Catatan Kecil Untuk Rancangan RPJP 2025-2045

Pada Selasa, 7 Juni 2023 lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, mengundang 20 rektor se-Indonesia, termasuk Rektor UIN Antasari, untuk hadir dalam acara ‘Rektor Berbicara untuk Indonesia Emas 2045’ di Gedung Bappenas Jakarta. Berikut adalah tulisan yang ringkasannya telah disampaikan secara lisan pada acara tersebut.

CATATAN KECIL UNTUK RANCANGAN RPJP 2025-2045

Oleh : Mujiburrahman

Saya sungguh terkesan dengan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025-2045 yang telah dibuat Bappenas ini, terutama dari segi sistematikanya dan penyajiannya yang sederhana dan mudah diikuti, berupa infografis yang jelas dan terukur. Karena rancangan ini mencakup semua aspek pembangunan, maka saya tidak mungkin menanggapi semuanya. Saya bukan ahli ekonomi, kesehatan atau teknologi, yang banyak diungkap dalam rancangan ini. Karena itu, saya hanya akan mengomentari rancangan ini sebagai sumbang saran dari sudut pandang saya yang terbatas sebagai orang Kalimantan yang dalam banyak hal masih ketinggalan dalam pembangunan nasional, dan sebagai akademisi bidang ilmu keislaman dan sosial.

Sebagai “orangutan”, saya sangat tersanjung diundang untuk hadir dan berbicara di hadapan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional bersama orang-orang yang sangat terpelajar, yakni para rektor universitas-universitas top di Indonesia. Saya bahagia mengetahui bahwa rancangan ini sangat memerhatikan masalah kesenjangan di Indonesia, terutama antara Jawa dan Luar Jawa. Masalah kesenjangan harus diatasi dengan mewujudkan pemerataan. Sebagai warga Kalimantan, kami sangat senang bahwa Ibu Kota Nusantara (IKN) tengah dibangun di Kalimantan Timur, yang merupakan provinsi tetangga kami. Bolehlah kami di Kalimantan Selatan berharap menjadi wilayah penyangga IKN. Dalam rancangan ini, antara lain disebutkan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, perlu dilakukan: pembangunan dan pengembangan IKN bersama daerah mitra sebagai superhub ekonomi; pengembangan pusat-pusat industri, pelabuhan-pelabuhan, bandara-bandara, jalan tol, jalan trans-Kalimantan, transportasi sungai serta sistem transportasi perkotaan dan angkutan umum (hal. 62). Semua ini bagus sekali, namun ada satu yang tidak disebutkan dan sudah lama menjadi impian warga Kalimantan: transportasi kereta api lintas Kalimantan. Jika semua ini bisa diwujudkan, tentulah Kalimantan akan sangat jauh berubah dan maju di masa depan.

Di sisi lain, ada dua catatan saya untuk masalah pemerataan pembangunan ini. Pertama, pemerintah harus benar-benar melakukan usaha pemerataan tersebut melalui kebijakan afirmatif, mengangkat yang lemah dan tertinggal. Jangan sampai dibiarkan begitu saja warga yang SDM-nya lemah dan tertinggal untuk bersaing dengan warga luar yang sudah lebih maju dan kuat. Ini akan mengakibatkan kesenjangan tetap bertahan. Pengalaman kami selama ini adalah, seringkali pemerintah memberikan bantuan anggaran dengan syarat-syarat yang sama untuk semua daerah, sehingga otomatis yang kuat dan lebih majulah yang dapat. Jika kebijakan afirmatif tidak dilakukan, maka pemerataan dan keadilan akan terus menjadi retorika politik yang kosong tanpa wujud dalam kenyataan. Jika warga lokal tidak diberi kebijakan afirmatif dalam penguatan ilmu, keterampilan dan kompetensi, maka mereka kelak hanya akan bisa menjadi penonton belaka.

Kedua, pemindahan IKN ke Kalimantan Timur kiranya bukan memindahkan Jakarta dalam arti menciptakan Jakarta baru sebagai Batavia baru. Kita tahu bahwa di zaman kolonial, Batavia adalah pusat segala-galanya: politik, ekonomi dan budaya. Semua dikendalikan secara sentralistik. Selama ini, Jakarta kurang lebih berlaku seperti Batavia. Paling tidak, begitulah penilaian Romo Mangunwijaya ketika beliau mengkritik rezim sentralistik Orde Baru. Karena itu pula, ketika Orde Baru tumbang, beliau dan juga Amien Rais, pernah mengusulkan agar kita membentuk Republik Indonesia Serikat. Namun, keputusan kita setelah Reformasi bukan menjadi Negara Serikat, melainkan membentuk otonomi daerah hingga otonomi khusus. Setelah berjalan cukup lama, otonomi daerah ini pun belum sepenuhnya berhasil mewujudkan pemerataan. Kita tentu wajib mengevaluasi apa saja hambatannya selama ini. Namun, semangat di balik kebijakan itu tidak boleh sirna, yaitu keinginan mewujudkan pemerataan. Karena itu, IKN jangan sampai menjadi another Jakarta atau another Batavia. IKN harus menjadi pusat distribusi kesejahteraan yang adil-merata bagi seluruh Indonesia.

Selain sebagai orang Kalimantan, saya bekerja sebagai rektor dan akademisi di UIN Antasari, yang antara lain mengkaji ilmu-ilmu keislaman dan sosial. Saya perhatikan rancangan ini, di mana letak pembangunan di bidang agama. Secara khusus ternyata tidak ada. Rupanya pembangunan bidang agama dimasukkan dalam bidang sosial budaya. Di rancangan ini disebutkan bahwa pembangunan sosial budaya diarahkan kepada “agama yang bermaslahat dan berkebudayaan maju” yang mencakup: (1) kehidupan beragama yang inklusif, rukun, toleran dan demokratis; (2) pengembangan dana sosial keagamaan umat dan filantropi serta pemberdayaan umat beragama; (3) pembinaan ideologi bangsa dan penguatan karakter dan identitas bangsa; (4) peningkatan budaya literasi, kreativitas dan inovasi (hal. 52).

Dalam gambaran poin-poin di atas, masalah ‘karakter’ hanya disinggung selintas, dan tidak secara eksplisit dihubungkan dengan agama, melainkan dengan Pancasila. Selama ini memang upaya pemerintah lebih banyak dicurahkan kepada masalah integrasi perspektif agama dan kebangsaan, dan penciptaan kerukunan umat beragama. Pada beberapa tahun terakhir hingga sekarang, pemerintah banyak menggulirkan wacana tentang ‘moderasi beragama’. Semuanya lebih berorientasi kepada pencegahan konflik atas nama agama, yang memang sangat penting dalam menjaga persatuan nasional. Harus diakui bahwa sejarah bangsa kita pernah mengalami guncangan akibat konflik politik berwarna agama, baik berupa pemberontakan ataupun konflik horizontal di masyarakat. Selain itu ada pula gerakan-gerakan radikal dan terorisme trans-nasional yang membikin kekacauan di Indonesia. Karena itu wajar jika pemerintah memberikan perhatian lebih pada masalah kerukunan dan moderasi beragama ini.

Namun, jika kita memerhatikan berbagai masalah yang selalu dihadapi bangsa ini, kita sangat membutuhkan sesuatu yang lebih esensial dari agama, yaitu kekuatan moral dan spiritual. Rancangan RPJP ini menyebutkan bahwa korupsi masih merajalela, demokrasi kita tidak sehat karena maraknya politik uang, aparat penegak hukum tidak berintegritas, tindak kekerasan juga sering terjadi, termasuk pada anak-anak dan perempuan. Semua ini mengingatkan kita pada lemahnya karakter bangsa kita. Pada awal 1970-an, Koentjaraningrat mengatakan ada lima kelemahan mentalitas bangsa Indonesia yang dapat menghambat pembangunan, yaitu (1) meremehkan mutu; (2) suka menerabas; (3) tidak percaya pada diri sendiri; (4) tidak berdisiplin murni; (5) tidak bertanggungjawab. Tidak terlalu jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, pada 1977, Mochtar Lubis menyebutkan beberapa karakter manusia Indonesia yang hampir semua negatif yaitu (1) hipokrit alias munafik; (2) enggan bertanggungjawab; (3) berjiwa feodal; (4) percaya takhyul; (5) berjiwa seni, artistik. Yang terakhir ini sajalah yang bagi Mochtar Lubis dianggap positif.

Setelah lebih kurang empat dasawarsa berlalu, tentu sudah banyak terjadi perubahan dalam masyarakat Indonesia. Sebagian sifat-sifat buruk itu sudah ditinggalkan oleh sebagian (besar atau kecil?) bangsa kita. Namun sulit kiranya kita menegaskan bahwa semua sifat-sifat buruk itu sudah kalah dan terpingirkan dalam perilaku masyarakat kita. Kita bahkan mungkin merasa sebaliknya. Sifat-sifat buruk itu masih tampak kuat dalam perilaku masyarakat kita, belum betul-betul terkalahkan oleh upaya-upaya yang melawan mereka. Karena itu, pembangunan karakter tidak cukup hanya sebagai “sisipan” kecil belaka dalam RPJP kita, jika kita ingin mencapai Indonesia Emas 2045. Pembangunan karakter harus menjadi prioritas. Dulu pemerintahan Presiden Joko Widodo pernah mencanangkan gagasan tentang ‘revolusi mental’, tetapi pelan-pelan gagasan ini seperti hilang entah kemana.

Saya berpendapat bahwa basis pembangunan karakter yang kokoh adalah nilai-nilai agama, yang kita yakini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Karena itu, kebijakan negara terkait agama tidak cukup hanya menekankan masalah moderasi dan kerukunan, melainkan juga basis etis dalam kebudayaan kita. Meminjam yang pernah diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, agama berfungsi sebagai legitimasi sekaligus orientasi bagi pembangunan bangsa. Dalam masyarakat Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, legitimasi agama sangat diperlukan jika pembangunan ingin berjalan lancar. Contoh paling terbaru mungkin adalah masalah penanganan Covid-19. Dukungan para agamawan memberikan legitimasi atas berbagai kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19 sangatlah membantu. Begitu pula masalah perkawinan usia dini, stunting, hingga keluarga berencana. Harus diakui bahwa agama memiliki potensi untuk ditafsirkan secara berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Karena itu, agama yang melegitimasi program pembangunan adalah agama dengan penafsiran progresif, yang kiranya perlu diberikan dukungan oleh pemerintah.

Di sisi lain, agama tentu tidak boleh hanya memberikan legitimasi belaka, sebagai tukang stempel apapun kebijakan pembangunan dari pemerintah. Agama juga harus memberikan orientasi etis dan moral, mengarahkan pembangunan agar sesuai dengan kemaslahatan manusia, lahir dan batin. Di sinilah fungsi agama sebagai sumber nilai-nilai yang membentuk karakter manusia. Kita berharap, pembinaan keagamaan, baik yang diberikan melalui jalur pendidikan formal ataupun informal, dapat berkontribusi bagi pembentukan karakter manusia Indonesia yang jujur, berdisiplin, bertangunggungjawab, adil, tidak serakah dan seterusnya. Penekanan pendidikan keagamaan harus kepada pembentukan budi pekerti yang luhur, bukan sekadar hafalan atas doktrin-doktrin agama belaka. Pembangunan bidang keagamaan sudah selayaknya diarahkan membentuk pribadi manusia yang berbudi luhur, berakhlak mulia.

Alhasil, jika pembangunan IKN benar-benar ingin mewujudkan Indonesia yang adil-merata, maka kita tidak boleh kembali membangun kesenjangan baru seolah-olah IKN hanyalah Jakarta Baru. Pemerataan harus diwujudkan dengan kebijakan afirmatif yang benar-benar mengangkat mereka yang lemah agar dapat setara dengan yang sudah kuat. Begitu pula, jika pembangunan segala bidang yang dicanangkan di RPJP ini tidak ditopang oleh karakter manusia yang baik, berbudi yang luhur, berakhlak yang mulia, maka semuanya akan hancur belaka. Kata orang, your character is your destiny. Nasib bangsa kita akan tergantung pada karakter warganya.