Mujiburrahman: Zafry Zamzam adalah Spirit Awal Keislaman, Kemodernan dan Kebangsaan di Kalimantan Selatan
“Cerita Hidup Zafry Zamzam adalah pergumulan islam, modernitas dan kebangsaan yang terjadi di kalimantan selatan. Zafry Zamzam adalah orang yang paling berani menentang gagasan negara Islam pada tahun 1950an, ia tetap kukuh menginginkan Pancasila.“Dia ingin Islam itu modern, Islam itu maju dan pada saat yang sama Islam adalah bagian dari Indonesia. Hal tersebut disampaikan Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof. Dr. H. Mujiburrahman,MA saat memberikan sambutan pada pembukaan acara Bedah Buku Zafry Zamzam: Kehidupan, Kegiatan dan Pemikiran karya H. M Laily Mansur dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary sebagai Ulama Juru Da’wah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad 13 H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara karya Zafry Zamzam bertempat di Auditorium Mastur Jahri UIN Antasari Banjarmasin, selasa (04/12/2018)
Bedah buku yang dihadiri hampir 400 orang dari berbagai daerah dan kalangan tersebut menghadirkan Prof. Dr. H. A.Hafizh Anzhary AZ, MA (Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam UIN Antasari) dan Drs. Yusliani Noor, M.Pd (Pakar Sejarah Universitas Lambung Mangkurat) sebagai narasumber dan Drs. Humaidy, M.Ag sebagai moderator..
Mujiburrahman dalam sambutannya juga menyampaikan bahwa pelaksanaan bedah buku ini dilatarbelakangi banyaknya permintaan baik dari dalam maupun luar kampus UIN Antasari Banjarmasin pasca peluncuran kedua buku tersebut pada saat pelaksanaan peringatan 100 tahun Zafry Zamzam dan Antasari Award 2018 bulan Nopember yang lalu. Kegiatan bedah buku tentang tokoh banua ini menurutnya merupakan suatu langkah awal untuk mewujudkan pilar filosofi keilmuan UIN Antasari Banjarmasin, yaitu berbasis lokal dan berwawasan global.
“Karya-karya ulama dan cendekiawan kita yang mengangkat khazanah intelektual, sosial, budaya dan sejarah masyarakat banua banjar, terutama Islam harus menjadi konsen bagi kita semua, konsen ciri khas pengabdian civitas UIN Antasari Banjarmasin, jangan sampai terlebih dulu dilakukan pihak lain, tentu akan memalukan, ungkap Mujib”
Karena itu kajian tentang dua tokoh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Zafry Zamzam ini bukan sekedar cerita pengantar tidur, ini merupakan upaya untuk belajar dari masa lalu yang oleh Ibn Khaldun disebut dengan Ibrah, yaitu menyeberang dari fakta kepada makna, dari kejadian kepada pelajaran moral yang bisa diambil dari kejadian itu. Meskipun menurut Mujib, kadang-kadang orang ketika menulis tentang tokoh itu bisa terjerumus pada dua jurang, yaitu pertama mengidealisasi masa lalu dimana seorang di masa lalu itu digambarkan sebagai tokoh yang hebat sekali tanpa cacat sedikti pun atau biasa dikenal sebagai manaqib (hagiografi), tentu hal tersebut berbeda dengan biografi yang mencoba menggambarkan secara apa adanya tidak hanya menonjolkan aspek-saspek yang dikagumi dari si tokoh. Kemudian yang kedua orang bisa juga mengkaji tokoh itu dengan mencaci maki tokoh tersebut. Hal tersebut karena orang membaca masa lalu dengan kacamata masa kini. “era Zafry Zamzam belum ada internet, belum ada laptop dan belum ada computer, jika diukur dengan zaman sekarang tentu karya beliau ini tidak telalu hebat, tetapi kalau kita membacanya pada konteks zaman itu tentu akan menjadi sangat luar biasa, jelasnya”
Guru Besar Sosiologi Agama itu juga menginformasikan bahwa akhir tahun 2018 ini UIN Antasari juga akan kembali meluncurkan dua karya penting, yaitu:
- Edisi revisi ulama banjar dari masa ke masa yg dulu pernah diterbitkan MUI Kalimantan Selatan;dan
- Al Qur’an Terjemahan Ke dalam Bahasa Banjar yang telah direvisi, karena pasca diluncurkan awal tahun lalu ternyata masih ada terdapat beberaa kesalahan pengetikkan
(rdh-humas)
