Etos Kerja ASN: Antara Harapan dan Kenyataan

Mujiburrahman

“Saya tidak akan berbicara seperti ini, andaikan saya bukan rektor di kampus ini,” kataku memulai pembicaraan pada Rabu pagi, 27 Desember 2023 lalu di depan para honorer/pramubakti dan dosen tetap non-PNS yang baru diangkat menjadi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Itu semacam “disclaimer” untuk menegaskan bahwa jika saya berbicara tentang disiplin, peraturan, dan etika kerja, maka semua itu semata karena tugas dan kewajiban saya sebagai pimpinan untuk mengingatkan bawahan, bukan karena saya menganggap diri lebih baik.

Masalahnya adalah, ada orang yang semula ketika menjadi pegawai honorer rajin bahkan rajin sekali bekerja, setelah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) berubah menjadi malas dan bertingkah, mungkin karena meniru atau bahkan ‘balas dendam’ terhadap perilaku sebagian senior PNS yang suka melimpahkan pekerjaan kepada honorer. Saya berharap mereka yang baru diangkat ini tidak demikian. Mereka seharusnya tetap rajin bahkan lebih rajin bekerja karena gaji dan tunjangan mereka jauh lebih tinggi dan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada mereka jauh lebih banyak dibanding yang diterima honorer.

****

Pada bulan-bulan awal saya menjadi rektor periode pertama (2017-2021), saya terkejut ketika mengetahui ada sopir honorer yang berani tidak menjemput atau mengantar atasannya. Saya bertanya pada beberapa orang, siapa sopir ini dan mengapa dia juga sering tidak masuk kantor? Ternyata dia adalah keluarga seorang pejabat. Rupanya sudah biasa pegawai honorer dimasukkan oleh ‘orang dalam’ alias berbasis nepotisme.

Kasus tersebut mendorong saya untuk mencari jalan keluar dengan berkonsultasi kepada beberapa orang. Akhirnya, saya memutuskan dua hal. Pertama, selama ini tidak ada kontrak kerja untuk honorer. Karena itu, kami membuat kontrak resmi yang memuat berbagai hak dan kewajiban mereka. Jika kewajiban utama dilanggar, kami langsung bisa memecat. Kedua, saya menerbitkan peraturan rektor tentang rekruitmen tenaga honorer/pramubakti agar lebih profesional, antara lain (1) kebutuhan tenaga honorer diusulkan oleh unit yang memerlukan disertai penjelasan tentang kelebihan beban kerja di unit itu sehingga membutuhkan tenaga tambahan; (2) kompetensi tenaga baru yang dibutuhkan. Setelah itu, rektor akan menelaah. Jika memang dibutuhkan tenaga baru itu, rektor menanyakan kepada bagian keuangan tentang kemampuan lembaga untuk menggaji; 3) jika semuanya sudah cocok, baru dibuka rekruitmen. Siapa pun boleh mendaftar, termasuk keluarga pegawai UIN, tetapi harus sesuai persyaratan.

Sambil dua kebijakan tersebut berjalan, saya melanjutkan dengan dua kebijakan lainnya. Pertama, saya mencoba menaikkan gaji honorer berdasarkan masa kerja, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarganya, kenaikan gaji secara berkala dan memberi tunjangan hari raya. Gaji pokok honorer yang semula sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta, saya naikkan menjadi Rp 1,5 juta hingga Rp 2,1 juta. Setelah ditambah berbagai tunjangan, ada yang sampai Rp 3 juta. Khusus untuk dosen tetap non-PNS, selain menaikkan gaji pokok ditambah masa kerja dan tunjangan keluarga (Rp 2 sampai Rp 3 juta), bagi yang memenuhi syarat juga diberikan tunjangan fungsional, dan kemudian juga diberi tunjangan sertifikasi. Dalam hal ini, UIN Antasari termasuk yang paling awal memberikan dua tunjangan tersebut, sementara UIN/IAIN lain belum melakukannya. Untuk bisa mendapatkan semua tunjangan itu, para dosen tetap non-PNS itu harus memiliki NIDN (Nomor Induk Dosen Negeri), padahal saat itu masih banyak yang belum memilikinya. Karena itu, kami usahakan agar semuanya memiliki NIDN, dan berhasil. Kedua, kami juga melakukan penyegaran dengan memindahkan para honorer dan dosen tetap non-PNS itu dari satu unit ke unit lain. Hal ini kami lakukan antara lain untuk menghindari kebosanan di satu sisi, dan persekongkolan di sisi lain.

Berbagai kebijakan di atas tentu menimbulkan reaksi-reaksi, positif dan negatif. Beberapa honorer yang tidak aktif, akhirnya kami pecat karena melanggar kontrak yang sudah dibuat. Ada pula yang dipanggil oleh atasannya dan diberi teguran, jika pelanggarannya masih pada tingkat ringan. Ada juga orang yang marah kepada rektor. “Saya sangat berjasa di UIN ini, kenapa anak saya tidak bisa masuk sebagai honorer?” katanya. “Ini bukan soal jasa, tetapi apakah UIN membutuhkan tenaga anak Anda atau tidak,” kata saya. Ada lagi dosen yang marah ketika terjadi pemindahan unit kerja para honorer itu, bahkan si dosen itu mengancam ingin pindah ke kampus lain. Rupanya konon salah satu honorer yang dipindah itu adalah orang yang sering diminta bantuan ini-itu oleh beliau yang marah tadi.

Ketika pemerintah membuat kebijakan baru, mau menghapuskan honorer dan mengangkat sebagian mereka menjadi PPPK, kami berusaha sekuat tenaga agar semua honorer, termasuk dosen tetap non-PNS, bisa mendapatkan formasi. Semula kami sangat gembira, formasi yang disediakan cukup banyak, yakni 264 orang. Kemudian berubah lagi menjadi 180 orang. Terakhir turun hingga anjlok menjadi 63 orang. Perubahan itu seringkali mendadak, sementara kami harus mengusulkan formasi yang diprioritaskan. Pernah saat saya berada di luar daerah, tiba-tiba ada perintah dari Jakarta untuk segera menentukan usulan baru. Saya bergegas pulang, melewati jalur laut sampai terkena flu berat, untuk rapat bersama para kepala biro dan kepegawaian demi mengusahakan yang terbaik untuk para honorer itu.

Demikian pula, ketika tes PPPK dilaksanakan, segala persiapan dilakukan oleh kawan-kawan kepegawaian, dan berbagai arahan diberikan dengan harapan semua bisa lulus. Ternyata, pada putaran pertama masih banyak yang gagal, hanya 26 orang yang lulus. Karena kasus serupa terjadi secara nasional, banyak saran yang disampaikan ke pusat agar mereka yang tidak lulus diberi pertimbangan yang meringankan, mengingat pengabdian mereka yang sudah cukup lama. Saya juga membiayai perwakilan dosen tetap non-PNS yang berangkat ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasi kawan-kawannya terkait kelulusan ini. Akhirnya setelah berbagai negosiasi, terutama yang dilakukan oleh Menteri Agama, kebijakan baru dikeluarkan sehingga banyak yang bisa diluluskan. Total yang lulus PPPK di UIN Antasari hingga Desember 2023 adalah 56 orang.

****

Proses panjang tersebut kiranya menjadi bahan ingatan agar semua PPPK yang baru diangkat dapat membuka hatinya untuk bersyukur, berterima kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia. “Siapa yang bangun di pagi hari dalam keadaan aman, badannya sehat, dan ada makanan baginya di hari itu, maka seolah dia telah mendapatkan dunia dengan segala isinya,” kata Nabi. Itu artinya, jika seseorang bersyukur dengan apa yang diberikan Allah, hatinya akan puas dan bahagia. Padahal, hadis ini hanya menyebutkan ‘makanan untuk hari itu’, bukan jaminan gaji perbulan seperti PPPK. Jangan sampai yang terjadi sebaliknya, sudah lulus PPPK tetapi tetap mengeluh. “Ah, masih lebih untung jadi PNS,” katanya. Lalu, kapan bersyukurnya? Padahal, syukur itu adalah kebijaksanaan hidup yang amat penting, seperti diceritakan bahwa syukur adalah hikmah/kebijaksanaan pertama yang dianugerahkan Allah kepada Luqman (QS 31:12). Di sisi lain, Alqur’an juga mengingatkan bahwa “Sedikit di antara hamba-hambaku itu yang bersyukur” (QS 34:13).

Bersyukur juga berarti berterimakasih kepada sesama manusia. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa PPPK yang lulus harus memberi hadiah kepada rektor, kepala biro atau bagian kepegawaian. Rasa syukur itu diwujudkan dalam bentuk kinerja yang lebih baik. Yang semula rajin, tambah rajin. Bukan malah sebaliknya. Pemerintah sudah berusaha membuat berbagai peraturan agar ASN itu disiplin dalam bekerja. Misalnya, ada peraturan tentang mengisi daftar hadir setiap hari. Dulu dibuat secara manual dengan tanda tangan. Karena yang manual itu bisa dirapel, maka dialihkan menjadi presensi dengan sidik jari. Rupanya sidik jari pun masih bisa meminjam jari orang lain, sehingga dialihkan lagi menjadi pemindaian wajah. Ketika presensi dialihkan ke Pusaka secara daring (online), yang menggunakan sistem lokasi, banyak pula yang mengakali dengan aplikasi yang bisa mengacak lokasi. Padahal, presensi itu hanya bukti formal belaka dari kinerja seorang ASN. Sebenarnya percuma saja jika bukti kehadiran elektronik itu lengkap, tetapi saat jam kerja seseorang justru tidak bekerja.

Salah satu kesesatan pikiran manusia di zaman modern ini adalah menganggap kerja sebagai suatu keburukan yang tak terhindarkan. Orang bekerja lebih karena terpaksa ketimbang sukarela dan lapang dada. Karena itu, jika ada peluang untuk bersantai-santai, maka pasti akan diambil. Misalnya, ketika jam kerja sudah habis, buru-buru ingin pulang, meskipun ada pekerjaan yang perlu segera dituntaskan. Ketika ada tugas dinas luar, jika diberi jatah tiga hari, pasti akan diambil tiga hari, meskipun ternyata kegiatan sudah selesai dalam dua hari. Yang parah adalah perilaku mengakal-akali bagaimana agar tidak bekerja. Ada yang rajin mengisi daftar hadir, tetapi kerjanya kosong. Ada yang ketika di kantor kerjanya cuma menggosip atau sibuk sendiri dengan ponsel. Ada lagi yang sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang tak ada hubungannya dengan tugasnya sebagai ASN.

Pandangan yang menganggap kerja sebagai keburukan yang tak terhindarkan itu sangat bertolak belakang dengan pandangan Islam yang melihat kerja sebagai panggilan dan makna hidup. Kerja adalah panggilan hidup karena tubuh kita diciptakan Tuhan untuk bisa bergerak dan bekerja. Begitu pula akal dan pikiran kita. Orang yang tak bekerja adalah seperti mayat hidup karena tubuh dan pikirannya tidak berfungsi/difungsikan. Hidup adalah untuk bekerja, dan bekerja untuk hidup. Jika Rene Descartes mengatakan, “Aku berpikir, maka aku ada,” kita juga bisa mengatakan, “Aku bekerja, maka aku ada”. Kerja akan memberi makna bagi hidup kita. Seorang psikolog humanis yang pernah mendekam di kamp konsentrasi Nazi, Viktor Frankl mengatakan, orang yang mampu bertahan hidup dalam menghadapi kesusahan adalah orang yang memiliki tujuan hidup yang jelas, dan berjuang untuk mencapainya. Ketika kita mengerjakan sesuatu untuk satu tujuan, maka kita yakin kita tengah mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, tidak sia-sia. Inilah yang disebut hidup yang bermakna.

Dalam Islam, pekerjaan yang mendatangkan manfaat itu disebut ‘amal saleh’, perbuatan baik. Baik di sini dalam arti baik kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Untuk memastikan bahwa pekerjaan itu baik, pertama-tama harus dimulai dengan niat yang benar. Apa niat kita dalam bekerja? Tentu kita bekerja untuk mendapatkan upah dalam rangka memenuhi kebutuhan diri kita dan keluarga kita. Secara teoritis, kita berhak mendapatkan upah jika kita mengerjakan sesuatu yang bermanfaat. Sebagai ASN, sesuatu yang bermanfaat itu sudah jelas dituangkan dalam tugas pokok dan fungsi yang harus kita kerjakan. Jika kita tidak bekerja dengan baik, maka kita tidak berhak mendapatkan upah. Jika pun kita menerima upah, maka upah itu haram, minimal syubhat. Yang haram dan syubhat itu tidak hanya dosa, tetapi juga mendatangkan petaka bagi hidup kita.

Masalahnya, haram membawa petaka, dan halal membawa berkah, adalah masalah yang sifatnya gaib, tak terlihat langsung oleh mata. Jadi ini termasuk iman kepada yang gaib, yang oleh Alqur’an disebut sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa (QS 2:4). Berkah artinya kebaikan yang bertambah-tambah. Satu kebaikan bisa menjadi sepuluh, seratus hingga tujuh ratus kebaikan. Misalnya, karena rezeki yang kita dapatkan itu halal, maka badan kita sehat, anak-anak kita pintar dan tidak nakal, rumah tangga kita rukun, uang kita tidak cepat habis sia-sia. Sebaliknya, harta yang haram akan membuat kita selalu merasa kekurangan, cepat habis dan sia-sia. Kadang-kadang anak kita nakal, keluarga kita sakit, bahkan rumah tangga kita berantakan. Ini jika Tuhan masih sayang kepada kita, ingin mengurangi dosa-dosa kita, dan menyadarkan kita. Jika tidak, maka kehancuran itu terjadi menjelang kita wafat, saat kita sudah tak lagi sempat bertobat.

Jika kita menyadari semua ini, maka kita akan terhindar dari sikap kekanak-kanakan seperti iri kepada teman yang malas atau yang tidak jujur. “Itu dia malas, sering bolos dan dibiarkan saja, sementara kita ditegur,” katanya. Seorang dosen iri kepada dosen lain yang gampang naik pangkat dengan cara ‘membeli’ karya ilmiah orang lain. Iri pada orang yang berbuat salah adalah kekanak-kanakan karena bagi orang dewasa, dia melakukan sesuatu yang baik adalah karena sesuatu itu memang diyakininya baik. Secara filosofis, manusia itu pada hakikatnya baik dan karena itu suka kepada yang baik. Menolak yang baik sama dengan menolak fitrah kita sebagai manusia sehingga menimbulkan penderitaan. Ini sebabnya, para pemikir sepanjang masa meyakini bahwa kebaikan itu identik dengan kebahagiaan. Hanya orang baik yang benar-benar bisa bahagia. Orang yang culas, jika pun tampak sukses, hanya bahagia palsu, di permukaan saja. Alqur’an sendiri menjamin bahwa siapapun yang beriman dan berbuat baik, pasti akan mendapatkan hidup yang bahagia (QS 16:97).

Selain kurangnya iman kepada adanya berkah, banyak ASN yang malas bekerja adalah akibat terjerumus kepada pola hidup konsumtif dan mewah. Dalam budaya masyarakat kapitalis-materialis saat ini, orang memang didorong terus untuk memiliki dan memakai sebanyak-banyaknya, tak peduli berguna atau tidak. Orang sudah semakin sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Seolah semua adalah kebutuhan. Orang meletakkan nilai dirinya pada benda-benda yang dia miliki. Dia merasa berharga dan hebat jika memiliki ponsel dan mobil yang mewah. Karena itu, ketika ada kawannya yang baru membeli mobil atau ponsel, dia panas, ingin juga memilikinya. Dia tidak sabar, lalu  berhutang di bank. Bank memang suka menawarkan ‘pembiayaan’ kepada ASN karena pembayarannya bisa dipotong langsung dari gaji setiap bulan. Ketika nafsu lebih besar dari tenaga, keinginan lebih besar dari kemampuan, pasak lebih besar dari tiang, maka gaji yang tersisa sangat sedikit karena habis untuk membayar kredit. Akibatnya, dia akan malas bekerja, dan selalu mencari-cari cara mendapatkan uang tambahan, tak peduli lagi halal atau haram.

Tak disangkal, lingkungan memang turut memengaruhi pandangan seseorang, terutama bagi yang belum dewasa dan matang pikirannya. Jika di lingkungan kerja kita orang-orang suka berbincang soal harta dan jabatan melulu, maka kita pun bisa ikut terpengaruh. Di kampus, di mana orang-orang terpelajar bekerja menyebarkan dan mengembangkan ilmu, seharusnya yang sering dibincangkan bukan uang, tetapi ilmu dan kebijaksanaan hidup. Tampaknya, kita masih belum begitu. Pada tahun 2000 silam, ketika saya baru pulang S-2 dari Kanada, saya memakai sepeda motor butut merk Yamaha Excellent, kepunyaan ayah saya. Saat itu ada teman yang bilang, “Buat apa jauh-jauh sekolah ke luar negeri kalau pulangnya kena panas dan hujan juga.” Ada lagi yang bilang, “Kalau sepeda motor jelek begini, maling saja tidak ada yang tertarik.” Saya sendiri hanya tertawa, tak terpengaruh sedikit pun. Bagi saya, lebih baik hidup sederhana daripada gaya-gayaan tetapi banyak hutang.

Kebanyakan dari kita memang berasal dari keluarga sederhana atau miskin. Seharusnya, kita tahan dengan gaya hidup sederhana itu karena kita sudah terbiasa. Namun, ada pula orang yang ingin balas dendam. Dulu sudah susah, sekarang harus mewah! Ada lagi yang karena terbiasa bekerja keras, semua kesempatan dan peluang diambil. Berbagai pekerjaan di luar kampus asalkan mendatangkan duit, diambil terus. Akibatnya, dia sangat sibuk dan sering hilang dari kampus. Lambat laun, tugas-tugas utama di kampus ditinggalkan demi mengerjakan tugas lain di luar. Yang wajib ditinggalkan, yang sunnat dikerjakan. Kegiatan di kampus dengan gampang ditinggalkan karena dianggap tanpa kerja pun gaji akan terus masuk. Seolah gaji tanpa kerja itu halal. Seolah di balik hak tak ada kewajiban.

Padahal, ambisi membabi buta mencari harta itulah akar penderitaan hidup manusia. Ketika saya kuliah di Kanada, ada satu kelas tentang Budhisme yang diikuti oleh sekitar 700 mahasiswa S-1, di McGill University. Prof. Richard Hayes yang mengajar di kelas itu sampai dibantu tujuh atau sepuluh orang asisten. Mengapa anak-anak muda itu tertarik pada Budhisme? Salah satunya adalah karena Budha mengingatkan bahwa hidup ini penderitaan akibat keinginan. Semakin banyak keinginan, semakin sulit mewujudkan keinginan itu sehingga kita menderita. Karena nafsu serakah, gaji dan keinginan itu seperti orang naik pohon. Semakin tinggi naiknya, semakin banyak yang dilihat, semakin bertambah pula keinginannya sehingga tidak pernah puas dan bahagia.

Islam mengajarkan agar kita hidup qanâ’ah, merasa cukup dengan apa yang ada. Lebih baik lagi jika kita bisa wara’, menjaga diri dari yang syubhat, apalagi yang haram. Lebih tinggi lagi adalah zuhud: kita tidak hanya menahan diri dari yang haram dan syubhat, tetapi juga dari berlebihan menggunakan yang halal. Kita hidup sederhana secara sukarela, bukan terpaksa. Semua ajaran agama ini tampak sulit, tetapi sesungguhnya inilah kunci bahagia. Orang yang kaya adalah orang yang dapat memenuhi semua kebutuhannya. Jika kebutuhan kita sedikit, maka tentu kita lebih mudah untuk memenuhinya.

Ketika saya tamat dari pesantren dan ingin melanjutkan kuliah di IAIN Antasari, saya bertanya kepada ayah saya, fakultas apa yang harus saya pilih? Ayah dengan tegas mengatakan agar saya memilih Fakultas Ushuluddin. “Di situ kamu akan belajar secara medalam tentang makna hidup,” katanya. Terbukti, salah satu yang menginspirasi saya tentang makna hidup ini adalah buku karya Huston Smith berjudul The Religions of Man yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Agama-Agama Manusia. Pada bab tentang agama Hindu, Smith menjelaskan bahwa dalam Hinduisme orang boleh mengejar apa saja sampai mentok hingga menemukan kebenaran. Pertama, orang mengejar kesenangan jasmaniah: makan, minum, pakaian, dan seks. Manusia memang bisa menikmati kesenangan ini, tetapi sangat terbatas, baik jumlah atau durasinya. Karena itu, dia ingin sesuatu yang lebih langgeng. Dia ingin sukses. Sukses itu mencakup kekayaan, kekuasaan dan ketenaran. Manusia bergumul tiap hari untuk mendapatkan sukses. Namun, sukses selalu diraih melalui kompetisi. Dia mengalahkan atau dikalahkan. Inilah yang membuat sukses rentan dan bisa membawa kepada penderitaan. Ketiga, dia tidak lagi mengejar sukses, tetapi ingin hidup bermanfaat, berbuat baik pada kehidupan. Inilah tingkat yang tertinggi. Orang bekerja dengan cinta, yaitu cinta akan kebaikan. Namun, di sini orang juga akan merasa lemah karena keterbatasan dirinya dari segi ilmu, kekuatan, ruang dan waktu. Akhirnya, agar hatinya damai, manusia harus pasrah kepada Dia Yang Tak Terbatas.

Saya kira, apa yang dikemukakan Smith di atas perihal filsafat Hinduisme sejalan dengan nilai-nilai Islam seperti: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan,” (QS 7:31); “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah” (QS 64:15); “Harapkanlah dari apa yang diberikan Allah kepadamu akan negeri akhirat (kehidupan jangka panjang), tetapi jangan kau lupakan jatahmu di dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi” (QS 28:77); “Allah akan menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya,” kata Nabi. Allah juga berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang kau cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (QS 28:56).

****

Ketika saya menyampaikan pesan-pesan di atas secara lisan, saya merasa bahagia menyaksikan mayoritas hadirin bersedia menyimak dan mendengarkan. Siapa tahu ada hati yang tersentuh dan pikiran yang terpengaruh. Namun, harus saya akui pula, saat saya berbicara, sebagian kecil orang bukannya memerhatikan, melainkan ngobrol dengan yang lain (dan sempat saya tegur). Saya juga melihat, sebagian hadirin ada yang sibuk mengelus-ngelus ponsel saja. Saya ragu, apakah mereka menyimak pembicaraan saya ataukah tidak.

Sejak awal, saya merasakan firasat itu. Karena itu, saya melakukan “disclaimer” terlebih dahulu. Saya beri tanda petik di sini karena arti kata disclaimer adalah pernyataan untuk mencegah pemahaman yang salah tentang sesuatu atau membatasi tanggungjawab terhadap informasi yang disampaikan. Saya menyampaikan semua ini justru karena ada tanggungjawab yang saya pikul sebagai rektor. Saya wajib menyampaikan. Perkara orang mau mendengarkan dan mengamalkan atau tidak, itu tanggung jawab masing-masing.

Kenyataan di lapangan memang selalu ada orang yang taat dan disiplin, dan ada pula yang tidak. Ada yang bisa dinasihati, dan ada pula yang bandel. Karena itu, nasihat tidak akan pernah cukup. Sanksi bagi yang melanggar, dan penghargaan bagi yang taat, perlu diterapkan. Tanpa sanksi, orang akan semena-mena. Masalahnya, kadang orang segan menjatuhkan sanksi kepada bawahannya. Mungkin karena ingin ‘main aman’, berharap disukai semua orang. Kalau bisa, semua keputusan dilempar kepada atasan tertinggi. Padahal, yang bertanggungjawab membina adalah atasan langsung. Itu sebabnya, saya kemarin juga mengundang para pejabat untuk turut hadir dalam acara pengarahan tersebut. Harapan saya, selain harus menunjukkan keteladanan dalam bekerja, para pejabat itu akan memerhatikan kinerja bawahannya.

‘Alâ kulli hâl, apa yang baik dan bermanfaat, tetaplah baik dan bermanfaat, dari mana pun asalnya. Sebaliknya, apa yang buruk tetaplah buruk, meskipun dipoles dengan berbagai keindahan. Karena itu, saya tetap bersemangat menulis artikel ini. Jika ada kebaikan di dalamnya, maka semua itu dari Allah. Jika ada kekurangan dan kesalahan di dalamnya, itu karena diri saya sebagai manusia yang tidak sempurna. Waktu akan terus berlalu bersama usia kita. Kelak, cepat atau lambat, yang hak dan batil pasti akan menunjukkan diri dalam pengalaman hidup kita.

Wallâhua’lam.