Aku, Ramadan, dan Idulfitri

Aku, Ramadan, dan Idulfitri

Penulis: Dr. Muhammad Rusydi, M.Ag.

(Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora/Sekretaris LP2M)

Penyunting: Noor Hasanah, M.A.

Saya bertemu dengan “aku” pada tanggal 27 Ramadhan 1445 H., tepatnya waktu Shalat Zuhur di sebuah musala. Tulisan ini merefleksikan apa yang terjadi pada “aku” tersebut.

Menjelang Kepergian Bulan Ramadhan…

Dihitung dari 27 Ramadhan, tidak lama lagi Idul Fitri akan tiba. Hatiku tercabik-cabik, khawatir dan gundah bahwa hari itu akan tiba. Aku berharap agar hari ini bukan hari ke-27 Ramadhan atau paling tidak ada waktu yang diperpanjang hingga 10 hari lagi untuk bulan Ramadhan atau kalau boleh diperpanjang lebih lama lagi. Aku tidak ingin kehilangan suasana Ramadhan ini. Ini begitu indah dan spesial bagiku. Namun, mengingat angka di kalender, memperhatikan anak-anak yang asyik memainkan gadget sambil memilih pakaian baru untuk Idul Fitri, dan kebahagiaan orang tua yang berkumpul dengan keluarganya serta persiapan berbagai acara menjelang Idul Fitri, air mataku jadi berkaca-kaca, membasahi kelopak dan bulu mataku. Hari itu mesti akan tiba. Setiap pertemuan mesti ada perpisahan. Aku juga tidak layak memutus kebahagiaan orang lain. Bukankah orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan yakni kebahagiaan ketika berbuka puasa/Idul Fitri dan kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya (HR. Muslim). Aku harus mencari cara lain agar Ramadhan ini tidak terpisah dariku tapi juga tidak mengganggu kebahagiaan Idul Fitri.

Ramadhan Hadir pada Seluruh Bulan Syamsiyah

Ramadhan ditetapkan berdasarkan waktu yang dihasilkan oleh pergerakan Bulan. Waktu ini disebut sebagai Qomariyah atau Hijriyah. Ini membentang dari Muharram hingga Dzulhijjah yang diakumulasikan seluruhnya ada 12 bulan. Adapun waktu lain yang lazimnya diketahui adalah waktu berdasarkan pergerakan Matahari. Ini disebut sebagai Syamsiyah atau Masehi. Waktu ini membentang 12 bulan dari Januari hingga Desember.

Meskipun kedua waktu di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, bulan Ramadhan yang ditetapkan berdasarkan waktu Hijriyah memberikan berkah tersendiri bagi waktu Syamsiyah. Jika waktu Hijriyah mendapatkan kemuliaan Ramadhan karena padanya terjadi peristiwa bulan suci ini, maka seluruh waktu Syamsiyah mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan karena ‘pancarannya’. Dengan kata lain, setiap bulan Syamsiyah mungkin untuk menjadi bulan puasa atau bulan Ramadhan. Hal ini terjadi karena penetapan Ramadhan yang ada di waktu Qomariyah selalu mengalami perubahan jika diperhatikan pada bulan Syamsiyah. Perhatikanlah, Ramadhan pada tahun 2024 ini terjadi pada bulan Maret, lalu pada tahun 2020 terjadi bulan April, kemudian pada tahun 2019 terjadi bulan Mei, tahun 2016 terjadi bulan Juni, tahun 2013 terjadi bulan Juli dan tahun 2010 terjadi bulan Agustus, dan seterusnya.  Jadi seluruh bulan Syamsiyah mendapatkan giliran kemuliaan dan kebesaran dari bulan Ramadhan. (Ibn Arabi, Futūhāt al-Makiyyah, Juz 1, h. 659 atau https://ar.lib.eshia.ir/10511/1/659). Jika Ramadhan bisa berjalan pada seluruh bulan Syamsiyah, mungkinkah Ramadhan selalu bersamaku sepanjang waktu?

Ramadhan sebagai Nama Allah

Sebuah riwayat menyatakan bahwa “Ramadhan adalah nama Allah,” dengan demikian kita tidak boleh menyebutnya Ramadhan saja tetapi hendaknya meng-idhafat-kannya/menambahkan kata bulan, yakni “bulan Ramadhan”. Meskipun kesahihan riwayat ini diperdebatkan, beberapa ulama lain seperti Abu Hurairah tetap memperhitungkannya (https://shorturl.at/fvwDH).

Jika Ramadhan adalah nama Allah maka posisinya adalah seperti nama-nama Allah yang lain, yakni sebagai entitas tetap (al-a’yān al-tsābitah). Dengan kata lain, jika zat Allah adalah tetap maka nama sebagai manifestasi dari-Nya mesti juga tetap, sebab zat itu tidak berubah dan tidak pernah pergi. Ia sempurna pada dirinya dan oleh dirinya sendiri sehingga ia melampaui waktu itu sendiri. Lalu, kapan ia pergi dan kapan ia datang sementara ia sendiri tidak diliputi oleh waktu? Oleh karena itulah dalam kitab al-Kāfī dinyatakan: “jangan kalian katakan “sekarang Ramadhan”, “Ramadhan telah pergi”, “Ramadhan telah datang “ sebab Ramadhan adalah nama dari nama-nama Allah…”(al-Kulaini, al-Kāfī, Juz 4, h. 70 atau atau https://shorturl.at/hkF04).

Hakikat Waktu: Waktu Sejati dan Waktu Imajinatif

Jika Ramadhan adalah waktu yang kita temukan, kemudian setelah beberapa saat, ia berlalu dari kita. Lalu apa sebenarnya hakikat waktu itu?

Newton berpendapat waktu itu mutlak. Lima jam Anda di hadapan orang yang Anda cintai adalah sama dengan lima jam Anda di hadapan orang yang Anda benci. Sebaliknya, Einsten berpendapat bahwa waktu itu relatif. Lima jamku bersama orang aku cintai terasa sangat cepat, seakan-akan hanya lima menit, sementara lima jamku bersama orang yang kubenci membuat waktuku melambat, seakan-akan aku melewati lima puluh jam.  Waktu Newton bisa kita sebut sebagai waktu mekanik, sementara waktu yang kedua bisa kita sebut sebagai waktu jiwa.

Berbeda dari yang di atas, Ibn Arabi menyatakan waktu itu sebenarnya adalah ekspresi suatu eksistensi tunggal yang memanifestasi secara diskrit dan seragam pada wilayah ontologis namun bermanifestasi kontinu dan relatif pada wilayah fenomenologi. Jadi, waktu itu pada tataran ‘batinnya’ selalu diciptakan dalam bentuk baru yang serupa namun tidak sama dalam kecepatan yang luar biasa sehingga tidak terasa perubahannya. Karena ia selalu berada pada ciptaan baru maka tidak ada potongan waktu pada bagian ini yakni tidak ada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Adanya hanya waktu yang diciptakan lalu menghilang, kemudian diciptakan lagi waktu yang betul-betul baru, kemudian menghilang lagi, dan begitu seterusnya. Ilustrasinya seperti lampu atau bintang yang kelap-kelip atau seperti gerak nafas kita. Dari peristiwa itulah, tercipta ruang dan materi tiga dimensi yang komposisinya adalah panjang, lebar, dan tinggi karena penciptaan itu dilakukan dalam waktu enam hari (al-Qur’an, 7: 54) yang mengindikasikan pergerakan enam arah yakni atas-bawah (yang akan membentuk tinggi), depan-belakang (yang akan membentuk lebar), dan kanan-kiri (yang akan membentuk panjang).

Peristiwa pada wilayah “batin” ini membuat munculnya waktu imajinatif pada tataran ‘lahirnya’. waktu sepertinya tidak diciptakan. Ia seakan-akan terus berjalan hingga terkesan ada masa lalu, masa kini dan masa depan. Inilah waktu yang kita temukan dalam keseharian kita.  

Sederhananya, dalam keseharian, aku dan alam sekitarku diimajinasikan seakan-akan terus ada sepanjang waktu padahal sejatinya aku dan alam sekitarku selalu diciptakan secara baru pada setiap momennya yakni pada setiap momen, aku hidup lalu hilang, dihidupkan lagi dan dimatikan lagi dan begitu seterusnya (al-Qur’an, 55: 29).

Kehadiran eksistensi tunggal melalui kombinasi unik pergerakan pada alam batin dan alam lahir di ataslah yang disebut dengan penciptaan waktu (Bandingkan Muhammad Haj Yousef, Duality of Time, 2018:347, 349, & 352) 

Dengan demikian, jika Ramadhan adalah bagian dari waktu maka ia tidak lain, pada wilayah lahirnya, adalah sesuatu yang imajinatif yang kita temukan sehari-hari yang merupakan refleksi dari waktu yang selalu diciptakan laksana kelap-kelip bintang pada bagian batinnya. Dengan kata lain, Ramadhan sebagai waktu sebenarnya tidak pernah eksis secara sejati sebab kesejatiannya ada pada eksistensi yang mengadakannya. Lalu bagaimana agar aku bisa selalu bersama dengan Ramadhan setelah kepergiannya?   

Idul Fitri: Kembali kepada Tabiat Manusia, Bertemu Tuhan, & “Terus Bersama Ramadhan”

للصائم فرحتان: فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه (الحديث)

فمن كان يرجو لقاء ربّه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربّه أحدا (الكهف: 110)

Berpuasa sebenarnya adalah “menjadi seperti Tuhan (Homo Deus ala Muslim)”, yang tidak berhajat dan penuh dengan kesempurnaan. Ini diilustrasikan pada pelaku puasa dengan tidak makan, minum dan meninggalkan hajat-hajat yang membatalkan puasanya. Oleh karena itulah, puasa disandingkan dengan nama Allah al-Shamad yang mengindikasikan kesempurnaan dan tidak bergantung kepada yang lain. Puasa juga merupakan ibadah yang tidak ada menyamainya (lā matsīla lahu) sebab ketika seseorang berpuasa maka tidak ada yang tahu apakah orang itu berpuasa atau tidak, karena tidak ada indikator ibadah pada aktivitasnya seperti indikator adanya bacaan dan gerak tertentu pada shalat, atau indikator tawaf bagi ibadah haji atau umrah, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, ganjaran puasa sejati adalah Allah itu sendiri sebab ia adalah zat yang tidak ada satupun yang bisa menyerupai-Nya (laysa kamitslihi syay’un) sebab ia ketunggalan atau ketauhidan mutlak. (Ibn Arabi, Futūhāt al-Makiyyah, Juz 1, h. 602 atau https://ar.lib.eshia.ir/10511/1/602)

Di antara kebahagiaan orang yang berpuasa adalah ketika ia berbuka karena ia mendapatkan kenikmatan jasadinya kembali. Ia bisa menikmati makan dan minum yang sebelumnya ia tinggalkan untuk Tuhannya karena ia berpuasa. Pada posisi ini, pelaku puasa dikembalikan jati dirinya bahwa ia bukanlah Tuhan karena masih memiliki hajat.

Perputaran ketika seseorang berpuasa, lalu ia menjadi “menyerupai” tanzīh (keagungan/transenden) Tuhan yakni penyucian Tuhan dari segala hajat, dan ketika ia berbuka ia menjadi dirinya sebagai seseorang yang berhajat kepada yang lain, di mana yang memenuhi hajat ini adalah Tuhan sendiri melalui materi seperti makanan, minum dan lainnya. Kehadiran Tuhan melalui hal-hal ini disebut sebagai tasybīh (imanensi/’kedekatan’) Tuhan dalam keseharian hidup kita.

Pembiasaan rotasi kesadaran antara tasybīh-tanzīh selama bulan Ramadhan, jika berhasil maka akan membentuk pribadi yang berkesadaran puncak tauhidi. Dengan demikian, Ramadhan sebagai nama Allah ataupun Ramadhan sebagai kehadiran eksistensi tunggal melalui manifestasi waktu lahir dan batin, sebagaimana diuraikan sebelumnya, akan terus eksis dalam kesadaran tauhidi seseorang. Dengan kata lain, ia akan memanifestasi menjadi individu Ramadhan yang menyatukan kehadiran Ilahi dan kesadaran manusiawi. Jika seseorang berada dalam kesadaran ini, lalu bagaimana mungkin Ramadhan menjadi hilang atau pergi, sementara dirinya telah memanifestasi sebagai Ramadhan sejati.

Kebahagiaan lain bagi orang yang berpuasa adalah saat ia bertemu dengan Tuhannya. Orang yang sudah menjadi Ramadhan maka ia bisa menyaksikan Tuhannya dalam tasybīh dan tanzīh-Nya. Ia akan tunduk dalam munajat-munajatnya, seperti ketika ia mengerjakan shalat idul fitri, karena ia tahu bahwa keagungan (tanzīh) Tuhannya adalah mutlak dan sempurna. Namun, ia juga senang dan berbahagia dengan makanan, minum, dan kesenangan yang tidak berlebihan yang diberikan Tuhannya di Idul Fitri sehingga ia tidak berpuasa di hari itu, sebagaimana syariat memerintahkannya, karena Ramadhan telah mendidiknya melalui berbuka puasa bahwa dalam semua itu (makanan dan minuman) juga ada kehadiran kemurahan dan kasih sayang Ilahi yang disebut sebagai tasybīh Ilahi. Karena kesadarannya ini, maka ia hanya tahu bahwa ia harus terus menjadi tauhidi (menyatukan rotasi tanzīh-tasybīh) dan menjaga amal shaleh dalam kesehariannya sebagaimana yang disinggung oleh ayat: “Barang siapa yang berharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia beramal shaleh dan tidak menyekutukan dengan apa pun dalam pengabdian terhadap Tuhannya” (al-Quran, 18: 110). 

Jadi, aku mungkin bersedih dengan kepergian Ramadhan sebagai bulan, namun tidak ada alasan untuk tidak berbahagia di akhir Ramadhan yang ditandai dengan Idul fitri, takbir dan tahmid serta kebahagiaan lainnya sebab di sana ada tasybīh Ilahi, apalagi bagi mereka yang telah berhasil menjadi individu Ramadhan, yakni pribadi yang tauhidi dan menjaga amal shaleh. Ramadhan tidak pernah pergi, ia selalu bersama kita…! Wallāhu a’lam bishawāb.

Ramadhan Karim dan Selamat Idul Fitri 1445 H.

Taqabballāhu minnā wa minkum, Taqabbal Yā Karīm!