Allah….Jauh atau Dekat?

Oleh: Muhammad Rusydi*

“Subhānallāh wal Ḥamdulillāh …”, dengan penuh khusyuk dan mata yang terlihat basah karena air mata guruku menutup pengajiannya tentang konsep tanzīh (keagungan) dan tasybīh (kedekatan) Allah versi Ibn Arabi.

Malam itu memang terasa sangat spesial untukku, karena selain aku baru ikut pengajian yang diadakan pada jam satu malam hingga jam dua dini hari itu, aku juga seperti mendapatkan pencerahan baru tentang Allah. Hatiku terasa tenang. Meskipun demikian, ada sedikit rasa khawatir mengganjal dalam hatiku. Aku takut yang ku ikuti ini adalah pengajian ‘sesat’ yang sering ku dengar dari teman-temanku karena diajarkan tengah malam. Dengan penuh hati-hati, aku pun memberanikan diri bertanya. “guru! mohon maaf, kenapa pengajian ini harus diadakan tengah malam begini?”

Guruku pun menengok kepadaku lalu tersenyum sambil berkata: “hanyar umpatkah?” (baru ikut ya?)”. Aku pun mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan beliau. “Alasan pertama, belajar ilmu-ilmu seperti ini sebenarnya menuntut keseriusan dan ketulusan sebab ia dipenuhi dengan simbol-simbol yang tidak mudah dipahami kecuali oleh orang-orang yang serius dan tulus mencari kebenaran. Dengan mengajarkannya di waktu seperti ini, maka harapannya yang hadir adalah orang-orang yang betul-betul serius dan tulus karena tidak semua orang mau melakukan hal ini.” Aku pun menyetujuinya. “Alasan kedua, waktu dini hari seperti ini adalah waktu penuh rahmat. Paman saya, kata beliau, pernah melakukan percobaan biologi. Ia ingin mengetahui kapan biji-bijian itu berkembang. Ia pun meletakkan biji-bijian di tempat tertentu. Singkat cerita, waktu jam 2 dini hari, ia menemukan bahwa biji-bijian itu mulai tumbuh mekar. Itulah waktu yang penuh rahmat bagi umat Islam yang disebut waktu tahajjud. Oleh karena itu, harapannya orang-orang yang belajar di waktu ini, ia akan dirahmati Allah sehingga pikirannya menjadi lebih cerdas dan mudah memahami apa yang diajarkan.” Demikian alasan guruku.

“Abah….saya bingung, Allah itu kan Maha Agung. Karena Dia Maha Agung berarti sangat jauh dari kita, tapi Dia juga memberitahu kita bahwa Dia juga Maha Dekat sesuai al-Baqarah ayat 186, ‘apabila hamba-Ku bertanya tentang-Ku, maka jawablah bahwa Aku dekat…’, Bagaimana ini Abah, ini tidak logis?”, tanya seorang temanku yang mendalami filsafat. Belum lagi guruku menjawab, seorang yang lain yang mendalami sejarah agama-agama menimpali, “Benar, Abah!, Karen Amstrong dalam buku Sejarah Tuhan-nya menuliskan bahwa gara-gara Tuhan itu terlalu jauh dan agung maka manusia kemudian mencari solusi dengan membuat-buat berhala sebagai perantara agar bisa menyampaikan ‘kerinduan’ mereka kepada Tuhan yang agung itu.”

“O…gitu ya, pantas al-Quran surah az-Zumar ayat ke-3 mengisahkan bahwa orang-orang yang menyembah berhala itu berkata “kami tidak menyembah mereka (berhala) melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya”. Kata temanku yang berprofesi sebagai guru PAI (Pendidikan Agama Islam) dan duduk di sampingku.

Suasana menjadi lebih akrab sekaligus padat keilmuan. Aku bersyukur pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan tersebut sudah mewakili pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku tentang dekat dan jauhnya Allah itu. Aku teringat kembali ketika aku pernah ditanya dalam sebuah acara, “bagaimana kita seharusnya berdo’a, apakah perlu dengan suara keras atau dalam hati… sementara Allah itu maha dekat?”. Saat itu aku menjawabnya sekenanya saja. Saat ini, sebagaimana teman-temanku yang hadir, aku penasaran menunggu jawaban dari guruku.

Setelah menghela nafas cukup panjang, guruku pun mulai menjelaskan.

“Untuk memahami Allah secara langsung hendaknya jangan menggunakan logika atau akal. Hal ini bukan untuk merendahkan akal karena akal masih mungkin mengantarkan kita untuk memahami Allah secara tidak langsung namun sejatinya ini bukan wilayah akal. Akal memiliki wilayah tersendiri yang digunakan untuk membuat rumusan-rumusan logis sehingga terbentuk abstraksi keilmuan yang bermanfaat bagi manusia. Dalam logika, rumusan ada-tiada, benar-salah, jauh-dekat, baik-buruk adalah rumusan yang dualistik yang tidak mungkin untuk dipertemukan. Jadi kalau Allah dikatakan dekat, maka akal kita akan langsung menolak bahwa Allah itu jauh. Begitu juga sebaliknya. Namun teks agama menyatakan bahwa Allah itu Maha Agung selain Maha Dekat. Ini tentu kontradiktif. Jadi problemnya adalah alat yang kamu gunakan untuk ‘mengukur’ Allah belum tepat.” Demikian kata guruku kepada temanku yang mendalami filsafat.

“Selanjutnya, untuk kalian berdua!”, guruku menunjuk dua temanku yang berasal dari sejarah agama-agama dan PAI. “Sebagai fakta sejarah dan informasi wahyu bahwa manusia membuat berhala untuk mediasi kepada Allah yang agung, adalah sesuatu yang tidak salah. Namun tindakan membuat berhala dan menjadikannya sebagai alat pendekatan diri kepada Allah adalah sebuah tindakan yang jelas-jelas tidak memahami bentuk dekatnya Allah dengan mereka. Kesalahannya adalah mereka meletakkan Allah layaknya benda-benda materi yang terindera di dunia ini. Seakan-akan Allah adalah seorang raja yang tidak bisa didekati secara langsung kecuali lewat perantara. Na’uzubillah min dzālika (kita berlindung dari hal itu), kata sang guru.

“Lalu bagaimana seharusnya? Kalau kalian hendak menghayati secara sempurna makna bahwa Allah itu Maha Dekat sekaligus Maha Jauh maka renungkanlah diri kalian dan hidupkan mata hati (bashirah) kalian. Perhatikanlah! Bukankah kalian punya jiwa atau kesadaran?” Kami pun mengangguk bersamaan. “Pernahkah kalian meragukan jiwa kalian itu?” “Tentu tidak”, kata kami. “Bukankah jiwa atau kesadaran kalian itu bisa kalian rasakan secara langsung dan utuh?” “Bahkan kalian pun tidak perlu membuktikannya lagi atau mempertanyakannya karena ia seperti ada begitu saja. Bukankah begitu?” Kami pun menyetujuinya. “Sekarang, adakah yang lebih dekat dari sesuatu yang ada secara langsung tanpa perantara apa-apa?” Kami pun terdiam.

Beliau meneruskan, “ketika ada orang yang meninggal dunia dan tubuhnya dioperasi dan dicari-cari jiwa/kesadarannya, apakah ada orang yang menemukannya? Jawabnya tidak ada-kan?” “Dengan berbagai alat yang canggih bagaimana pun, jiwa tidak bisa ditemukan”. “Apa yang lebih jauh dari sesuatu yang tidak ditemukan sama sekali keberadaannya?” Lagi-lagi kami terdiam. “Jadi demikianlah, jauh-dekatnya Allah. Dia laksana jiwa kita. Dia sangat dekat laksana dekatnya jiwa kita namun sekaligus Dia sangat agung/jauh laksana jauh dan sulitnya kita menemukan jiwa kita. Singkatnya, Dia selalu bersama kita sekaligus melampaui kita.”

Lalu untuk untuk menutup penjelasannya sang guru pun berujuar “karena itulah, sebagai wujud syukur dan pengakuan kelemahan kita mari kita memujinya dan bersujud kepada-Nya”. Akhirnya kami pun terhanyut dalam sujud yang dalam diantara keheningan malam yang syahdu dan damai.  Wallāhu a’lam.

*Profil Penulis

Muhammad Rusydi adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin.

Sejak diangkat tahun 2009 sampai sekarang dia mengajar di UIN Antasari baik pada tingkat Sarjana dan Pascasarjana. Filsafat merupakan mata kuliah mayor yang diajarkannya, dengan kecenderungan pada Filsafat Islam dan Tasawuf.

Dia menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Prodi Akidah Filsafat tahun 2003. Sedangkan pendidikan S2 pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Konsentrasi Filsafat & Agama yang diselesaikannya pada tahun 2005. Kemudian pendidikan S3 pada Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dengan Prodi Pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 2014.

Karya ilmiahnya yang dipublikasikan, antara lain: Teori Kritis Juergen Habermas dan Relevansinya dengan Fundamentalisme Islam (2003), Studi Kritis Keshahihan Hadis dalam Kitab Tuhfah al-Ragibin (2011), Urang Banjar dan Kosmologi Nur Muhammad: Analisis Filosofis tentang Ruang dan Waktu (2013),  Ideologi dan Epistemologi Kitab Tuhfah al-Ragibin Karya Muhammad Arsyad al-Banjari (2014), Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam al-Quran Menurut Amina Wadud (2014), Toward the Living al-Qurani: Upaya Merekonstruksi Cara Baca yang ‘Menghidupkan’ al-Quran (2013), Pembacaan Teks Nashr Hamid Abu Zaid atas Relasi Laki-Laki dan Perempuan (2015), Kesinambungan dan Perubahan dalam Kajian Filsafat Islam di Indonesia (2015), Dinamika Studi Islam di Barat (2016), Konstruksi Pemikiran Kalam al-Asy’ariah (2014).