Maharagu Bahasa, Maharagu Budaya

Oleh: Lukmana*

 “Kamu dari mana saja? Saya dari tadi kujuk-kujuk mencari kamu.” Sapa teman saya, yang ternyata sedari tadi ia disibukkan dengan mencari saya yang sesaat meninggalkannya tanpa kabar. Terlihat wajahnya kesal dan berkeringat. Segera saya menggodanya dengan goyonan renyah yang biasa kami ‘makan’. Namun, ada sesuatu yang dari kalimatnya tadi yang membuat saya tertawa bahkan hingga terpingkal :‘kujuk-kujuk’.  Tetapi, bukan Madan namanya jika tidak seperti itu.

Kawan saya ini, selain aktif menggunakan bahasa Indonesia, ia juga aktif menggunakan bahasa Banjar dalam kesehariannya. Tidak tanggung-tanggung ia pun kadang tetap percaya diri mencampur-adukkan dua bahasa ini bahkan ketika berbicara di forum formal, lebih-lebih saat isinya orang-orang dari luar Kalimantan. Pastinya ini kadang membuat saya dan kawan-kawan yang mendengarkannya jadi tetawa dan menambah sedikit kewalahan kami karena harus menerjemahkan ulang kalimat yang diucapkannya. “Kita tu harus bangga menggunakan Bahasa Banjar.” Ujarnya untuk membela diri.

Lain madan, lain pula Amin. Kawan sekelas saya asal daerah yang terkenal dengan wadai apam Barabai-nya ini malah lebih sering menggunakan bahasa Banjar dalam kesehariannya bahkan lengkap dengan logat khas seperti ala urang pahuluan.  ‘Ulun lulusan Is Im A (SMA, red)’ adalah kalimat yang paling memiliki khas tersendiri dari Amin. Bagi orang yang tidak tahu, mungkin akan mengira bahwa kawan saya ini tidak bisa menggunakan Bahasa Indonesia, padahal ia memang senghaja melakukannya sebagai cara untuk menarik perhatian.

Beberapa  kawan saya bahkam menganggap bahasa Banjar adalah Bahasa yang ‘lucu’, apalagi jika dibarengi dengan khas pahuluan yang lidahnya rata-rata tidak bisa membedakan huruf-huruf vokal dan sulit dalam penyebutan huruf R.

Setelah melewati beberapa kejadian seperti itu saya pun merasa tertarik untuk juga turut menggunakan bahasa Banjar, terlebih saat dalam berinteraksi dengan  kawan-kawan yang berasal suku Banjar dan kadang ‘nakal’ menyelipkan kosa kata bahasa Banjar saat berinteraksi dengan kawan-kawan dari berbagai macam daerah, termasuk kepada seorang kawan saya dari Jambi yang ternyata bisa berbahasa Banjar. “Mereka orang Jambi, tapi bisa Bahasa Banjar. Saya jadi teringat orang Kalimantan” celotehnya.

Usut diusut ternyata Bahasa Banjar adalah bahasa daerah khas masyarakat Suku Banjar yang penggunaannya terluas di Indonesia atau setara dengan dua kali luas pulau jawa (Wikipedia.org) dan tidak hanya dituturkan oleh suku Banjar, tetapi juga oleh suku Dayak, Riau, Jambi dan sejumlah daerah di pesisir Sumatera. Selain itu Bahasa Banjar juga merupakan bahasa Melayu yang memiliki kemiripan dengan bahasa Kutai, Minang dan bahasa Brunei/Kedayan.

Menurut Alfani Daud (1997) kesamaan antara bahasa Banjar dan bahasa Melayu ini memunculkan kemungkinan bahwa nenek moyang orang Banjar adalah pecahan suku bangsa Melayu yang dalam ribuan tahun yang silam berimigrasi dari Sumatra dan sekitarnya ke kawasan ini. Dari sini, dapat saya katakana bahwa urang Banjar sangat beruntung karena memiliki bahasa yang penggunanya tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Walaupun masih  saja ada urang Banjar yang tidak faham dengan kosa kata bahasa Banjar.

Beberapa tahun terakhir, beberapa orang budayawan Kalimantan Selatan mulai giat melakukan sosialisasi terkait penggunaan bahasa daerah. Tersebut seperti Dr.Mukhlis Maman dan kawan-kawan yang beberapa waktu lalu yang memulai mempopulerkan bahasa Banjar, salah satunya kata ‘basambang’ atau yang kita kenal dengan istilah ‘ngabuburit’.  Kata ‘basambang’ dari istilah ‘sambang simambang’ sendiri merupakan ungkapan yang terasa sangat asing di telinga saya.

Lewat penggunaan hastag (#) di media sosial, Mukhlis Maman dan Zulfaisal Putera dan beberapa budayawan lainnya kembali memunculkan istilah ‘basambang’ pada Ramdahan tahun ini, setelah sebelumnya telah diperkenalkan pada masyarkat banua pada tahun 2015 lalu. Namun, tetap saja istilah ‘basambang’ ini kalah pamor dibanding dengan istilah ‘ngabuburit’ yang berasal dari Sunda.

Jika membicarakan bahasa Banjar, kita pasti tidak lepas dengan membicarakan urang Banjar dengan kebudayaan lisannya. Sebut saja seperti kesenian madihin, mahalabiu, andi-andi dan balamut yang semuanya tergolong dalam kesenian lisan suku Banjar yang kini mulai jarang dipentaskan. Bahkan beberapa diantara kesenian ini pun saya sendiri tidak pernah menyaksikan secara langsung pementasannya.

Terlepas dari ‘basambang’ dan kesenian lisan urang Banjar            yang lain kita mungkin tidak pernah menghitung seberapa banya kosakata bahasa Banjar yang kita kuasai dan pahami maknanya.  Saya sepakat dengan Madan, Amin, Dr.Mukhlis Maman dan kawan-kawannya yang terus berusaha untuk memperkenalkan dan maharagu bahasa Banjar di masyarakat Banua saat ini. Meskipun banyak yang menganggap apa yang mereka lakukan sebagai hal yang terkesan remeh.

Barangkali kita harus berterimakasih dengan Madan, Amin, Dr.Mukhlis Maman dan kawan-kawannya beserta warga banua yang lain yang sampai saat ini masih sering menggunakan bahasa Banjar dalam keseharian khususnya dalam memperkenalkanya ke masyarakat daerah lain.(lm)

*Profil Penulis

Memiliki seorang Kakek yang gemar mengoleksi buku-buku dan mendiskusikannya, membuat gadis kelahiran 15 November 1997 ini memiliki hobby yang sama. Kadang, untuk mengisi waktu luangnya, Lukmana kecil sering membuat coretan-coretan kecil di buku harian. Mengawali tulisan dengan menulis naskah drama membuat gadis yang juga akrab disapa Muna ini semakin berhasrat menekuni dunia kepenulisan.

Selepas lulus SMK, melanjutkan studi di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Antasari Banjarmasin. Selain menikmati kehidupan sebagai mahasiswa, selama kuliah kembali berkecimpung di dunia kepenulisan dengan bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kritis Mahasiswa (LPM SUKMA), Antasari Cendekia dan Lembaga Pers Mahasiswa Pancaran Dakwah (LPM PANDA).

Pada rentang waktu selama berorganisasi, pemilik nama pena Lukmana Muna ini dipercaya sebagai Redaktur Koran, Redaktur Majalah dan Redaktur Pelaksana di LPM SUKMA di tahun 2016-2018 dan sebagai Koordinator BJMP Antasari Cendekia di tahun 2016-2017. Kemudian pada periode yang sama sempat juga dipercaya sebagai Pimpinan Redaksi di LPM PANDA. Saat ini (2019) tengah berada  di penghujung studi di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.Dapat dihubungi di email: lukmanamuna97@gmail.