” (kelezatan makrifat).

“Mari kita semua merenung kembali, apakah jalan yang ditempuh oleh negara-bangsa kita saat ini sudah di jalur yang benar ataukah justru di jalur yang salah? Bagaimanakah kita menyikapi materialisme, konsumerisme, dan keserakahan kapitalisme?” ucapnya mengingatkan.

Berikutnya, dalam pidato kunci yang cukup panjang, Sultan Nazrin menyampaikan kegembiraannya, bahwa USAS yang didirikan oleh ayahnya 25 tahun lalu telah berkembang dengan pesat. Dia sendiri senantiasa mendukung kegiatan-kegiatan akademik di USAS, termasuk WCIT. Dia mengenang kembali beberapa pidatonya terdahulu tentang pentingnya pendidikan yang memiliki visi, kerja keras, dan dedikasi.

Sejak beberapa dasawarsa, katanya, konflik dan perang terus terjadi, sementara menurut Sultan Nazrin, yang menjadi korban selalu orang-orang miskin yang lemah, para perempuan, dan anak-anak. Kalau melihat data Indeks Pembangunan Manusia PBB, hanya sepertiga dari anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang mencapai indeks yang tinggi. Sisanya rendah, bahkan sangat rendah. Isu kesenjangan ini tegas Sultan Nazrin, seharusnya menjadi perhatian semua pemimpin Muslim.

“Kaum muslim itu seperti satu tubuh, jika satu anggota tubuhnya sakit, seluruh tubuh akan sakit,” ucapnya saat menyitir sebuah hadis.

Sultan Nazrin kemudian mendorong agar semuanya bisa ikut terlibat melindungi dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya.

“Children of today are future leaders (anak-anak hari ini adalah pemimpin di masa depan, red),” tutupnya.

Dalam kesempatan singkat yang diberikan, Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla mengatakan, bahwa sekitar 60% dari konflik-konflik berdarah di dunia dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi di Timur Tengah, dan mayoritas mereka beragama Islam.

Ia mengatakan telah berkunjung ke berbagai negara dalam rangka membangun perdamaian. Jusuf Kalla menilai, negara-negara muslim itu ada yang konservatif, ada yang modern, dan ada yang di tengah-tengah. Menurutnya, Malaysia dan Indonesia termasuk yang terakhir.

“Artinya, mereka menerima modernitas, tetapi tetap menjaga tradisi. Konflik-konflik mudah terjadi akibat ketidaksetaraan, kemiskinan dan kontestasi politik. Kaum muslim di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, relatif berhasil mengelola masyarakat, sehingga konflik-konflik bisa diatasi dan tidak berkepanjangan,” pungkasnya.

(Catatan Perjalanan Rektor)