Bertemu Guru Danau pada 2011

Pada 2011 silam, saya bersama Zainal Abidin dan Rahmadi meneliti tiga ulama Banjar terkemuka, dalam arti pengajian mereka diikuti ribuan jemaah, yaitu Guru Danau, Guru Bakhiet, dan Guru Zuhdi. Penelitian kami tersebut telah terbit di Jurnal al-Banjari pada 2012 silam. Bagi yang berminat membaca, silakan klik tautan di bawah (free download).

Waktu begitu cepat rasanya berlalu, seolah baru kemarin sore penelitian itu kami lakukan. Hari ini, satu per satu tokoh ulama itu meninggalkan kita. Yang paling muda dari ketiganya, Guru Zuhdi, ternyata wafat lebih dahulu, yaitu pada 2020 lalu. Yang tertua, Guru Danau, wafat hari ini, 2 Februari 2024. Yang masih bersama kita adalah Guru Bakhiet.

Saya telah menulis artikel lain tentang Guru Zuhdi dan Guru Bakhiet, tetapi belum ada yang baru tentang Guru Danau. Hal ini antara lain karena saya kurang berinteraksi dengan beliau baik langsung ataupun melalui media sosial seperti YouTube. Berbeda dengan Guru Zuhdi dan Guru Bakhiet, seingat saya, Guru Danau memang cenderung menghindari penggunaan media sosial.

Namun saya masih ingat beberapa hal yang kami alami “behind the scene” saat melakukan penelitian tahun 2011 itu. Misalnya, bagaimana kami akhirnya bisa hadir di pengajian beliau dan duduk di dekat beliau, berkat bantuan seorang sahabat saya seangkatan di Pesantren Al-Falah yang telah menjadi orang dekat beliau. Kami “menerabas” jalan di antara ribuan jemaah hingga masuk ke sebuah rumah yang menjadi pusat pengajian. Kami mendengar langsung percakapan-percakapan beliau yang jenaka, yang kadang diungkapkan dengan mematikan mikrofon, sehingga hanya didengar orang-orang di dalam rumah itu.

Esok paginya, kami diterima oleh beliau untuk wawancara. Obrolan mengalir saja dan santai perihal riwayat hidup, dan hubungan dekat beliau dengan Guru Sekumpul. “Tidak boleh membuka majelis taklim kalau belum mandiri secara ekonomi, yakni tidak mengharap pemberian jemaah.” Begitu kurang lebih pesan Sang Guru. Itu sebabnya, Guru Danau punya usaha, yang menonjol adalah sarang burung walet. Lalu ada tamu yang datang setelah kami, meminta doa agar sarang waletnya berhasil. Guru Danau malah memberikan penjelasan “ilmiah” tentang apa saja yang harus dilakukan agar sarang walet itu berhasil. Baru setelah itu berdoa.

Sebelum kami pulang, beliau bertanya, entah serius entah bercanda, “Apakah kamu sudah menikah?” “Alhamdulillah, sudah Guru. Saya sudah punya dua anak,” kataku. Beliau tersenyum. “Syukurlah,” kata beliau. Kami pun pulang, lalu menulis artikel di bawah ini dengan analisis Weberian tentang kharisma.

Selamat jalan Guru. Semoga kebaikan beliau menjadi amal jariah. Al-Fatihah!