Ciptakan Harmonisasi Pluralitas Beragama pada Era 4.0

Oleh : Huriyah*

Indonesia adalah bagian dari bangsa di dunia yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan walaupun bukan negara agama, tetapi tidak terlepas dari baju agama. Ketika beranggapan dan berinteraksi tentang segala bentuk antropologi manusia berperan sebagai individu maupun sebagai alat sosial tidak akan terlepas dari lingkup agama. Naluri dasar manusia adalah sebagai makhluk beragama (homo religiousus), baik untuk keberagamaannya sebagai agama murni atau pseudo religion (agama semu). Pernyataan Henri Bergson dalam buku The Two Sources of Morality and Religion yang dikutip oleh Joachim Wach bahwa tidak pernah ada suatu masyarakat tanpa agama. Agama telah mengeluarkan banyak unsur esensial dalam masyarakat. Seiring dengan perubahan daya pikir dan khazanah pengetahuan manusia yang diiringi perubahan kultural dan lingkungan. Agama dalam aspek religiusitas terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain dengan perubahan zaman dan wilayah.

Pluralitas agama di Indonesia merupakan kenyataan yang terlihat jelas, hal ini yang akhirnya menimbulkan terjadinya pembentukan keragaman kebudayaan di Indonesia. Kemajemukan berkaitan erat dengan sikap penuh pengertian kepada orang lain. Masyarakat dapat menjadikan keragaman sebagai sesuatu yang harmonis bukan sebagai sesuatu yang harus dimusuhi. Penanaman nilai-nilai pluralitas perlu dikembangkan dalam masyarakat sekarang dengan cara-cara efektif dan relevan, sehingga mudah dimengerti dan diterima masyarakat. Nilai pluralitas bertujuan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati, memahami, dan toleransi antar sesama manusia di dalam lingkungan masyarakat, sehingga tercipta harmonisasi keragaman antar umat beragama.

Pluralitas agama pada satu sisi menjadi modal kekayaan budaya suatu bangsa dan memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi yang sangat kaya bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam pluralitas agama, hendaknya dapat memahami dan menghormati kepercayaan atau keyakinan dari masing-masing pemeluk agama. Hal tersebut sangat penting dalam upaya pembangunan disegala bidang, termasuk membangun keharmonisan kehidupan beragama.

Zaman globalisasi pada era 4.0 begitu mudahnya budaya asing dan agama yang masuk sangat berpengaruh terhadap penciptaan budaya baru yang terus tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pluralitas agama yang ada di Indonesia dinilai sebagai keunikan dan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Di sisi lain keadaan yang plural atau beragam ini merupakan suatu tantangan yang mengedepankan majemuknya nilai-nilai, mekanisme, dan struktur sosial dalam bingkai human being.

Selaras dengan salah satu sifat dasar masyarakat yang plural yaitu secara relatif sering kali mengalami disharmonis, masyarakat yang plural memang sangat rentan dengan disharmonis dan persaingan karena pada dasarnya pluralitas yang ada di masyarakat itu memiliki dua sisi yaitu sisi baik dan sisi buruk. Pluralitas agama bisa menjadi sisi yang baik apabila masyarakat dapat memaknai pluralitas agama tersebut dengan bijak, di sisi yang buruk pluralitas agama dapat menjadi sebuah disharmonis apabila masyarakat memaknainya dengan sikap apatis dan rasa egois yang tinggi. Kesadaran pluralitas manusia dihadapkan pada proses pembelajaran yang terus menerus bergulir sepanjang hidupnya.

Harmonisasi pluralitas merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara kesatuan dan keutuhan bangsa. Tanpa terwujudnya harmonisasi pluralitas diantara berbagai agama pada suatu daerah atau bangsa akan terancam akan adanya perpecahan. Pemeliharaan pluralitas umat beragama merupakan upaya bersama yaitu dari pemerintah atau organisasi pada bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. Melalui upaya ini isu-isu yang akan menimbulkan perpecahan dapat dihilangkan, sehingga dapat tercipta proses harmonisasi beragama wujud dari pluralitas umat beragama. Perwujudan diantaranya dapat tercermin dari sikap saling menghormati dan bekerja sama antar berbagai umat beragama dan pemerintah yang sama-sama mempunyai tanggung jawab. Memiliki sikap saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksakan menganut agama yang dipercayainya kepada orang lain.

Sesuai dalam Quran Surah Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi “Lakum diinukum wa liyadiin” yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Ini mencerminkan bagaimana dalam menghormati hak berkeyakinan sesama manusia, tidak memaksakan kehendak seseorang untuk memeluk suatu agama tertentu dan tidak mendeskreditkan agama lainnya.

Kehidupan modern di era 4.0 sekarang, masalah pluralitas dapat dikatakan sebagai agenda kemanusiaan suatu bangsa dan dianggap sebagai suatu faktor yang dapat memicu konflik sosial. Konflik sosial terjadi jika manusia di masyarakat bersikap eksklusif, apatis, tidak pandai menerima dan mengelola pluralitas. Pluralitas dapat dijadikan sebagai kekuatan yang  bisa untuk membangun keharmonisan, peradaban umat dan kesejahteraan manusia jika manusia bisa bersikap pluralis, inklusif, transformatif dan mampu mengelolanya secara adil dan arif. Salah satu isu krusial yang sejalan dengan perubahan modernitas era 4.0 dalam konteks keagamaan adalah perbedaan pemahaman keagamaan yang diwujudkan dari sikap saling menyapa, kemudian secara tidak langsung akan menemukan arti kehidupan pluralitas atau keragaman agama.

Menciptakan harmonisasi pluralitas perlu adanya sikap toleransi dalam suatu kelompok manusia, sebab toleransi merupakan kemampuan memahami dan menerima adanya perbedaan. Demikian pula agama yang berbeda satu sama lain. Masing-masing agama mempunyai seperangkat ajaran yang berbeda-beda, meskipun bisa terdapat semacam hubungan kekerabatan antara satu agama dengan agama yang lain. Hidup harmonis dalam kelompok manusia yang majemuk agama, perlu mempunyai kemampuan untuk memahami secara benar dan menerima perbedaaan tanpa ada keinginan untuk mencari kemenangan terhadap suatu yang berbeda. Adanya dialog yang dilakukan untuk saling menghargai atau toleransi merupakan suatu upaya membangun kehidupan bersama yang harmonis.

*Penulis adalah Dosen pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin