Bahaya Pukul Rata
Dalam rangka menjaga dan meningkatkan integritas akademik, khususnya dalam karya ilmiah bagi seluruh civitas akademika UIN Antasari, kami terbitkan kembali kolom-kolom yang pernah ditulis rektor dan terbit di Banjarmasin Post edisi cetak dan elektronik. Berikut adalah kolom ketiga yang terbit pada 29 Juli 2024
Mujiburrahman
Setelah tamat S-1, saya pernah mengikuti program menghafal Al-Qur’an. Sebenarnya, sejak usia belia di madrasah diniah, saya sudah mulai menghafal sejumlah surah, tetapi kali ini menghafal dari juz pertama secara berurutan. Ternyata menghafal itu relatif mudah. Yang sangat sulit adalah menjaganya. Dalam sistem menghafal, ada yang namanya takrîr, yakni mengulang hafalan terdahulu. Inilah yang sulit itu. Entah bagaimana, saya seringkali lupa.
Saat rehat, seorang teman mengeluhkan soal penyakit mudah lupa ini kepada guru kami. Alih-alih menyalahkan kami, misalnya dengan menyindir bahwa kami banyak maksiat, guru kami itu menjawab santai. “Bersyukurlah pada Allah, kalian masih lupa. Andai Allah tidak memberi kita lupa, mungkin kita akan terus-menerus stres dan tidak bisa tidur. Lupa membuat kita istirahat,” katanya sambil tersenyum. Kami pun manggut-manggut, mendengarkan kalimat-kalimatnya yang bijak.
Dengan mengatakan bahwa lupa adalah normal, apakah guru kami itu melemahkan semangat kami? Apakah dia akan membiarkan kami gagal, tidak mencapai target yang diinginkan? Tentu saja tidak! Dia mengatakan kalimat-kalimat penghibur itu karena telah menyaksikan segenap upaya dan kerja keras kami. Dia tahu bahwa kami telah berjuang, tetapi belum sepenuhnya berhasil. Sebagai seorang pendidik, dia paham betul, kapan harus menancap gas, dan kapan harus menginjak rem.
Begitulah pula seharusnya kita melihat kritik-kritik tajam yang muncul belakangan ini terhadap dunia pendidikan. Misalnya, kekacauan dalam sistem zonasi penerimaan siswa baru. Ada yang merusak sistem ini dengan menggunakan kekuasaan. Ada pula yang memanipulasi data kependudukan. Ada lagi yang menggunakan uang sogok. Akibatnya, alih-alih melahirkan pemerataan, sistem ini justru melahirkan berbagai permainan kotor yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan itu sendiri.
Jika di sekolah demikian, begitu pula di perguruan tinggi. Kampus-kampus didorong untuk “go international”. Salah satunya di bidang penelitian dan publikasi. Untuk itu, setiap calon guru besar wajib menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi. Dalam tiga tahun, setiap yang sudah guru besar juga wajib menerbitkan satu artikel serupa. Ternyata, ada saja yang nakal. Ada yang plagiat, dan ada pula perjokian. Ada lagi bisnis (jual-beli) fabrikasi artikel Scopus yang cerdik.
Namun, apakah dengan begitu, pendidikan di sekolah tidak lagi penting? Apakah para profesor di perguruan tinggi semuanya tidak memiliki kejujuran ilmiah? Tentu saja tidak! Pada 1970 silam, Ivan Illich menerbitkan bukunya berjudul Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah). Meskipun setuju dengan beberapa kritik Illich terhadap lembaga sekolah, para pakar pendidikan umumnya tidak menganjurkan pembubaran sekolah, melainkan mendorong perbaikan sistem sekolah yang ada.
Begitu pula selayaknya sikap kita terhadap kritik-kritik pedas atas dunia pendidikan saat ini. Jika sistem zonasi malah melahirkan perilaku yang merusak integritas dunia pendidikan, apa kiranya yang harus kita lakukan? Kita tampaknya sudah sadar bahwa sekolah-sekolah kita belum setara, masih timpang antara yang satu dengan yang lain. Ketimpangan itu bisa dilihat dari segi sumber daya manusia dan fasilitas. Ketika ketimpangan ini belum diselesaikan, sistem zonasi takkan efektif.
Bagaimana dengan internasionalisasi riset dan publikasi dosen? Tampaknya mayoritas dosen kita saat ini belum memiliki banyak pengalaman internasional. Mayoritas dosen kita juga diangkat dengan pendidikan S-2, bukan S-3. Standar kemampuan bahasa Inggris untuk calon dosen kita juga belum benar-benar ketat. Keadaan ini antara lain yang membuat mereka gagap ketika harus menerbitkan hasil penelitian di level internasional. Artinya, kondisi lapangan belum disiapkan secara memadai.
Ini bukan berarti bahwa ketidakjujuran di dunia pendidikan dapat ditoleransi. Guru di sekolah dan dosen di universitas adalah tumpuan harapan banyak orang dalam hal keteladanan. Karena itu, apapun keadaan yang menekan, kebohongan di dunia pendidikan adalah dosa besar yang sangat berbahaya dan merusak. Jika dunia poilitik penuh dengan tipu muslihat dan dusta, orang mungkin masih maklum. Namun, jika dunia pendidikan juga demikian, apa lagi mau dikata?
Yang kita khawatirkan adalah, masyarakat akhirnya terjerumus ke jurang pukul rata habis-habisan, seolah tak ada lagi yang baik di sekolah dan universitas. Kita tentu berterima kasih kepada media yang berhasil mengungkap praktik-praktik ketidakjujuran di dunia pendidikan kita. Namun, semua itu kita terima sebagai kritik untuk perbaikan, bukan menganggap semuanya dan segalanya telah rusak. Masih banyak guru dan dosen yang berintegritas dan penuh dedikasi di dunia pendidikan kita.
Para “motivator” bebas berkhotbah di media sosial, bahwa nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tidak penting, bahkan kuliah pun tidak penting. Yang penting adalah pengalaman langsung di dunia kerja. Jika mayoritas penduduk kita berpendidikan tinggi, mungkin ungkapan ‘yang penting pengalaman’ itu tak masalah. Namun, bagaimana dengan sebuah negeri yang pendidikan penduduknya rata-rata baru setingkat sekolah menengah pertama? Tidakkah petuah “motivator” itu justru bisa berbahaya?
Berlaku adil dan berimbang itu memang tidak mudah, tetapi kita wajib mengupayakannya, lebih-lebih menyangkut lembaga yang sangat menentukan nasib bangsa kita, lembaga pendidikan!
29 Juli 2024
(Sumber: https://banjarmasin.tribunnews.com/2024/07/29/bahaya-pukul-rata)
