Antara Dakwah Konvensional Dan Dakwah Media Daring

Oleh: Muhammad Arif Billah*

Beberapa waktu yang lalu, saya menyempatkan diri untuk ikut mendengarkan kuliah subuh ramadhan di mesjid lingkungan tempat  tinggal saya. Kuliah subuh merupakan program harian selama bulan ramadhan di mesjid tersebut, yang mana seusai shalat subuh para jama’ah duduk berkumpul dan mendengarkan tausyiah agama yang dibawakan oleh seorang Ustaz, atau orang yang mumpuni di bidang agama Islam. Namun saya cukup heran mendapati bahwa jama’ah yang mendengarkan tausyiah tidak banyak yang seumuran dengan saya, tetapi jama’ah yang hadir rata-rata didominasi oleh orang dewasa dengan kisaran usia 30 tahun ke atas.

Tentu saja fenomena serupa yang saya rasakan, jama’ah yang datang ke majelis ilmu didominasi oleh  orang yang sudah “berumur” tidak hanya terjadi pada tempat tersebut. Saya merasa, bahwa para pemuda atau yang zaman sekarang akrab dengan julukan “generasi milenial” sedikit demi sedikit mulai meninggalkan dakwah konvensional. Fenomena ini terjadi karena  perkembangan teknologi informasi  begitu cepat. Perkembangan yang terlampau cepat ini bahkan memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi tanpa ada batasan ruang dan waktu. Arus penyebaran informasi yang bergerak dengan begitu signifikan ini tentu menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam pola hidup masyarakat seiring dengan teknologi informasi yang terus berkembang dengan sangat pesat, salah satunya yaitu kemunculan media sosial.

Media sosial adalah suatu fitur dalam bentuk website yang memungkinkan seseorang saling berinteraksi satu sama lain dalam suatu komunitas. Di era modern ini, media sosial mulai menjadi suatu hal yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Bahkan lambat laun ia mulai masuk ke berbagai sektor kehidupan, seperti dalam hal pendidikan, perdagangan, jasa, dan lain-lain. Masyarakat mulai berlomba-lomba dalam menyerap kemanfaatan dari media sosial sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Tak terkecuali dalam sektor penyebaran ajaran agama Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah dakwah.

            Dakwah dengan memanfaatkan media sosial memang merupakan gaya dakwah baru yang sedang “naik daun” dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan, bisa dibilang bahwa media sosial adalah solusi yang paling tepat bagi berbagai permasalahan dakwah di era modern ini. Selain cakupan area persebarannya yang sangat luas, media sosial juga menawarkan berbagai kemudahan dalam kegiatan amar ma’ruf nahi munkar ini, baik bagi para da’i (orang yang berdakwah) maupun bagi para mad’u (orang yang menerima dakwah).

Generasi milenial sebagai generasi yang memang terkenal menggandrungi sesuatu yang instan dan mudah, tentu memandang bahwa media sosial adalah pilihan yang sangat tepat untuk memperoleh maupun berbagi berbagai informasi, salah satunya informasi keagamaan. Sehingga tidak heran, jika sedikit demi sedikit mereka yang menyebut diri mereka sebagai generasi milenial tersebut mulai meninggalkan dakwah konvensional.

Meski tidak memiliki kemudahan dan cakupan seluas yang dimiliki oleh dakwah berbasis media daring, Dakwah konvensional atau dakwah secara tatap muka juga memiliki beberapa hal yang membuatnya tidak dapat tergantikan dan tidak boleh ditinggalkan. Seperti halnya apa yang diutarakan oleh Ustaz Erick Yusuf yang terkenal lewat kampanye ‘dakwah kreatif’ yang saya kutip dari situs kumparan.com, “orang-orang yang datang ke majelis punya ikatan batin yang kuat dan itu yang membedakan dengan dakwah secara online. Mereka sudah ada niat untuk datang ke majelis dan mendengarkan ceramah atau sense  untuk menerima ilmu sudah terbuka dengan adanya niat. Orang-orang yang bersinergi dengan pendakwah, yang ceramah pun bisa melihat apakah materinya bisa diterima atau tidak dari gerak-gerik mereka, misalnya pendakwah memberikan materi yang susah maka audiensnya diam saja karena mungkit sulit menerima itu,” paparnya.

Selain yang dijabarkan oleh Ustaz Erick Yusuf di atas, dakwah secara tatap muka juga memungkinkan penyampaian materi yang lebih rinci dan mendalam. Berbeda dengan dakwah menggunakan media daring yang dalam penyampaian materi yang digunakan dituntut untuk lebih bersifat umum karena mad’u yang ingin dicapai sangat heterogen, baik dari segi latar belakang pendidikan maupun adat atau budaya mereka.

Berasarkan pemaparan di atas, maka saya menyimpulkan, kedua jenis dakwah, baik itu dakwah secara tatap muka maupun dakwah melalui media daring memiliki porsinya masing-masing. Karenanya perlu adanya kolaborasi antara kedua metode tersebut agar dapat meningkatkan efektivitas dakwah.

*Profil Penulis

Muhammad Arif Billah, atau sering disapa teman-temannya dengan nama Arif. Ia lahir di Banjarmasin pada 22 Februari 1999. Arif merupakan anak ke-dua dari tiga bersaudara. Ketika berumur 5 tahun, dia memulai pendidikan di SDN Kelayan Timur 8, kemudian setelah lulus dia melanjutkan pendidikan di MTsN Banjar Selatan 2 hingga tahun 2013, kemudian melanjutkan studi di MAN 2 Model Banjarmasin.

Arif menyukai desain grafis. Kecintaannya tersebut tumbuh ketika ia berada di bangku Sekolah Menengah. Saat itu ia pertama kali menyentuh benda yang bernama komputer. Ketika ia mendapatkan komputer pertamanya ia sering mengisi waktu senggang dengan bermain-main dengan Power Point dan Paint, juga kadang sesekali bermain pinball dan solitaire. Pada waktu yang sama, ia juga mulai mencoba untuk menaruh minat pada bidang kepenulisan dengan mengetikkan puisi-puisi sederhana dan beberapa cerpen.

Sekarang Arif tinggal di kota Banjarmasin dan menempuh pendidikan di kota yang sama, tepatnya pada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi di sebuah perguruan tinggi yang bernama UIN Antasari dengan mengambil program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Selama kuliah di UIN Antasari, ia pernah aktif di beberapa organisasi, yaitu sebagai kader UKM Antasari Cendekia, layouter LPM Panda periode 2016-2017 dan 2017-2018, Pimpinan Umum LPM Panda periode 2018-2019, serta Koordinator divisi Humas dan Informasi periode 2018-2019 pada Himpunan Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Antasari.