Penelitian Ilmiah, Keulamaan, dan Izin Rasulullah

Laporan dari Kegiatan LP2M Goes to Pesantren

Oleh: Ahmad Muhajir, Ph.D.*

Dalam diskusi buku Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024 di Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri, salah seorang hadirin menyarankan agar peneliti memverifikasi apakah ulama yang dibahas telah mendapatkan izin dari Rasulullah untuk mengajar.

Diskusi mengenai Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024 dilaksanakan pada 12 September 2024 di Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri. Acara ini mengumpulkan lebih dari 100 peserta, termasuk ustaz dan ustazah dari pondok pesantren tersebut, serta tim pembicara dari LP2M yang terdiri dari Muhammad Bulkini, jurnalis dan anggota tim editor, serta dosen UIN Antasari, Muhammad Rusydi dan Ahmad Muhajir. Diskusi ini merupakan kesempatan penting untuk membahas buku budaya Banjar, khususnya yang mengulas riwayat hidup ulama Banjar, dan mendapatkan masukan dari para pengajar di pesantren yang memiliki kedekatan dengan dunia keulamaan.

Muhammad Bulkini membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024 adalah hasil dari revisi dan pengayaan buku sebelumnya, yaitu Ulama Banjar dari Masa ke Masa Jilid 1 dan 2. Buku ini adalah buah dari upaya kumulatif yang melibatkan banyak peneliti dan editor selama bertahun-tahun, jauh melebihi lima orang yang tertera di sampul buku. Edisi 2024 menambahkan 11 riwayat ulama baru yang ditulis pada tahun 2023 dan berisi perubahan penting dalam penyusunan riwayat hidup dari yang semula berdasarkan tahun kelahiran menjadi urutan abjad. Ini merupakan langkah penting untuk membuat ensiklopedi lebih terstruktur dan mudah diakses.

Selama diskusi, muncul saran dari Ustaz Asy’ari, seorang ustaz yang dikenal luas di Pesantren Darul Hijrah Putri, mengenai kriteria untuk menentukan keulamaan. Ia mengusulkan agar peneliti dalam Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024 memastikan bahwa setiap ulama yang tercantum dalam buku tersebut telah mendapatkan izin dari Rasulullah SAW untuk menjadi ulama. Saran ini mengacu pada hadis yang menyebut ulama sebagai pewaris Nabi. Usulan ini memunculkan ketertarikan dan perdebatan di kalangan peserta diskusi.

Saya memberikan tanggapan terkait saran tersebut, menyatakan bahwa peneliti umumnya memverifikasi informasi dari tokoh tertentu melalui sumber yang tersedia dan metode penelitian yang dapat diterima. Namun, memverifikasi apakah seseorang telah mendapatkan izin langsung dari Rasulullah SAW adalah hal yang sangat rumit dan tidak standar dalam metode penelitian ilmiah. Tidak ada prosedur yang dapat membuktikan klaim tersebut secara objektif. Ini bukan hanya soal metode penelitian, tetapi juga melibatkan aspek keimanan dan spiritual yang sulit diukur secara ilmiah. Meskipun saran tersebut mungkin didasarkan pada pemahaman tertentu tentang hadis, tidak ada keharusan eksplisit dalam hadis itu bahwa izin dari Rasulullah diperlukan untuk seseorang dianggap ulama.

Pemahaman Ustaz Asy’ari mungkin terkait dengan wacana tasawuf yang menganggap pertemuan dengan Rasulullah melalui ruhnya sebagai hal yang mungkin. Dalam pandangan tasawuf, ruh dianggap tetap hidup setelah jasad meninggal, sehingga seseorang dapat mengalami pertemuan spiritual dengan Rasulullah SAW meskipun beliau sudah wafat secara fisik. Banyak cerita yang beredar tentang orang yang bermimpi bertemu Rasulullah atau mendapatkan isyarat spiritual darinya, yang menunjukkan adanya aspirasi untuk menjalin hubungan spiritual dengan nabi. Konsep ini menambah dimensi spiritual yang mendalam dalam penilaian keulamaan, namun menimbulkan tantangan dalam konteks penulisan ilmiah.

Saya menjelaskan bahwa, dalam konteks penelitian ilmiah dan penulisan ensiklopedi, memverifikasi pengalaman spiritual seperti ini tidak praktis dan tidak dapat diterima sebagai metode standar. Penelitian ilmiah berfokus pada verifikasi data dan informasi yang dapat dibuktikan secara empiris. Meskipun saran Ustaz Asy’ari bisa dipahami dalam konteks spiritual, penerapannya dalam penulisan ilmiah sangat sulit dan mungkin tidak dapat diterima secara luas oleh komunitas akademik.

Dr. Rusydi, yang juga turut serta dalam diskusi, memberikan tanggapan dengan menyoroti bahwa pengalaman spiritual adalah hal yang sangat pribadi dan sering kali tidak diketahui orang lain sampai orang tersebut mengungkapkannya. Meskipun kita berada di samping seseorang yang sedang tidur, kita tidak dapat mengetahui apa yang dia impikan atau apakah dia sama sekali bermimpi. Dr. Rusydi juga mengutip kisah terkenal tentang Kiai Said Aqil Siradj dan Gus Dur yang menunjukkan bahwa wali Allah sering kali menyembunyikan status kewaliannya. Kisah ini menggambarkan bahwa wali Allah umumnya tidak ingin dikenal atau diumumkan statusnya, dan hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam menentukan kriteria ulama.

Diskusi ini menunjukkan bahwa saran Ustaz Asy’ari membuka ruang untuk memahami keulamaan dari perspektif yang lebih spiritual dan personal. Namun, dalam penulisan ilmiah untuk sebuah ensiklopedi, pendekatan ini menimbulkan masalah metodologis yang signifikan. Perdebatan ini berakhir ketika waktu zuhur telah masuk, dan peserta harus melaksanakan salat dan makan siang. Meskipun tidak ada konsensus mengenai saran metodologis Ustaz Asy’ari, diskusi ini mencerminkan antusiasme peserta terhadap Ensiklopedi Ulama Banjar dan menunjukkan pentingnya pemahaman metodologis dalam penulisan riwayat hidup ulama.

Sebagai ketua tim editor untuk Edisi 2024, saya menyimpulkan bahwa Ensiklopedi Ulama Banjar Edisi 2024 mencatat 276 ulama Banjar yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang keagamaan dan sosial. Para ulama ini, yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman, telah menyebarkan pengetahuan melalui pengajian, mimbar Jum’at, kelas agama, dan tulisan. Mereka juga terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan dan dakwah, serta mempromosikan pemahaman ahlus sunnah wal jamaah.

Ensiklopedi ini bertujuan untuk melestarikan budaya lokal dan dokumentasi warisan keagamaan, tanpa mengklaim kesempurnaan. Karya ini adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengakui dan menghargai kontribusi para ulama Banjar. Tim penulis berharap bahwa usaha ini akan mendapatkan berkah dan memberikan kontribusi yang berarti dalam mendokumentasikan dan menghormati jasa para ulama Banjar, baik yang telah dikenal luas maupun yang belum tercatat.

(*Penulis adalah Koordinator Pusat Kajian Banjar dan Melayu pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat)