Beragama [Seharusnya] Seperti Tiki-Taka

Oleh : Najib Irsyadi*

Football is my religion (sepak bola adalah agamaku), sebuah ungkapan yang sangat populer di telinga penggila bola. Ungkapan ini juga diabadikan oleh Rednex dalam lirik lagunya yang diliris tahun 2008 dengan judul “Football is Our Religion”. Meskipun ungkapan tersebut hanya joke, namun ketenarannya benar-benar mengalahkan ketenaran agama-agama besar di dunia. Faktanya, hampir seluruh manusia di muka bumi ini adalah penggemar atau bahkan penggila bola. Ada yang fanatik dengan Premier League, dengan tim-tim hebatnya, seperti duo Manchester, Arsenal, Liverpool. Ada juga yang suka menantikan duel klasik (El Classico), antara Real Madrid versus Barcelona di La Liga, Spanyol. Belum lagi dengan fans derbi Milan, Serie A-nya negeri Pizza, Perancis dengan Ligue 1-nya, maupun Liga Indonesia sendiri.

Berbicara mengenai sepak bola, ia merupakan olahraga keras yang membutuhkan kekuatan dan energi fisik. Untuk memenangi sebuah pertandingan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan tubuh yang kekar dan tinggi, namun juga diperlukan suatu kreativitas taktik dan gaya bermain yang ciamik. Biasanya setiap klub sepak bola memiliki filosofi bermain sendiri, yang menggambarkan identitas sebuah tim. Ada beberapa filosofi bermain yang sering dipakai dalam dunia sepak bola modern, di antaranya tiki-taka, attacking, counter attack, parking bus, dan sebagainya.

Tulisan ini hanya membahas mengenai gaya bermain tiki-taka dalam sepak bola dan hubungannya dengan konteks moderasi beragama. Di tengah sikap intoleransi beragama, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang semakin meningkat, sebuah konsep bagaimana seharusnya seseorang beragama dalam masyarakat heterogen dan majemuk, seperti di Indonesia, menjadi sangat penting untuk diangkat. Konsekuensinya, kemajuan dan kemunduran atau bahkan kehancuran suatu bangsa, salah satunya ditentukan oleh cara pandang dan sikap keberagamaan umatnya. Di sinilah letak peran penting para ahli agama untuk mengampanyekan moderasi dan toleransi beragama.

Kembali ke tiki-taka, dilansir dari berbagai sumber, tiki-taka adalah sebuah model permainan sepak bola yang identik dengan pergerakan yang cepat dan dinamis, mengumpan bola pendek melalui beragam celah kosong, serta memperbanyak penguasaan bola. Konon, dasar permainan tiki-taka ini pertama kali dikenalkan oleh Johan Cruyff, pelatih Barcelona FC antara tahun 1988-1996. Selanjutnya terus dikembangkan oleh pelatih-pelatih penerusnya. Prestasi besar yang merupakan puncak keberhasilan dari gaya permainan tiki-taka ini diraih oleh pelatih Barcelona 2008-2012, Josep Guardiola. Walaupun timnya diisi mayoritas pemain dengan tubuh kecil, namun dengan teknik tiki-taka ini, mereka mampu mempersembahkan 14 trofi bergengsi dalam tempo empat musim. Ajaibnya lagi, enam titel juara di antaranya bisa dicapai hanya semasa satu musim (2008-2009). Sungguh prestasi yang luar biasa! Gaya permainan ini juga ditularkan kepada tim nasional Spanyol, yang kebanyakan memang berasal dari pemain Blaugrana, julukan Barcelona. Di masa-masa kejayaannya, timnas negeri Matador tersebut mampu menjuarai Piala Eropa 2008, Piala Dunia FIFA 2010, dan Piala Eropa 2012. Sesuatu yang sangat sulit dicapai oleh timnas lainnya!

Secara sederhana, teknik tiki-taka ini menggunakan pola permainan yang disebut dengan “triangulasi” (segitiga). Barisan atau lini tengah sebuah tim merupakan kunci dari gaya permainan ini. Para pemain selalu membentuk pola segitiga terhadap lawannya, di manapun posisi mereka dan dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika bertahan maupun ketika menyerang. Gambarannya, satu pemain berada di tengah lapangan dan berusaha untuk memotong umpan dari pemain lawan, sambil tetap berada dalam garis segitiga, sehingga mampu mengumpan dengan cepat dalam jarak pendek secara akurat. Prinsip yang dipegang adalah kuasai bola semaksimal mungkin, lakukan pergerakan (pressing) dengan dinamis, serta cari celah kosong untuk menciptakan peluang gol. Perlu diingat bahwa taktik tiki-taka ini sangat mengandalkan kolektivitas tim, sama sekali tidak bisa bergantung pada individu. Selain itu, juga diperlukan kejelian dalam mencari celah-celah kosong di antara pemain lawan, serta kreativitas bersama dalam menciptakan sebuah peluang. Sementara itu, gaya tiki-taka ini bersifat ofensif (menyerang) sekaligus defensif (bertahan), selalu menguasai bola sehingga tidak perlu adanya pergantian antara bertahan dan menyerang. Karenanya, sebagaimana disampaikan di atas, pemain tengah memiliki peran besar dalam konteks ini.

Lantas apa hubungan tiki-taka ini dengan moderasi beragama, khususnya di Indonesia? Ada beberapa kata kunci yang bisa menghubungkan keduanya. Dalam QS. al-Rahman: 7-8, terdapat perintah kepada manusia untuk menegakkan prinsip keseimbangan dan keadilan (al-mizan), sebagaimana alam ini juga diciptakan dengan penuh keseimbangan. Prinsip al-mizan ini sangat mirip dengan pemain tengahnya tiki-taka, yaitu ia tidak terlalu mundur ke belakang atau terlalu asyik maju ke depan. Ia harus komitmen dan konsisten dalam menjaga wilayahnya. Begitu pula dalam konteks beragama, memahami dan mengamalkan ajaran agama tidak ekstrem kanan (ke belakang) atau ekstrem kiri (ke depan). Pertama, seimbang dalam menggunakan porsi akal. Tidak seperti mereka yang terlalu kaku memahami dogma agama serta membuang jauh peran akal (kaum tekstualis), tidak juga seperti mereka yang terlalu bebas menggunakan akal dalam menafsirkan agama (kaum liberalis). Kedua, seimbang dalam menjalankan ajaran agama. Maksudnya, tatkala seseorang harus memperhatikan hak-hak vertikal (‘ubudiyah) yang berhubungan langsung dengan Tuhan, maka tak kalah penting, ia juga harus memperhatikan hak-hak horizontal (ihsan) yang berinteraksi langsung dengan sesama umat manusia di muka bumi. Seseorang dilarang menginjak dan merendahkan ajaran agamanya, pun ia juga dilarang menebarkan permusuhan dan kebencian (hate speech) terhadap orang lain. Dalam banyak kasus yang terjadi, sikap keberagamaan seseorang terkadang luput dari hak nomor dua ini.

Selain itu, tiki-taka juga selalu membentuk pola “triangulasi” dalam setiap permainannya. Ketika menyebut segitiga, terdapat pesan moderasi beragama yang sering disampaikan oleh Kementerian Agama RI, bahwa agama jangan hanya dilihat dari luar [perbedaan]nya saja, tetapi juga dari dalam [persamaan]nya, yaitu esensi dan subtansinya pada nilai-nila universal. Pertama, kembali pada tujuan inti, yakni menghargai dan melindungi harkat dan martabat manusia. Kedua, kolektivitas, bukan individulis, untuk bersama-sama menciptakan peluang kerukunan dan kedamaian. Terakhir, komitmen bersama dan kesepakatan umum untuk memenangkan kehidupan beragama yang moderat dan toleran.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin