In Memoriam Pak Saifi

In Memoriam Pak Saifi

Mujiburrahman

Selasa, 9 April 2024/29 Ramadan 1445. Saya baru saja berbuka puasa. Sejak tiga hari terakhir, saya terkena demam yang cukup tinggi. Saya lega, akhirnya tuntas sudah puasa Ramadan, meskipun saya harus memulihkan tubuh yang masih demam turun-naik. Usai Salat Magrib, saya dan isteri terkejut bukan kepayang. Beredar berita melalui jaringan WhatsApp bahwa Drs. Saifi, M.Pd, Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama (AAKK) UIN Antasari, baru saja meninggal dunia. Saya masih belum percaya. Setelah mendapat konfirmasi dari orang-orang yang saya percaya, barulah saya yakin. Isteri saya juga menelepon isteri beliau. Katanya, Pak Saifi terkena serangan jantung. Saya menghela nafas. Malam hari raya, saat hati bergembira, tiba-tiba datang kabar duka lara. Ada perasaan lemah tak berdaya di hadapan kuasa Allah yang Maha Agung. Saya mencoba menenangkan diri. Kita berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Usai Salat Isya, saya ajak isteri dan anak-anak bertakbir, lalu membaca tahlil untuk almarhum. Saya juga perintahkan agar warga UIN melaksanakan tahlilan secara virtual besok malam melalui zoom.

Menjelang tidur, saya merenung. Apakah hidup ini sekadar rangkaian kejadian yang sifatnya kebetulan semata? Yang dimaksud dengan kebetulan adalah terjadi begitu saja, sekonyong-konyong, tanpa ada yang menentukan. Bagi kaum sekuler-ateis, semua peristiwa adalah kebetulan yang terjadi dalam alam dan hukum alam yang bergerak sendiri, tanpa ada yang mengatur. Sebaliknya, bagi kaum beriman, tak ada peristiwa apapun yang terjadi, yang terlepas dari ketentuan Tuhan, Sang Pencipta. Alam dan hukum alam yang berlaku di dalamnya, adalah ciptaan-Nya, wujud dari kehendak-Nya. Alam tak bisa menciptakan hukum alam, dan karena itu tak bisa menciptakan dirinya sendiri. Inilah yang disebut takdir. Ketentuan Allah pada makhluk-Nya, yang tak bisa ditolak.

****

Saya bertemu dan berpisah dengan Pak Saifi adalah takdir Allah, ketentuan-Nya yang tidak bisa saya pahami sepenuhnya. Saya baru mengenalnya pada Desember 2017 silam, setelah saya baru saja dilantik sebagai Rektor UIN Antasari periode pertama (2017-2021) pada Oktober 2017. Sebelum itu, tak pernah sekali pun saya mendengar namanya, apalagi berjumpa dan bercengkerama dengannya. Informasi yang saya dapatkan saat itu, dia adalah Kepala Kanwil Kemenag Kalimantan Timur (2014-2017) yang dimutasi menjadi Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan, Kepegawaian dan Keuangan (AUPKK) UIN Antasari. Dari jabatannya sudah bisa dipastikan, dia bukan orang sembarangan. Paling tidak, dia menduduki jabatan Eselon 2, jabatan tertinggi di tingkat provinsi.

Ternyata, setelah kami bertemu dan berbincang, kami memiliki pandangan hidup yang nyaris sama. Kata anak muda sekarang, chemistry-nya ketemu. Seperti dikatakan sebuah hadis yang populer di kalangan kaum Sufi: “Ruh-ruh manusia itu diciptakan Allah dalam kompi-kompi tertentu.” Kami barangkali satu kompi, atau kompi yang berdekatan. Secara pribadi, saya sungguh bahagia atas kedatangannya, yang akan membantu saya membenahi UIN. Saya sejak awal menyadari bahwa tantangan yang akan saya hadapi sangat berat. Sudah bisa diprediksi, tantangan politik akan banyak. Yang lebih serius adalah tantangan terhadap keinginan saya untuk mewujudkan UIN sebagai lembaga yang bersih dan melayani. Waktu itu, saya merasa Pak Saifi adalah orang yang dikirim Tuhan untuk menolong saya.

Di sisi lain, bagi Pak Saifi perpindahan dari Samarinda ke Banjarmasin, terutama harus berpisah dari keluarganya, tentu tidaklah mudah. Usia sudah mulai tua, yang lebih membutuhkan keluarga untuk mendampingi. Namun, anak-anak juga perlu menjalani pendidikan secara konsisten, tidak berpindah-pindah agar tidak terganggu secara mental dan sosial. Apalagi saat itu, ibunda Pak Saifi masih hidup, dan karena sudah tua, perlu perawatan. Betapa berat beban yang dirasakannya! Selain itu, di UIN Antasari, dia tidak lagi menjadi orang nomor satu, melainkan nomor dua (di bawah rektor), berbeda dengan saat menjabat di Kanwil. Wilayah yang diurus di UIN juga sangat kecil, dibandingkan dengan satu provinsi. Karena itu, jika dilihat dari segi kewenangan dan luas wilayah, mutasi dari Kakanwil menjadi Karo adalah penurunan. Saya tentu berempati dengan kesusahannya ini.

Sebagai manusia, Pak Saifi tentu merasakan ketidaknyamanan, terutama di bulan-bulan awal. Namun, lambat laun, dia cepat beradaptasi. Kemampuannya bergaul dengan siapa saja, dan selera humornya yang tinggi, membuatnya gampang gembira. Kesibukannya yang makin padat dalam usaha-usaha membenahi UIN, membuatnya cepat melupakan rasa kecewa yang menimpanya. Semakin sering kami berbincang, semakin banyak saya belajar. Semakin jauh saya mengenalnya, semakin saya mengaguminya. Kesimpulan saya, dia adalah tokoh unik, tidak seperti orang kebanyakan. Banyak orang ingin menduduki jabatan demi mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi, terutama kekayaan. Karena itu, mereka rela menghalalkan segala cara. Tak peduli halal-haram, sesuai hukum atau tidak, semua mau diusahakan demi jabatan. Pak Saifi bukan tipe manusia seperti itu. Sebagai birokrat, dia tentu senang mendapatkan jabatan yang tinggi, tetapi bukan untuk memperkaya diri. Dia ingin berbuat yang terbaik yang bisa dia lakukan untuk masyarakat. Adapun yang haram dan syubhat, dia tidak mau. Dia terima penghasilan yang sah saja. Dia yakin, itulah yang berkah. Dia tak pernah malu hidup sederhana.

Pada masa itu, Pak Saifi menemani saya keliling kampus, melihat-lihat kondisi bangunan yang ada. Dia mengeluhkan sejumlah bangunan yang tidak terawat, rusak dan kumuh. Bahkan, pintu masuk kantor rektorat sendiri sudah sedemikian kumuhnya. Saat melihat ruangan-ruangan gedung lama di FDIK, dia geleng-geleng kepala. “Waduh, ini lebih parah dari madrasah di kampung,” katanya. Dia mengeluhkan halaman yang becek dan mudah banjir setelah hujan. Beberapa ruas jalan juga belum diaspal. Dia khawatir dengan kondisi sejumlah ruas jalan kampus tanpa pagar pengaman, padahal kiri-kanannya adalah rawa. Dia juga sempat melihat kondisi lahan Kampus 2, dan berharap rencana pembangunannya dapat terlaksana.

Semua kegelisahannya itu saya dukung untuk ditindaklanjuti. Gedung-gedung kami cat dengan cat terbaik, supaya tidak gampang pudar warnanya. Pintu masuk rektorat kami perbaiki dengan memasang ACP dan plafon modern. Karpet lantai juga kami ganti dengan yang baru. Pagar pengaman untuk sejumlah jalan, kami pasang. Adapun perbaikan ruang-ruang kelas, kami laksanakan bertahap. Khusus untuk tatakelola air, kami mendatangkan seorang sarjana teknik. Setelah diperiksanya seluruh kampus, dia membuat perencanaan. Biayanya ternyata besar, milyaran. Karena itu, kami putuskan untuk mengerjakan drainase secara bertahap. Begitu pula lahan-lahan yang becek, satu persatu kami pasangi batako. Semula ada usul agar dicor saja, karena lebih murah. Saya menolak karena air tidak akan terserap jika dicor, sedangkan dengan batako air meresap ke bawah. Singkat cerita, kondisi fisik UIN Kampus 1 perlahan tapi pasti mulai terasa indah dan nyaman. Tidak semua bisa dikerjakan saat Pak Saifi bertugas, tetapi gagasan itu muncul saat dia ada.

Bukan hanya soal fisik, Pak Saifi juga membantu saya dalam reformasi birokrasi dan tatakelola. Dia mengingatkan saya bahwa rektor sebagai Kuasa Pengguna Anggaran(KPA) harus betul-betul mengarahkan dan mengawasi penggunaan anggaran. Jangan sampai dikibuli anak buah untuk kepentingan sempit mereka. Dia juga memberi saya saran bagaimana cara mengendalikan honorer yang tidak disiplin gara-gara ada orang dalam sebagai pelindungnya. “Buat kontrak untuk tiap-tiap orang,” kata Pak Saifi. Saya melangkah lebih jauh, yakni membuat peraturan rektor tentang mekanisme rekrutmen honorer sekaligus membuat kontrak bagi yang sudah menjadi honorer. Pada saat yang sama, saya menaikkan gaji mereka, dan memberikan THR. Selain itu, Pak Saifi juga mengingatkan tentang bahaya penyalahgunaan anggaran ATK (alat tulis kantor) jika tidak benar-benar dikontrol. Masalah ini kelak baru bisa lebih terkendali setelah Pak Saifi pindah.

Sebagai mantan Kakanwil yang suaranya didengarkan dan perintahnya diikuti, Pak Saifi merasa kaget dengan perilaku banyak ASN UIN Antasari yang sebaliknya. Suatu hari dia mengeluh, bahwa di grup WA orang-orang tertentu terus-menerus menyerang rektor. “Sudahlah pak, jangan hiraukan. Sebaiknya jangan dibaca saja, supaya Bapak tidak stres,” kataku. Saya memang tidak mau meladeni pertengkaran di medsos. Kalau mau diskusi, ayo bertemu. Sayang, jarang sekali ada yang datang mau bertukar pikiran. Pak Saifi sebagai pimpinan yang membantu saya, kadangkala juga menjadi sasaran tembak. Hal serupa tentu tak terbayangkan terjadi di lingkungan Kanwil. “Tak kusangka, orang-orang terpelajar dan tahu agama, ternyata begini perilakunya,” katanya.

Pak Saifi juga mengeluh bahwa sebagian karyawan hanya datang untuk presensi elektronik pagi hari, setelah itu pergi entah ke mana. Tak jarang dia mencari mereka, ternyata tidak ada di tempat. “Masa saya marah-marah pada meja dan kursi yang kosong?” katanya agak kesal. “Saya sudah banyak mengamati orang-orang yang bekerja di sini. Kesimpulan saya, banyak di antara mereka itu bekerja sekadar ingin mendapatkan duit saja. Tak ada dalam pikiran mereka tentang apa kontribusi yang ingin diberikan demi kemajuan UIN. Tak ada dalam pikiran mereka rasa tanggungjawab sebagai orang-orang yang bekerja di sebuah lembaga pendidikan tinggi,” katanya. Saya tidak berani membantah. Mungkin sekali dia benar.

Selain itu, banyak dosen mengeluh tentang kegiatan malam para mahasiswa di kampus yang kadang tak terkontrol, dan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Sebagai pejabat yang berumah dinas di kampus, Pak Saifi juga mengeluhkan hal serupa. Sebagai alternatif, saya mencoba membuat kegiatan lain, yakni pembacaan maulid sekaligus pengajian tiap malam Sabtu di rumah dinas rektor. Pak Saifi saya undang untuk hadir. Dengan suaranya yang merdu, dia menjadi imam salat berjemaah. Usai Magrib, para mahasiswa melantunkan syair-syair Maulid al-Habsyi. Kemudian, saya membacakan kitab al-Nawâdir karya al-Qalyubi. Lalu dilanjutkan Salat Isya berjemaah, dan makan bersama. Kegiatan ini sempat berjalan cukup lama, hingga berhenti setelah Covid-19.

Ternyata, belum sampai dua tahun, pada awal Juli 2019, Pak Saifi dimutasi lagi, kali ini ke IAIN (kini UIN) Samarinda. Saya sebenarnya bersedih karena masih banyak sekali pekerjaan yang perlu bantuannya. Namun, saya juga memahami, dan seharusnya bergembira, karena dengan mutasi ini, berarti dia pulang kampung, berkumpul kembali bersama keluarga. Pisah-sambut Karo baru dan lama yang dilaksanakan pada 9 Juli 2019 terasa sangat haru. Kami juga mengundang Pak Saifi bersama isteri dan anaknya berkunjung ke rumah pribadi kami. Saya katakan bahwa, meskipun dia sudah mutasi, persahabatan kami harus terus berlanjut.

Sejak dia bekerja di IAIN Samarinda, komunikasi kami mulai jarang. Apalagi, tak lama kemudian dunia dilanda Covid-19. Pada 2020-2021, pembelajaran hampir seluruhnya daring. Kampus menjadi sepi dan tidak banyak kegiatan. Ada pengalihan anggaran untuk  penanganan Covid-19. Sekali-kali kalau ada waktu dan isu, saya berhubungan via telepon. Mungkin Pak Saifi kala itu juga sibuk dengan banyak masalah di Samarinda. Tiba-tiba, pada Juni 2021, saya mendengar kabar, dia dilantik menjadi Kakanwil Kemenag Kaltara. Saya menghubunginya, mengucapkan selamat dan turut bergembira. Sebagai provinsi baru, di Kaltara kantor untuk Kanwil Kemenag saja saat itu belum ada, masih nebeng dengan yang lain. Dengan berbagai upaya, Pak Saifi terus berjuang hingga bisa membangun kantor dan juga asrama haji. Kala itu, kadang-kadang kami saling telepon, bertukar informasi dan berbagi humor, menghibur hati di tengah kehidupan yang tak selalu sesuai nurani. Apalagi, dia juga sendirian di Kaltara, tidak bersama keluarga.

Suatu sore di bulan November 2023. Saya menginap di kawasan Sabang Jakarta. Tiba-tiba, sore itu saya menerima telepon dari Pak Saifi, berkabar bahwa dia baru saja dilantik, dimutasi dari Kanwil Kaltara ke UIN Antasari lagi. Kali ini sebagai Kepala Biro AAKK. “Bapak nginap di mana?” “Di sekitar Sabang,” katanya. “Wah kalau begitu pas, kita bertemu di warung makan saja malam ini.” Kami akhirnya bertemu dan berbincang. Sejak jauh hari tampaknya Pak Saifi sudah menyiapkan mental. Jadi dia tidak tampak sangat terpukul. Ada raut sedih di mukanya, tetapi ketegaran hatinya membuat hal itu tak begitu tampak. “Apakah kebetulan saya dan Bapak menginap malam ini di Sabang? Saya yakin, semua ini bukan kebetulan, tetapi takdir Allah. Semoga kedatangan Bapak kembali ke UIN akan lebih melancarkan usaha-usaha perbaikan dan peningkatan yang tengah saya kerjakan,” kataku menghiburnya. Kami pun berpisah malam itu.

Sekali lagi, perasaan saya mendua: sedih sekaligus senang. Sedih karena Pak Saifi harus meninggalkan tugas sebagai Kakanwil, yang menurut penilaian saya dari jauh, dapat dikerjakannya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Senang karena berharap, dia akan mendampingi saya pada periode kedua (2021-2025) hingga selesai. “Saya ini orang baru, tetapi stok lama,” katanya kepada kawan-kawan di UIN sambil tertawa. Banyak yang sudah mengenalnya. Jadi tak perlu banyak perkenalan. Dia saya ajak melihat secara dekat gedung-gedung baru di Kampus 2 dan Kampus 1. Dia tampak gembira, bahwa apa yang diimpikannya dulu sebagian besar sudah terwujud. Dia mulai mempelajari tugas-tugas barunya, dan bekerja dengan para bawahannya. Seperti biasa, dia seorang yang disiplin, tepat waktu, penuh dedikasi dan pandai melontarkan humor.

Sejak mula mengenalnya pada akhir 2017, saya banyak mendengar cerita perjuangan hidupnya yang luar biasa. Untuk bisa bertahan hidup di Samarinda sambil kuliah, dia pernah berjualan kaos kaki di malam hari di depan tempat hiburan. Pernah pula tinggal di kamar kos yang amat sederhana sehingga tikus-tikus terlihat berlarian dan ketika hujan lebat, kasurnya mengapung! Saya katakan padanya, kalau bisa nanti kisah hidupnya itu diceritakan kepada para mahasiswa agar mereka termotivasi untuk berjuang. Usul saya ini belum sempat terwujud, tetapi untungnya, Podcast UIN Antasari sempat mewawancarainya di bulan Ramadan kemarin. Dalam rekaman itu, sebagian biografi Pak Saifi terungkap, salah satunya adalah bahwa ia terlahir sebagai anak yatim. Andai hal ini terus digali, tentu banyak cerita yang lebih inspiratif lagi.

Pada Rabu, 3 April 2024 lalu, menjelang libur lebaran, saya meneleponnya melalui jalur internal kantor. “Apakah Bapak sedang sibuk?” “Tidak,” jawabnya. “Kalau begitu, mari kita bertemu untuk berbincang. Saya takut tidak ketemu lagi,” kataku. Maksud saya, takut tak ketemu lagi itu, keburu dia pulang untuk libur lebaran. Dia pun datang ke ruangan saya. Kami berbincang tentang berbagai hal, dari soal UIN hingga dinamika politik pasca pilpres. Dia juga mengusulkan agar UPZ UIN Antasari tahun ini membagikan zakat kepada karyawan yang membutuhkan. Saya setuju, meskipun saya sudah duluan membagikan zakat secara pribadi karena ingin cepat. Saya katakan, nanti bisa dikoordinasikan dengan Pak Sagir, Ketua UPZ. Dalam suasana puasa itu, saya bertanya, “Kapan Bapak pulang?” “Saya pulang hari Sabtu pagi, pas libur dimulai,” katanya. “Kapan balik ke sini?” Dia tidak menjawab langsung. “Mungkin Senin atau Selasa” (15-16 April 2024) katanya. “Nanti insya Allah ada halal-bihalal pada 17 April,” kataku.

Jumat pagi, 5 April 2024, Pak Sagir dan Pak Saifi membagikan zakat kepada sejumlah pramubakti di Aula Rektorat. Beritanya segera masuk di website UIN Antasari. Tampak Pak Saifi tersenyum saat menyerahkan zakat kepada salah seorang penerima. Itulah kegiatan terakhir, di hari terakhir kerja, yang dilakukannya di UIN Antasari. Dia tidak pulang cepat-cepat. Dia tuntaskan tugasnya dengan penuh dedikasi. Sabtu pagi, saat bertemu sopir saya yang mengantar saya untuk mengisi kuliah Subuh Ramadan, saya mendapat informasi bahwa Pak Saifi sudah terbang pagi sekali ke Balikpapan. Mungkin siang hari dia sudah tiba di rumahnya, di Samarinda. Selama hari libur itu, dia masih muncul memberi komentar di grup WA pimpinan. Tak ada yang menyangka, tepat di hari terakhir puasa, menjelang malam Hari Raya Idul Fitri 1445H, Allah memanggilnya. Dia telah sempurnakan tugasnya. Tugas sebagai ASN, dituntaskannya. Tugas sebagai mukmin yang wajib berpuasa, juga dituntaskannya. Ia memulai dan mengakhiri kariernya di lembaga pendidikan Islam. Bermula dari madrasah dan berakhir di UIN.

Demikianlah, Pak Saifi adalah seorang pejabat dengan karakter yang langka: berintegritas, pekerja keras dan disiplin. Mungkin tak berlebihan jika saya meminjam ungkapan Ignas Kleden (2024:100) dalam menggambarkan Bung Hatta, yang juga tepat untuk Pak Saifi dalam lingkup yang lebih kecil: politik bukanlah seni kemungkinan (the art of the possible) untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasan, tetapi seni mempertahankan prinsip (the art of principles) di tengah berbagai kemungkinan. Pak Saifi telah memilih jalan yang terjal itu. Buahnya adalah, mungkin dia satu-satunya orang yang menjabat Kakanwil dua kali dan Kepala Biro tiga kali.

****

Rasanya terlalu cepat dan mendadak Pak Saifi pergi. Baru lima bulan dia bekerja kembali di UIN Antasari. Seolah dia datang hanya untuk berpamitan. Saat airmata berlinang mengenangnya, aku teringat Plato yang berkata kala Socrates wafat. “Sesungguhnya kami menangis bukan karena sedih menyaksikan kematian guru kami, Socrates. Kami menangis justru karena kasihan terhadap diri kami yang ditinggalkannya.” Saya juga teringat puisi Mehmet Aktif, penyair besar Turki yang dikutip Fazlur Rahman saat dia terpaksa meninggalkan Pakistan: Sementara rasa sesakku bergemuruh, meraung keras melintas lembah. Aku mengalir diam seperti airmata yang menetes.

Semoga engkau damai-bahagia di alam sana, berkumpul bersama orang-orang saleh. Amin.