Guru Zuhdi, Sang Alkemis Ruhani

Artikel ini merupakan Kata Pengantar untuk buku karya Muhammad Bulkini, Ngaji di Majelis Abah Haji (Yogyakarta: Tonggak Media, 2023).

Guru Zuhdi, Sang Alkemis Ruhani

Mujiburrahman

Suatu hari, kaki Anda keseleo. Lalu Anda pergi ke tukang urut. Anda serahkan kaki Anda ke tukang urut itu untuk diurut. Ketika dia memegang, memijat, menekan bahkan menekuk kaki Anda, Anda kesakitan bukan kepayang. Mungkin Anda meringis hingga menangis. Tetapi Anda tetap bertahan, menyandang rasa sakit itu. Anda sama sekali tidak marah pada si tukang urut. Sebaliknya, Anda malah berterima kasih kepadanya. Usai diurut, Anda memberinya uang dengan hati yang senang dan lapang. Mengapa? Karena Anda tahu, tujuan si tukang urut bukan untuk menyakiti Anda, melainkan menyembuhkan keseleo kaki Anda.

Demikian salah satu tamsil sikap batin yang diajarkan oleh seorang Tuan Guru dalam pengajiannya, yaitu sikap ridha dengan cara berbaik sangka kepada Allah. Dia memang sangat pandai membuat tamsil, ibarat atau ilustrasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dia sampaikan semua itu dalam bahasa Banjar yang khas, yang mudah dipahami, mengena dan seringkali lucu. Ketika menyampaikan tamsil di atas, dia menggambarkan dalam bahasa Banjar, bagaimana orang yang keseleo kakinya itu, meskipun kesakitan, dengan senang hati menyerahkan uang kepada si tukang urut sambil berkata, “Tarimakasihlah. Jangan jaralah.” (Terima kasih. Jangan sampai jera ya [membantu saya]).

Beliau adalah Tuan Guru Haji Zuhdiannor (1972-2020) yang akrab dipanggil ‘Guru Zuhdi’ atau ‘Abah Haji’, seorang ulama Banjar kharismatik, yang pengajiannya diikuti puluhan ribu jemaah yang mencintainya. Usianya yang pendek dan kepergiannya yang tiba-tiba, membuat banyak orang merasa sangat kehilangan. Tidak hanya orang-orang yang sudah tua dan pensiun, tetapi juga anak-anak muda-remaja, yang mengisak tangis melepas kepergiannya ke alam baka. Senandung syahdu, “man anâ, man anâ, laulâkum” (siapakah diriku ini kalau bukan karenamu) menambah dalam perih-pedih rasa berpisah itu. Di sisi lain, kenangan-kenangan tentang dirinya bermunculan dari masing-masing orang. Seolah satu paradoks terjadi. Ketiadaannya justru semakin meneguhkan keberadaannya. Kita semakin menyadari nilai kehadiran seseorang justru ketika dia tidak lagi hadir bersama kita.

Mengapa Guru Zuhdi mendapat sambutan yang sangat hangat di masyarakat Banjar abad ke-21 ini? Mungkin salah satu sebabnya adalah, selepas Tuan Guru Haji Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul wafat pada 2005, masyarakat mengharapkan kehadiran para ulama penerus yang menjadi pelita dan tambatan jiwa dalam menuntut ilmu agama dan melaksanakan ibadah berjemaah. Kita bersyukur bahwa sejumlah ulama yang lebih muda bermunculan, yang umumnya adalah murid-murid Guru Sekumpul sendiri. Guru Zuhdi adalah salah satu di antaranya, yang kebetulan tinggal di Kota Banjarmasin, kota tertua, terpadat dan paling sibuk di Kalimantan Selatan.

Namun, kepergian Guru Sekumpul tentu bukan satu-satunya alasan di balik popularitas Guru Zuhdi. Sampai hari ini, sejauh yang saya amati, orang Banjar umumnya tidak gampang menganggap seseorang sebagai ulama besar jika tidak memenuhi kriteria yang lazim. Salah satu kriteria yang umum adalah, harus fasih dalam melafalkan bahasa Arab dan menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan baik, termasuk pandai membaca kitab kuning (Arab gundul). Jika mengucapkan huruf-huruf Arab saja tidak kena, masyarakat sudah langsung menganggapnya biasa-biasa saja. Jika tidak pandai membaca kitab kuning, maka dia juga takkan dianggap ulama besar. Masyarakat biasanya juga menilai sanad atau silsilah keilmuannya. Dulu dia belajar dengan siapa atau di pesantren mana? Yang tak kalah penting lagi adalah perilakunya sehari-hari, apakah dia mencerminkan seorang ulama panutan atau tidak? Adapun Guru Zuhdi, dia telah memenuhi semua kriteria ini.

Selain Guru Zuhdi, tentu masih banyak ulama-ulama Banjar lain yang fasih berbahasa Arab, menguasai ilmu-ilmu keislaman, memiliki latar belakang pendidikan agama yang jelas dan dapat menjadi panutan. Namun, masing-masing mereka tentu memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. Guru Zuhdi pun memiliki keistimewaan yang khas, yang lambat laun membuatnya menjadi tokoh kharismatik. Para ilmuwan mengatakan, seorang tokoh kharismatik akan lahir dalam satu masyarakat yang tengah menghadapi krisis. Sudah maklum bahwa masyarakat kita terus-menerus mengalami berbagai krisis: moral, ekonomi, budaya dan politik. Kemudian, di tengah krisis itu muncul seseorang yang dianggap memiliki keistimewaan tertentu, dan menawarkan satu jalan keluar dari krisis tersebut. Orang itulah yang secara teoritis dapat menjadi tokoh kharismatik.

Guru Zuhdi memenuhi syarat tersebut. Dalam garis keturunannya, dia cukup istimewa. Guru Zuhdi adalah anak Tuan Guru Haji Muhammad, ulama terkemuka dan pernah memimpin Pondok Pesantren Al-Falah Banjarbaru. Guru Muhammad adalah keponakan dari pendiri pesantren itu, yaitu Tuan Guru Haji Muhammad Sani. Guru Muhammad juga teman dekat Guru Sekumpul. Selain itu, Guru Zuhdi juga seorang yang sangat menguasai dua bidang ilmu keislaman, yaitu tauhid dan tasawuf. Ilmu tauhid atau ilmu kalam adalah salah satu disiplin ilmu keislaman yang memiliki fondasi filosofis yang kuat karena pokok-pokok keimanan Islam tidak hanya dipaparkan secara dogmatis, melainkan juga ditopang oleh argumen-argumen rasional (dalîl ‘aqlî). Karena itu, kajian ilmu tauhid seringkali bersentuhan dengan logika atau yang dikenal dengan ilmu manthiq. Saya menduga, Guru Zuhdi banyak belajar ilmu tauhid dari ayahnya, yang memang sangat menguasai ilmu ini.  Di sinilah dia mengembangkan kemampuan berpikir logis dalam memahami agama. Keahliannya di bidang ilmu tauhid ini kemudian diperkuat dengan tasawuf, yang dalam doktrin-doktrin metafisikanya—seperti doktrin tentang Nur Muhammad, juga menuntut kemampuan menalar yang baik. Selain itu, tasawuf juga menuntut pengalaman langsung, tidak hanya teori, melainkan juga praktik, tidak hanya ilmu, melainkan juga amal. Tampaknya Guru Zuhdi banyak mendapat bimbingan dari Guru Sekumpul di bidang tasawuf ini.

Lantas, apa yang ditawarkan Guru Zuhdi kepada masyarakat yang tengah mengalami krisis multidimensi ini? Dengan menguasai dan mengamalkan kekayaan khazanah intelektual Islam di bidang ilmu tauhid dan tasawuf, Guru Zuhdi menawarkan solusi berupa pola pikir atau mindset yang selalu berusaha melihat sisi positif dari apapun yang kita alami dalam hidup. Hal ini tampak dalam tamsil tentang orang yang keseleo dan tukang urut di atas. Sesuatu yang sakit akhirnya dapat disandang dengan hati yang lapang karena percaya bahwa di balik yang sakit itu ada sesuatu yang positif, yang baik bagi hidup kita. Berkat pola pikir yang positif itu, sesuatu yang sakit (pain) tidak otomatis melahirkan penderitaan (suffering). Ini bukan berarti orang diajak untuk menikmati sesuatu yang menyakitkan seperti dalam pandangan masokisme. Yang dianjurkan adalah, orang menerima yang sakit itu sebagai sakit, tetapi sanggup menerimanya karena dapat melihatnya secara positif.

Kita tentu tahu bahwa etika tasawuf sangat kaya dengan pola pikir positif tersebut seperti syukur, sabar, tawakkal dan baik sangka. Syukur artinya berterima kasih dan bersenang hati karena menerima kebaikan dan nikmat dari Allah. Sabar artinya tabah menyandang kesulitan dan kesakitan. Tawakkal artinya berserah diri kepada Allah, bergantung penuh kepada-Nya. Baik sangka artinya selalu percaya bahwa apapun yang ditakdirkan Allah pada hidup kita adalah sesuatu yang baik dan penuh hikmah, meskipun kita belum mampu memahaminya. Nilai-nilai tasawuf ini tidak akan berdiri kokoh tanpa fondasi tauhid, yaitu keyakinan akan kekuasaan dan cinta kasih Allah di satu sisi, serta kelemahan diri manusia di sisi lain. Guru Zuhdi mampu menjabarkan nilai-nilai syukur, sabar, tawakkal dan baik sangka itu dengan bahasa yang sederhana, renyah, mudah dicerna dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Tampaknya, sebagai seorang otodidak yang tidak belajar di jenjang pendidikan formal, Guru Zuhdi secara pribadi terus-menerus mengasah kemampuannya untuk memahami dan menyelami kehidupan masyarakat, khususnya mereka yang kurang beruntung. Apalagi setelah dia semakin dikenal dan makin banyak orang bertamu ke rumahnya. Tamu-tamu itu datang dengan berbagai keluh kesah untuk meminta nasihat dan doa kepadanya. Pertemuan-pertemuan tersebut secara alamiah membuatnya semakin paham tentang problematika hidup yang dihadapi masyarakat. Karena itulah, contoh-contoh yang dipaparkannya dalam pengajian terasa hidup dan mengena bagi jemaah.

Mengapa nilai-nilai etis seperti syukur, sabar, tawakkal dan baik sangka itu terasa sangat relevan di zaman sekarang? Sudah maklum, kita kini hidup di zaman penuh keserakahan. Kesejahteraan dinilai dengan seberapa tinggi tingkat konsumsi. Semakin banyak kita membeli dan memiliki, semakin dianggap baik dan sejahtera. Padahal, keserakahan itu tidak akan ada batasnya. Orang yang serakah pada hakikatnya adalah miskin, karena dia tidak pernah merasa cukup. Adapun orang yang bersyukur dan bersabar pada hakikatnya adalah orang yang kaya, karena dia merasa cukup. Guru Zuhdi sering membuat contoh yang akrab dengan peristiwa sehari-hari. Ketika listrik mati, kita biasanya mengeluh bahkan mengutuk PLN. Padahal, kata Guru Zuhdi, di zaman dulu, ketika belum ada listrik, orang dapat merasa cukup dengan lampu teplok saja. Kenyamanan listrik justru membuat kita lupa bersyukur. Bagi kelas menengah yang terbiasa dengan pendingin udara (AC), listrik mati adalah penderitaan. Padahal, kita bisa mendinginkan badan dengan kipas tangan, atau jika perlu lepas semua pakaian!

Selain soal keserakahan dan ambisi manusia menuruti segala keinginan nafsu yang tiada habisnya, Guru Zuhdi secara langsung ataupun tidak langsung menyentuh sisi lain dari budaya kehidupan zaman sekarang: orang suka narsis dan membanggakan diri. Tak syak lagi, media sosial memberikan dampak yang sangat besar bagi tumbuh suburnya narsisme di masyarakat. Secara alamiah, manusia memang suka dipuji. Media sosial memberikan ruang yang sangat luas bagi kita untuk menampilkan diri dalam citra yang sebaik-baiknya, dan kemudian mendapatkan tanda suka dan komentar dari kawan-kawan kita di dunia maya. Jika tidak hati-hati, media sosial akan menjadi mesin yang membentuk karakter diri kita yang egois dan haus puja-puji. Ketika tak ada orang yang memuji, atau bahkan banyak orang yang mencela dan memaki, maka kita akan sakit hati. Inilah penyakit jiwa yang berbahaya.

Dalam berbagai pengajiannya, Guru Zuhdi mengingatkan bahwa ada dua kecenderungan hawa nafsu yang harus ditundukkan. Pertama, merasa diri hebat dan suka dipuji. Merasa diri hebat dan suka dipuji disebut takabbur alias sombong, yang merupakan sifat Iblis. Jika kita ingin selamat, maka kita harus menjauhi sifat bangga diri ini. Karena bagaimanapun, sebagai manusia kita pasti memiliki banyak kekurangan. Dalam istilah Guru Zuhdi, kita adalah ‘hamba’ alias budak, yang tidak memiliki apa-apa, bahkan tidak memiliki diri kita sendiri. Di sinilah masuk ajaran tauhid dan tasawuf bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, sedangkan makhluk hanyalah wujud yang mungkin (mungkin ada dan mungkin tidak ada), yang keberadaannya tergantung sepenuhnya kepada Allah. Dalam penghayatan terdalam, seorang hamba akan merasa tidak ada atau fanâ’. Dalam ungkapan Guru Zuhdi: sorang kadada kesah (aku tak ada cerita). Pandangan inilah yang melahirkan sikap rendah hati (tawâdhu’). Dalam kehidupan sehari-hari, Guru Zuhdi mempraktikkan sikap rendah hati ini. Saat terjadi kebakaran, dia terjun bersama para petugas pemadam memadamkan api. Saat haul Guru Sekumpul, dia tidak duduk di Langgar Arraudhah bersama ulama-ulama lain, tetapi sibuk merapikan dan menjaga parkir.

Ciri hawa nafsu yang kedua adalah apapun yang dia inginkan harus terwujud. Dia seolah ingin seperti Tuhan, yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia tidak sabaran menunggu. “Bahkan kadangkala, Tuhan pun dimarahinya,” kata Guru Zuhdi. Ada orang yang berdagang sudah bertahun-tahun, tetapi tidak banyak dapat untung bahkan rugi. Dia juga sudah mengamalkan Salat Dhuha yang konon akan membuka pintu rezeki. Dia lantas tidak sabar dan memprotes kepada Tuhan, mengapa usahanya tidak berhasil dan doanya tidak dikabulkan? Padahal, menurut akidah Ahlussunnah, usaha apapun yang dilakukan manusia tidak akan mendatangkan hasil tanpa izin Allah. Karena itu, kata Guru Zuhdi, bagi seorang yang bertauhid, kegagalan tidak perlu membuatnya putus asa, apalagi marah-marah kepada Tuhan. Dia harus rela menerima kenyataan dan berbaik sangka kepada-Nya. Pada saat yang sama, kerja keras dan usaha ikhtiyar tetap dilaksanakan sebagai kewajiban hidupnya.

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang diajarkan Guru Zuhdi di atas biasa saja, tidak ada yang istimewa. Namun, jika dicermati lebih dalam, pola pikir keagamaan tersebut sesungguhnya merupakan kebalikan dari pandangan hidup masyarakat kita sekarang yang serba teknologi. Teknologi telah banyak membantu kita dalam mempercepat yang lambat, memperkuat yang lemah, dalam waktu singkat. Kita akhirnya terbiasa dengan yang instan. Kita menjadi manusia yang tidak sabaran. Dengan teknologi, kita seolah bisa mewujudkan apapun keinginan kita. Padahal, kenyataan hidup tidaklah demikian. Sehebat apapun manusia, secanggih apapun teknologi, semuanya pastilah terbatas. Pengetahuan dan kekuatan manusia jelas terbatas. Hidup manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Penyangkalan manusia akan keterbatasan inilah yang membuatnya menderita karena ia menyangkal kenyataan, dan kenyataan itu adalah kebenaran.

Akhirnya, pesona Guru Zuhdi juga tak lepas dari humor-humor yang dilontarkannya. Humor adalah bumbu dalam pengajiannya, bukan menu utama. Dengan humor, agama disajikan lebih santai dan menyenangkan. Sebagai orang Alabio, Guru Zuhdi pandai bermain kata-kata dalam bahasa Banjar. Salah satu yang saya ingat adalah cerita tentang orang Banjar yang baru pertama kali naik pesawat. Dia masuk toilet dan gagal menemukan air untuk membasuh kemaluannya. Setelah keluar dari toilet, dia berkata pada pramugari, “Tadi saya kencing di toilet, tidak ada airnya.” “Oh, kalau tidak ada airnya, tidak perlu dibasuh,” kata pramugari. Ini terjemahan saya. Guru Zuhdi mengungkapkannya dalam bahasa Banjar kurang lebih begini: “Amun bakamih kada babanyu, kada parlu dibasuh.”  “Rupanya si pramugari itu orang Alabio,” kata Guru Zuhdi, yang disambut derai tawa jemaahnya.

Singkat kalimat, Guru Zuhdi dengan indah meramu khazanah klasik ilmu tauhid dan tasawuf sebagai resep mujarab menghadapi krisis masyarakat modern. Dia menyajikan apa yang oleh ulama klasik disebut ramuan kimia kebahagiaan, yang menurut al-Ghazali, bersumber dari ceruk kenabian, yakni pesan-pesan yang diwahyukan kepada para Nabi. Ramuan kimia ini adalah berupa ilmu tentang diri, Tuhan, dunia, akhirat dan hubungan dengan sesama manusia, yang kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mentransformasi hati manusia menjadi pusat ketenangan dan kebahagiaan. Dalam ungkapan Guru Zuhdi, ramuan ini adalah ilmu yang harus difungsikan dalam menjawab masalah-masalah kehidupan. Itulah ilmu yang bermanfaat, dan itulah kimia kebahagiaan.

Kita bersyukur, berkat teknologi, warisan intelektual dan spiritual Guru Zuhdi masih bisa kita saksikan sebagian rekamannya di media sosial. Kala rindu ingin mendengar pengajiannya, kita dapat memutar rekaman-rekaman itu sebagai pengobat hati. Kali ini, kita beruntung pula, ada seorang anak muda bernama Muhammad Bulkini, yang rajin mencatat dan mendokumentasikan intisari pengajian-pengajian yang disampaikan Guru Zuhdi, yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini. Keistimewaan buku ini adalah, ia merupakan kumpulan laporan lapangan, yang dibuat langsung oleh seorang wartawan yang hadir saat pengajian dilaksanakan. Lebih dari itu, Bulkini juga sudah mendapat izin dari Guru Zuhdi untuk meliput pengajiannya itu. Dalam artian tertentu, buku ini adalah data sejarah, terutama sejarah pemikiran, yang sangat berharga. Karena itu, buku ini perlu dibaca oleh siapapun yang ingin belajar dari Guru Zuhdi. Semoga buku ini membuka cakrawala keberagamaan kita semakin lapang, luas dan membahagiakan. Selamat Membaca!

Banjarmasin, 11 Maret 2023