Ironi Artikel Scopus

Dalam rangka menjaga dan meningkatkan integritas akademik, khususnya dalam karya ilmiah bagi seluruh civitas akademika UIN Antasari, kami terbitkan kembali kolom-kolom yang pernah ditulis rektor dan terbit di Banjarmasin Post edisi cetak dan elektronik. Berikut adalah kolom kedua yang terbit pada 3 Juli 2023

Mujiburrahman

Suatu hari, seorang akademisi dengan bangga memberitakan di akun Facebooknya bahwa artikelnya telah terbit di sebuah jurnal bereputasi internasional terindeks Scopus. Sesuai harapan, banyak sekali teman-temannya yang mengucapkan selamat dan memberi tanda suka. Berbunga-bungalah hati sang akademisi. Dia merasa telah sukses sebagai seorang ilmuwan.

Namun, yang luput dari perhatian sang akademisi adalah, berapa banyak dari teman-temannya yang mengucapkan selamat itu, yang memperhatikan abstrak artikelnya? Berapa pula yang sampai mengunduh dan membacanya? Sangat mungkin, sedikit saja yang berkenan membaca abstraknya, dan sangat sedikit lagi yang mau membaca keseluruhan artikel ilmiah itu! Akan lebih sulit lagi menemukan orang yang membaca lalu memberi tanggapan kritis hingga mengutipnya.

Lalu, untuk apa artikel ditulis kalau bukan untuk dibaca? Inilah salah satu ironi dunia akademik era digital. Kita memang mengalami tsunami informasi. Terlalu banyak informasi yang datang bertubi-tubi melalui ponsel kita, sehingga kita malas menyerap dan menyimak informasi yang panjang dan serius. Kita lebih suka yang singkat dan instan. Artikel di jurnal akademik, berbahasa asing pula, membuat pening kepala saja. Apalagi buku-buku ilmiah yang tebal-tebal, berjilid-jilid pula.

Namun, mengapa kita dengan murah hati memberi tanda suka dan ucapan selamat kepada sang akademisi yang berhasil menerbitkan artikel di jurnal terindeks Scopus? Ada banyak sebab yang mungkin. Mungkin karena kita benar-benar salut terhadap keberhasilannya. Konon menerbitkan artikel di jurnal terindeks Scopus itu sulit sekali, laksana masuk ke lubang jarum. Mungkin karena kita tahu, artikel semacam itu merupakan salah satu syarat untuk menjadi profesor di negeri ini, dan menjadi salah satu kewajiban publikasi dalam setiap tiga tahun untuk yang sudah menjadi profesor.

Jika memang alasannya demikian, tampaknya kita sudah terperangkap dalam jurang formalitas yang berbahaya. Kita sudah mengabaikan isi, dan lebih mengutamakan kulit. Yang penting terindeks Scopus, bukan apa isinya dan kontribusinya bagi perkembangan ilmu dan pencerahan pemikiran. Meneliti dan menulis bagi sang akademisi bukan lagi karena gairah ilmiah dan cinta ilmu, tetapi semata demi kenaikan gaji atau sebagai tiket menduduki jabatan. Karena itu tak heran jika orang makin gemar pamer gelar tanpa peduli dengan tanggung jawab keilmuan di balik gelar itu.

Formalitas akut tersebut makin menggila ketika demi menerbitkan artikel di jurnal terindeks Scopus orang menghalalkan segala cara. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan sedikit, maka harga artikel terindeks Scopus pun naik. Lama-lama muncullah aneka kejahatan akademis. Ada sejumlah jurnal yang mengaku terindeks Scopus ternyata malah menipu alias predator. Konon akademisi Indonesia tercatat menjadi mangsa jurnal predator peringkat dua dunia. Sungguh mengenaskan: duit sudah habis berjuta-juta, tetapi artikelnya tidak bisa dipakai untuk naik pangkat.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah munculnya perjokian, seperti yang pernah dilaporkan dalam hasil investigasi Kompas (10-2-2023). Ada orang-orang yang menawarkan jasa pembuatan artikel untuk diterbitkan di jurnal terindeks Scopus Q1 atau Q2, dengan beragam layanan, mulai meneruskan tulisan yang sudah ada hingga membuatkan semuanya atas nama si pembayar. Ini mirip dengan jasa pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi yang juga pernah terdengar. Inilah sejenis pelacuran intelektual yang merusak dunia akademik. Nilai ilmu benar-benar dinistakan.

Akademisi yang masih ingin menjaga muruah akademik tentu sangat sedih dengan fenomena ini. Sebagian akademisi yang memiliki integritas tinggi, memilih lebih baik tidak mencapai posisi profesor dan pensiun daripada mengakui karya orang lain yang dibayar sebagai karya sendiri. Para rektor pun juga tertekan. Seorang rektor mengaku pada saya bahwa dia mau mendukung program akselerasi guru besar karena selain tuntutan sebagian dosen, dia juga ingin pamer prestasi jumlah profesor yang dilahirkannya. Semakin banyak jumlahnya di kampus, dianggap semakin hebat!

Terus-terang, saya kurang sreg dengan kejar-kejaran jumlah itu, terutama jika sampai mencederai integritas akademik. Sebagai rektor, saya berusaha mendukung kawan-kawan dalam jalur yang wajar seperti pemantapan menulis akademik, pemberian insentif bagi yang berhasil menulis di jurnal bereputasi nasional dan internasional, bantuan penelitian dan melaksanakan pertemuan-pertemuan akademik internasional. Tentu saja ada orang-orang yang tidak senang, dan membandingkan dengan lembaga lain yang konon mendukung penuh (silahkan tafsirkan sendiri kata ‘penuh’ di sini).

Seorang kawan mengatakan, bagaimana mungkin perguruan tinggi kita bisa melahirkan ilmuwan dan cendekiawan sejati, apalagi peraih hadiah nobel, jika integritas akademik dilanggar? Buat apa pula kita beretorika tentang universitas kelas dunia? Jika dunia pendidikan sudah mengabaikan kejujuran akademik, di mana lagi kita berharap kejujuran itu ditanamkan?

3 Juli 2023

(Sumber: https://banjarmasin.tribunnews.com/2023/07/03/ironi-artikel-scopus)